Oleh: Tri Handoyo
Mereka telah sampai di perkampungan terakhir menuju ke arah puncak bukit. Jalan yang dilalui semakin sempit, menanjak dan terjal, sehingga mereka terpaksa menitipkan dokar di rumah seorang warga, dan harus melanjutkan dengan jalan kaki.
"Maaf, Paman!" tanya Tulus kepada pemilik rumah, "Apakah paman tahu letak Gua Sigolo-golo?"
Pria yang berusia sekitar enam puluh tahun dan berkepala gundul itu tampak keheranan, "Apa ki sanak mau ke Gua Sigolo-golo?"
"Iya benar, Paman!"
"Harap Ki sanak tahu, gua itu angker dan sangat berbahaya, di samping karena mulut gua berada di tebing yang curam!"
Tulus dan Arum saling bertatap pandang dengan muka ceria, "Iya betul, itu gua yang kami cari! Apa masih jauh dari sini, paman?"
Sambil menampakan mimik muka keheranan, pria itu menjawab, "Ki sanak akan sampai di puncak bukit petang hari, tapi kalau naik kuda barangkali ashar sudah bisa sampai sana!"
"Baik, terima kasih banyak, Paman!"
Akhirnya mereka memutuskan untuk naik kuda. Setelah berpamitan kepada pemilik rumah, mereka pun segera melanjutkan perjalanan. Awalnya mereka berdua menaiki kuda, tapi ketika jalan yang dilalui semakin menanjak, Tulus turun dan berjalan menuntun kuda, dan tidak jarang bahkan dia membantu kuda dengan jalan mendorongnya dari belakang.