Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (32): Mayat Hidup

28 Juli 2024   09:33 Diperbarui: 28 Juli 2024   09:35 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

Nini Jailangnak, sambil mengusung mayat di pundaknya, menaiki bukit yang terjal dengan sangat cepat sekali. Pantas kalau dapat julukan Si Nenek Siluman. Baju dan rambutnya yang panjang berkibar-kibar tertiup angin. Dari kejauhan ia seperti seekor kelelawar besar yang melayang-layang menyusuri tebing. Akhirnya sampailah ia di daerah Kedung Lintah. Daerah yang sangat angker, liar dan tandus.

Di puncak bukit itu ada lapangan yang sebagian ditumbuhi alang-alang, di tengah-tengahnya terdapat sebuah pohon Gayam. Pohon tua yang menjulang tinggi dan berdaun rindang, yang menjadi sarang idaman burung-burung gagak. Melihat dari bentuk pohon yang sangat unik itu menunjukan bahwa usianya sudah mencapai ratusan tahun.

Di sebelah kiri terdapat mulut gua yang kecil dan gelap. Itulah tempat tinggal Si Nenek Siluman. Tempat yang benar-benar menyeramkan. Tidak jauh dari gua terdapat sumber mata air yang memancar keluar dan mengalir menjadi anak sungai kecil. Airnya gemericik tiada henti, bermain-main dengan batu-batu hitam halus yang dipenuhi lintah. Itulah barangkali yang menjadi alasan kenapa wilayah itu dinamakan Kedung Lintah.

Satu hal yang diketahui hanya oleh segelintir orang, bahwa di tempat itu banyak tulang belulang manusia yang sengaja tidak dikubur. Dibiarkan berserakan di antara ilalang. Sekitar tiga abad yang lalu, pernah ada penduduk yang mendiami wilayah itu. Akan tetapi, karena tanahnya sulit ditanami, maka tidak ada hasil bumi yang bisa diandalkan. Jadi tidak heran jika kemudian timbul keyakinan bahwa itu tanah terkutuk.

Semak belukar liar bisa tumbuh dengan subur. Namun, sayur-sayuran akan cepat menjadi kecoklat-coklatan dan membusuk, padahal baru dipetik. Sementara buah-buahan tumbuh kecil-kecil dan dipenuhi bercak-bercak hitam. Makanan praktis sulit diperoleh. Satu-satunya harapan cuma melakukan ritual untuk kerja sama dengan mahkluk halus penguasa bukit. Lewat cara itu, mereka berharap kutukan itu bisa musnah, agar roda kehidupan bisa berjalan dengan membawa perubahan yang lebih baik.

Ada seorang perempuan tua di kampung itu yang memiliki kemampuan berhubungan dengan makhluk-makhluk halus. Dukun perempuan yang dipanggil Nyi Gagak Gaib itu kemudian mendapat petunjuk agar mereka melakukan upacara ritual dengan mempersembahkan seorang gadis kecil sebagai tumbal. Suatu kebetulan bahwa di kampung itu hanya ada satu-satunya anak perempuan, yakni Nini Jailangnak.

Tentu saja kedua orang tua Nini tidak terima dengan keputusan yang mereka anggap sangat tidak adil itu, dan mereka akhirnya memutuskan untuk minggat dari kampung itu secara sembunyi-sembunyi. Sayangnya rencana mereka terbongkar dan mereka pun ditangkap. Karena dianggap berkhianat dan melanggar keputusan adat, maka satu keluarga itu pun kemudian dipersiapkan untuk dijadikan tumbal.

Di tengah kondisi tak berdaya dan putus asa, kedua orang tua Nini yang terpenjara dalam pasungan di dalam gua, meminta tolong kepada siapapun makhluk halus penguasa bukit agar menyelamatkan nyawa putri semata wayang mereka.

'Kekuatan setan harus dilawan pula dengan kekuatan setan', pikir mereka gelap mata. Mereka berikrar siap mengabdi kepada setan sebagai imbalannya.

Pada malam yang sudah ditentukan, obor-obor dinyalahkan membentuk lingkaran di mulut gua, menyibak gelap gulita. Terdengar tabuhan gendang dimainkan. Tarian pun digelar dengan goyangan pinggul seiring ritme gendang. Sekilas tarian itu memang menarik dan sedap dipandang, namun tarian itu sesungguhnya dimaksudkan untuk mengundang makhluk halus.

Menurut kepercayaan, goyangan pinggul yang menghentak itu mempengaruhi pusat-pusat saraf di punggung, yang nantinya akan menekan cairan yang mengaliri otak, kondisi itu yang membuat mereka akan mudah kerasukan. Ditambah lagi kepulan bau asap kemenyan yang menyengat. Itu bisa memabukan.

Ketika para penari sudah kerasukan, mereka lalu menggiring satu persatu calon tumbal. Bapak dan emak Nini lebih dulu dibantai, dengan cara memenggal kepala mereka dan kemudian melemparkan kepala-kepala itu ke dalam gua. Tanpa ada perlawanan sedikit pun, karena sebelumnya kedua orang yang dijadikan tumbal itu diberi minuman ramuan yang membuat keduanya seperti setengah kehilangan kesadaran.

Ketika giliran Nini, calon tumbal utama itu akan dipersembahkan, tiba-tiba hujan mengguyur bagaikan dicurahkan dari langit. Disusul petir yang menyambar menggelegar. Angin puting beliung memporak-porandakan memporak-porandakan tempat itu. Orang-orang panik. Berhamburan menyelamatkan diri.

Nini berhasil meloloskan diri dan lari ke dalam gua. Semua itu berlangsung sepanjang malam. Keesokan harinya, ketika Nini keluar dari gua, semua orang terkapar dalam kondisi tak bernyawa. Sebuah pemandangan yang mengerikan buat anak kecil seusianya. Sejak saat itu, Nini Jailangnak kemudian menjadi anak manusia yang tumbuh besar dalam asuhan para makhluk halus.

Tiga abad berlalu. Nini Jailangnak yang terobsesi dengan kehidupan abadi terus melakukan segala upaya untuk itu. Ia melayani orang-orang yang datang ke tempatnya untuk mencari 'Pesugian', dengan syarat mereka harus bersedia jadi budaknya. Ada pula yang datang untuk berguru ilmu hitam, dengan syarat harus bersedia menjadi kekasihnya. Salah satu muridnya yang menjadi kekasihnya itu adalah Ki Blandotan Kobra.

Nenek Siluman menyandarkan mayat Ki Blandotan di pohon Gayam. Tanpa menunda lebih lama lagi, ia melangsungkan upacara ritual memanggil roh untuk mengisi mayat. Ia menyalakan api, membakar menyan, memukul gendang kuno sambil menari mengitari api. Tembang mantra dilantunkan dengan penuh semangat.

Jin-jin berdatangan, seperti menghadiri pesta undangan. Nini mencari yang paling kuat di antara mereka. Perjanjian diucapkan. Tidak berselang lama, mayat Penjahat Besar Ki Blandotan Kobra itu pun mulai bergerak. Ki Blandotan kembali hidup. Tepatnya mayat hidup.

Mayat hidup itu memiliki badan sebagaimana Ki Blandotan Kobra ketika masih hidup. Hanya baunya sangat busuk. Beberapa bagian kulit di wajah dan tangannya melepuh dan terkelupas. Perut yang dulunya gendut kini menjadi rata, karena lambung dan ususnya kosong. Beberapa tulang rusuk tampak mencuat. Kain kafan bercampur sampah membungkus sebagian badannya.

Mayat hidup itu memiliki kekuatan di atas kekuatan umumnya manusia. Ia juga tidak mengenal rasa lelah maupun rasa sakit. Jadi tidak butuh istirahat. Ia tidak butuh makanan dan minuman. Ditambah lagi ia akan patuh mengikuti perintah tuannya. Tanpa bisa menolak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun