“Contohnya adalah MK mendalilkan utra petita demi mengabulkan permohonan di luar dari yang dimohon. Di samping itu juga menggunakan kewenangan legislative review dengan membentuk norma baru yang dibatalkan. Ini bisa dikatakan membegal kewenangan DPR maupun UU Perppu. Sembilan orang bisa membatalkan dan membuat norma sendiri atas produk dari lembaga yang mewakii dan dipilih oleh rakyat. Ini mestinya tidak legitimate. Ini merupakan kesewenang-wenangan. Ini model depotisme yang berkedok konstitusi. Sampai sini bisa dipahami?”
"Bisa, Mo!" sahut ketiga anak nyaris serentak. Saat itu hembusan angin malam membuat mereka sedikit menggigil.
"Proses pembuatan undang-undang jelas merupakan kewenangan DPR. Ini harus ditegaskan agar ke depannya tidak terjadi kerancuan."
"Terus di mana framing sesatnya, Mo?" timpal Petruk yang ingin segera mendapatkan poinnya.
"Sabar. Terlepas dari persoalan melampaui kewenangan itu, KPU maupun DPR sebetulnya sepakat akan mengikuti keputusan MK. Ya karena keputusan MK adalah final dan mengikat."
"Betul, Mo!"
Semar kembali menyeruput kopinya, menyeka mulut dengan punggung tangan, dan melanjutkan, "Ketua KPU sudah menyatakan dengan tegas akan berpegang teguh pada hasil putusan MK. Rupanya karena pihaknya belajar dari pengalaman yang lalu, yang karena dianggap tidak melaksanakan tahapan dalam proses menindaklanjuti putusan MK, mengakibatkan pihaknya mendapat peringatan keras dari DKPP. Ya kita tahu pada saat itu ada masa reses DPR sehingga KPU hanya melayangkan surat pemberitahuan. Nah, kini pihaknya akan menemui DPR untuk berkosultasi dan menindaklanjuti pengesahan revisi undang-undang pilkada. DPR pun merespon hal tersebut. Sekalipun tanpa direvisi mereka tahu bahwa undang-undang akan berlaku sejak diputuskan. Ini agak panjang, jadi Romo harap kalian sabar mendengarnya," papar Semar sambil menatap wajah masing-masing putranya.
"Baik. Lanjut, Mo!"
"Akan tetapi, yang kemudian dihembuskan adalah bahwa KPU dan DPR mau menolak putusan MK, yang kemudian diartikan itu mengkhianati konstitusi! Ini yang romo maksud framing sesat itu!"
"Kenapa orang mudah percaya dengan framing itu?" pancing Semar, "Sebab dihembuskan bahwa dengan adanya putusan MK, koalisi KIM plus akan goyah dan bisa pecah. Lantas mereka panik, sehingga membuat akal-akalan untuk membatalkan putusan itu. Apalagi ditambahi narasi seolah-olah DPR melakukan itu demi memuluskan langkah anak presiden. Itu yang membuat sebagian rakyat terprovokasi dan marah. Makanya gak heran jika isu yang berkembang kemudian menjadi turunkan Jokowi. Tolak politik dinasti. Awalnya dibangun narasi konflik itu antara legislatif melawan yudikatif, lha kok yang disasar eksekutif? Nah, sebetulnya demi menegakkan konstitusi atau demi kepentingan politis?"
Bagong, Petruk dan Gareng hanya bisa manggut-manggut dalam mencernah uraian Semar yang panjang lebar.