Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kepaten Obor Separuh Milenium

29 Juli 2024   11:59 Diperbarui: 29 Juli 2024   19:21 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Tri Handoyo

Jaman dulu, untuk menerangi kegelapan orang akan mengandalkan obor. Obor menjadi alat penting ketika seseorang berniat berpergian atau melakukan aktifitas di kegelapan malam.

Obor umumnya terbuat dari batang bambu apus yang mempunyai rongga kecil tempat memasukan minyak. Sedang untuk sumbu biasanya menggunakan kain perca bekas pakaian.

Pemakai obor yang paling umum adalah para pedagang makanan keliling yang menjajahkannya di waktu malam, atau para pencari kodok ijo di kebun atau di sawah.

Karena sudah menjadi kebiasaan, maka setiap pembawa obor hafal seberapa banyak minyak yang dibutuhkan. Namun tidak jarang ada yang kehabisan minyak, sehingga obor mati sebelum aktifitas selesai atau sampai di tempat tujuan. Dalam bahasa Jawa ini disebut 'kepaten obor'. Ketika 'kepaten obor', orang tersebut harus berjalan tertati-tati dan ekstra hati-hati. Bahaya tersandung, terantuk, atau terperosok ke dalam lubang akan menjadi ancaman setiap saat.

Secara literal 'kepaten obor' berarti padamnya obor tanpa diharapkan. Dalam konteks keluarga, hal ini berarti terputusnya jalinan komunikasi atau hubungan antar keluarga. Akibatnya mereka tidak saling mengenali lagi sebagai keluarga.

Untuk mencegah agar tidak 'kepaten obor', khususnya bagi keluarga raja, ulama besar, atau bangsawan kaya raya, maka mereka lantas membuat catatan silsilah keluarga. Seandainya generasi keturunannya kelak terputus hubungan, maka mereka bisa mengandalkan catatan silsilah tersebut. Catatan itulah sebagai 'obor' penerang kegelapan.

'Kepaten obor' seringkali terjadi pada hubungan antar kekerabatan dalam keluarga besar dikarenakan terpisah jarak yang jauh dan dalam jangka waktu lama. Misal dikarenakan hidup di perantauan, atau menikah dengan orang dari luar daerah yang jauh, sehingga jalinan komunikasi terputus. Apabila hal ini terjadi dalam kurun waktu yang lama, misal dua atau tiga generasi, maka bisa dipastikan generasi berikutnya tidak akan saling mengenal. Hubungan pertalian darah daging menjadi gelap gulita seperti padamnya obor di kegelapan malam.

"Apa sih pentingnya ngurusi soal silsilah?" celetuk Pak Ogah sinis.

"Makanya otak itu suatu ketika perlu diup-grade, biar gak sampai terlontar pertanyaan terdungu abad ini!" jawab Pak Lurah. "Mengurus soal silsilah keluarga itu sangat penting dan bermanfaat, antara lain, memelihara silaturahmi antar sesama anggota keluarga; menumbuhkan rasa peduli dan saling tolong menolong; menghindari terjadinya perkawinan sedarah; melestarikan kekerabatan dalam garis keturunan dan lain-lain!"

Sambil bersungut-sungut, Pak Ogah berujar, "Saya ini jelek-jelek begini masih keturunan Raja Brawijaya V lho!"

Tentu saja semua orang yang mendengar itu tertawa.

"Memangnya kamu punya bukti apa?" tanya Pak Raden ketus.

"Salah satu cara untuk mengetahui apakah seseorang adalah keturunan Brawijaya V adalah dengan melihat silsilah atau garis keturunan yang dimiliki!" ujar Unyil datar. "Misal bukti berupa dokumen, prasasti, atau naskah-naskah kuno yang mencantumkan nama-nama leluhur Pak Ogah hingga ke Brawijaya V!"

"Oh jangan kuatir, Nyil!" sahut Pak Ogah tak mau kalah, "Ini dokumen saya! Pak Raden jangan sirik ya! Ha..ha..!"

"Haa..!" seru Pak Raden kaget setelah memeriksa dokumen yang diajukan Pak Ogah, "Ini dokumen baru terbit tahun 2024! Apa bisa?"

Pak Lurah menambahkan, "Nah salah satu manfaat memiliki catatan silsilah keluarga adalah mencegah adanya orang yang tidak bertanggung jawab tiba-tiba mencangkokkan leluhurnya ke salah seorang anak Brawijaya! Seperti Pak Ogah ini, yang acuan dokumennya baru muncul dengan jarak 550 tahun!"

"Wah, berarti Pak Ogah 'kepaten obor' selama separuh milenium dengan Raja Brawijaya V." Gelak tawa pun pecah hingga menggetarkan tiang-tiang balai desa.

"Klaim seperti ini memang sering terjadi di sepanjang sejarah umat manusia!" imbuh Pak Lurah, "Untungnya Allah sudah menyiapkan mekanisme untuk mengatasi persoalan tersebut!"

"Apa itu Pak Lurah?" tanya Pak Ogah.

"Tes DNA!" pungkas Pak Lurah tegas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun