Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar sang Pendekar (44), Hutang Nyawa Bayar Nyawa

10 Agustus 2024   06:59 Diperbarui: 10 Agustus 2024   07:05 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Mereka tiba di daerah perbukitan Wonosalam, sebuah perjalanan yang memakan waktu hampir tiga hari. Itu karena harus menempuh jalan memutar. Padahal kawasan itu masih termasuk wilayah Jombang.

Di sebuah area berumput yang cukup luas, Tulus menghentikan dokar. Mereka berniat menginap di tempat itu. Kuda mereka lepaskan dengan ikat tali panjang agar bisa leluasa mencari makan. Dokar yang memang dirancang khusus itu bisa dipasang kain penutup yang mengelilingi dokar, hingga dari luar tampak seperti tenda. Tenda yang indah di bawah naungan pohon besar yang rindang.

"Hmm.. tempat yang indah sekali!" seru Arum dengan wajah berseri-seri. Ia lalu berlarian dan dengan lincahnya berlompatan di tengah rumput tebal yang menggoda itu. "Heiii...!" teriaknya keras seolah sebagai pelampiasan atas kebebasannya. "Heiii..!" Suara teriakan itu memantul ke segala penjuru.

Tulus tidak tega melarangnya. Gadis itu masih sangat belia, kadang masih bersifat kanak-kanakan dan masih suka bermain-main. Saat Tulus pertama mendaftar di Padepokan Mpu Naga, Arum yang saat itu baru berumur tiga tahun sedang menenteng pedang kayu. Gadis yang lucu dan menggemaskan.

Langit begitu cerah tanpa awan, tetapi udara terasa sangat sejuk seakan-akan seperti suasana di mana mentari baru terbit di pagi hari. Arum bernyanyi dan berlari, dan timbullah kegembiraan yang meluap-luap. Di depan ayahnya dia selalu harus menekan perasaannya karena banyak larangan. Sementara di depan Tulus, sekalipun sikap pemuda yang telah menjadi suaminya itu sungguh berwibawa dan membuat ia patuh dan hormat, namun tidak cerewet dan tidak banyak melarang.

Tidak terasa ia sampai di pinggir sungai. Ia telah berlari cukup jauh dari suaminya yang sedang menyiapkan tenda tempat bermalam. Melihat aliran air yang sangat jernih itu membuatnya ingin turun membersihkan badan.

Gadis itu tidak menyadari bahwa teriakan-teriakannya tadi telah menarik perhatian tiga orang lelaki yang sedang berburu. Mereka kaget dan segera mencari dari mana datangnya sumber suara itu. Mereka kemudian membuntuti dan kini sembunyi di antara pepohonan sambil mengawasi gadis belia itu.

Arum melepas ikatan rambutnya, yang kini sebagian anak-anak rambut itu menjuntai melingkar-lingkar menghiasi dahi dan pelipis hingga ke leher. Wajah basah yang putih bersih itu tampak semakin bercahaya, terhias oleh rambut yang sangat hitam. Sepasang alis melengkung melindungi mata yang terpejam sehingga tampak bulu mata yang lentik dan indah. Hidung yang mancung, bergerak terdorong napas yang keluar masuk, menunjukkan bahwa ia telah menguras cukup banyak tenaga. Sepasang bibir merah dan basah, serta sebuah lesung pipit menghias di ujung mulut ketika ia tersenyum, sungguh kecantikan yang sulit dicari bandingnya. Ia berdiri di atas sebuah batu agak besar, siap melepas bajunya.

Tiga lelaki yang dari tadi mengawasi pemandangan terindah untuk pertama kalinya itu segera terbakar oleh nafsu birahi. Mereka kemudian meloncat turun dan mengurung gadis itu.

"Eh, siapakah gadis yang luar biasa cantik seperti bidadari ini?" kata lelaki berambut gimbal dengan penuh kekaguman.

"Waw.., betisnya! Pinggulnya! Dadanya!"

"Ini baru bidadari yang turun dari kayangan!" timpal yang lain dengan mulut tersenyum lebar.

Untungnya Arum belum sempat melepas bajunya. Ia langsung menjadi marah sekali dan memandang dengan sorot mata menyala ke para lelaki kurang ajar itu. Tapi itu justru membuat gairah mereka semakin berkobar-kobar.

"Jangan takut bidadariku, kami tidak akan menyakitimu!"

Ketiga lelaki bertubuh kekar dan terlihat kasar itu hanya mengenakan celana pendek dan telanjang dada. Banyak bekas luka goresan di dada dan punggung, bahkan ada yang di muka mereka. Rambut yang panjang tidak terawat tampak dipangkas asal-asalan. Semua itu menggambarkan bahwa mereka telah menjalani kehidupan yang keras dan primitive.

"Tuan Putri..!" teriak Tulus yang tiba-tiba muncul dan mengagetkan semua orang, "Maaf hamba datang terlambat!"

"Jangan khawatir, Kanda" sahut Arum, "Kalau cuma tiga orang seperti ini saja aku tidak takut! Biar ini bagianku!"

Ketiga lelaki itu tersentak kaget juga mendengar ucapan Arum. 'Siapa manusia sombong ini?' batin mereka penasaran.

Tulus berjalan melewati salah seorang dari lelaki yang mengepung dengan santai dan tidak menghiraukan keberadaannya sama sekali. Lelaki bermata liar yang dilewatinya itu dengan cepat mengayunkan parang ke arah leher Tulus, tapi pemuda itu masih tampak tenang dan membiarkan serangan itu, tanpa ada gelagat mengelak maupun menangkis. Arum nyaris menjerit ketika parang itu tepat mengenai leher suaminya.

Akan tetapi parang itu berhenti. Rupanya Tulus menangkap parang itu dengan cara menggigitnya. Semua mata terbelalak menyaksikan kejadian aneh itu. Si lelaki liar mencoba mencabut senjatanya dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, namun parang itu seolah dijepit sangat kuat, hingga genggaman tangannya mulai terasa lemah.

Tulus kemudian menggerakan tangan mendorong dada si pembacok dan parang itu terlepas dari genggaman. Parang itu lantas dilemparkan dengan cepat hingga menancap seluruhnya di sebuah pohon, hanya tinggal gagangnya yang tampak.

Ketiga lelaki itu belum pernah menyaksikan hal ajaib seperti itu sepanjang hidupnya, sehingga mereka melongo diliputi rasa takjub luar biasa, dan dengan sendirinya lalu melempar senjata dan bersujud di tanah.

"Mohon ampuni kami, Tuan!" kata mereka. "Ampuni kekurang ajaran kami!"

Ketika mereka bersujud, Tulus segera meraih istrinya dan membawanya pergi. Hanya dengan dua kali lompatan mereka berdua sudah lenyap dari tempat itu. Tanpa jejak.

"Ampuni kami, Tuan!" Ketika ketiga lelaki itu mengangkat muka alangkah terkejutnya mereka, karena tempat di mana kedua makhluk tadi berdiri kini telah kosong.

"Mereka jelas bukan manusia!" gumam si rambut gimbal ngeri.

"Atau mungkin manusia setengah siluman!"

"Atau manusia setengah dewa!"

Tubuhnya yang berada dalam gendongan Tulus terasa bagai terbang melawan hempasan angin. Ia menatap wajah suaminya dengan penuh rasa kagum, dan kemudian menempelkan wajahnya ke dada bidang dan kokoh itu. 'Ah.., Kanda..! Kamu laksana manusia setengah dewa!'

***

Puluhan prajurit dipimpin langsung Ki Demang Wiryo melabrak Padepokan Benteng Naga. Di barisan depan, di sebelah Ki Demang berjejer Pendekar Celurit Setan, Pendekar Jeliteng Macan Kumbang, Ki Geni, Ki Gong, Panji Segoro yang diangkat menjadi Kabuyutan menggantikan Raden Kusno, dan seorang laki-laki gagah perkasa yang barusia lima puluh tahun lebih, bersenjatakan rantai baja. Ia adalah Pendekar Cambuk Jahanam, kakak seperguruan Pendekar Golok Dewa dan Ki Rojowojo yang sudah lebih dulu pergi ke alam baka.

Jauh hari Mpu Naga sudah punya firasat bahwa hal itu pasti akan terjadi. Itulah mengapa ia segera menikahkan putrinya dengan Tulus dan mewariskan seluruh hartanya kepada mereka berdua. Tapi ia tidak menyangkah pembalasan dendam Ki Demang Wiryo akan secepat itu. Ia kini berdiri menghadapi barisan musuh dengan membawa sebilah pedang pusaka karya terbaiknya.

"Ki Naga, kami yakin bahwa kamu pasti menyembunyikan rahasia harta rampasan perang yang dibawa lari oleh Ki Kelabang!" seru Ki Demang, "Kami atas nama kerajaan berhak menyita harta itu. Jika kamu menyerahkan dengan sukarela, mungkin kami akan mempertimbangkan untuk mengampunimu, tapi jika kamu menolak, maka tidak ada pilihan lagi, kami akan perangi kamu sebagai pemberontak!"

"Sampai detik ini saya belum pernah melihat harta yang kau bicarakan itu, Ki Demang!" jawab Mpu Naga tegas, "Saya tidak tahu harta itu benar-benar ada atau hanya bualan belaka. Kalau mengenai hendak menuntut balas atas kematian Pendekar Golok Dewa, saudaraku Ki Kelabang Karang juga tewas, bukankah itu artinya sudah impas?"

"Kelabang mati karena dia memang pantas untuk itu," sahut Ki Demang, "Karena dia musuh kerajaan, dan dia penjahat yang mencuri harta rampasan perang!"

Mpu Naga memejamkan mata. Kedua alis yang hitam tebal dan panjang itu bergerak-gerak. "Anda datang ke sini untuk urusan balas dendam atau urusan harta?"

"Dua-duanya!"

Mpu Naga menggelengkan kepala beberapa kali. Biar pun mulutnya tersenyum, namun kata-kata yang keluar mengandung nada dingin, "Sekarang kalian mau apa, lakukan saja!"

Pendekar Cambuk Jahanam yang dari tadi sudah gatal tangannya segera melompat menerjang. "Hutang nyawa bayar nyawa!" teriaknya lantang. Rantai yang dibuat lingkaran bajanya semakin kecil ke ujung dan terdapat mata tombak di ujungnya itu ia putar dengan cepat. Gerakannya hebat dan angin gerakannya membuat daun-daun pohon di sekitarnya bergoyang-goyang. Tanpa basa-basi lagi ia berniat menghabisi Mpu Naga dalam waktu singkat.

Pertempuran sengit tak terhindarkan lagi. Tiap kali cambuk itu beradu dengan pedang, bunga api memercik jauh, tanda bahwa selain kedua senjata itu terbuat dari logam baja yang keras, juga bahwa tenaga dalam mereka sangat besar. Kalau pukulan cambuk itu mengenai sasaran, pasti tulang-tulang akan remuk. Beberapa kali gempuran cambuk itu terbukti menghacurkan bagian dinding dan pohon.

Semua orang yang menyaksikan pertempuran itu segera mencari tempat yang aman dari jangkaun cambuk jahanam. Akan tetapi Ki Demang malah memberi perintah kepada para anak buahnya untuk menyerang pula, maka para murid padepokan pun menyambut serangan mereka dengan gagah berani. Terjadilah perang yang amat dasyat hingga di setiap sudut-sudut padepokan.

Saat itu hari Jumat, di mana Mpu Naga meliburkan semua kegiatan di padepokan, namun masih ada belasan murid yang memang tinggal dan menjadi karyawan di situ. Belasan murid senior Benteng Naga itu tidak bisa dianggap remeh, maka pasukan yang mengeroyok mereka itu cukup dibuat kewalahan. Padahal mereka bukanlah pasukan biasa, melainkan pasukan pilihan yang memiliki ilmu silat di atas rata-rata. Melihat keadaan itu Pendekar Jeliteng, Pendekar Celurit Setan, Ki Gong dan Ki Geni pun ikut turun tangan.

Setelah berlangsung puluhan jurus, mulailah ada yang tumbang dengan luka cukup parah. Tempat itu mulai diwarnai darah merah yang muncrat ke mana-mana. Tubuh para prajurit dan murid padepokan yang telah menjadi mayat malang melintang menghalangi kaki mereka yang masih bertempur. Sampai akhirnya seluruh murid Benteng Naga berhasil dibantai habis.

Mpu Naga juga akhirnya dikeroyok oleh Pendekar Cambuk Dewa, Pendekar Jeliteng dan Pendekar Celurit Setan. Demi menjaga kehormatan perguruan, dengan pedang pusakanya itu Mpu Naga mengamuk hebat, bertempur mati-matian. Pedangnya merupakan benteng pertahanan yang sukar ditembus. Setiap senjata lawan yang bertemu dengan pedangnya nyaris terlempar dari pegangan pemiliknya. Tapi pertempuran yang tidak seimbang itu membuat tenaganya cepat terkuras habis, dan beberapa sabetan senjata lawan mulai melukai tubuhnya.

"Hutang nyawamu belum terbayar lunas!" ancam Cambuk Jahanam, "Sebelum semua keluargamu aku habisi!"

Mpu Naga akhirnya roboh, bermandikan darah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun