Oleh: Tri Handoyo
Nini Jailangnak, sambil mengusung mayat di pundaknya, menaiki bukit yang terjal dengan sangat cepat sekali. Pantas kalau dapat julukan Si Nenek Siluman. Baju dan rambutnya yang panjang berkibar-kibar tertiup angin. Dari kejauhan ia seperti seekor kelelawar besar yang melayang-layang menyusuri tebing. Akhirnya sampailah ia di daerah Kedung Lintah. Daerah yang sangat angker, liar dan tandus.
Di puncak bukit itu ada lapangan yang sebagian ditumbuhi alang-alang, di tengah-tengahnya terdapat sebuah pohon Gayam. Pohon tua yang menjulang tinggi dan berdaun rindang, yang menjadi sarang idaman burung-burung gagak. Melihat dari bentuk pohon yang sangat unik itu menunjukan bahwa usianya sudah mencapai ratusan tahun.
Di sebelah kiri terdapat mulut gua yang kecil dan gelap. Itulah tempat tinggal Si Nenek Siluman. Tempat yang benar-benar menyeramkan. Tidak jauh dari gua terdapat sumber mata air yang memancar keluar dan mengalir menjadi anak sungai kecil. Airnya gemericik tiada henti, bermain-main dengan batu-batu hitam halus yang dipenuhi lintah. Itulah barangkali yang menjadi alasan kenapa wilayah itu dinamakan Kedung Lintah.
Satu hal yang diketahui hanya oleh segelintir orang, bahwa di tempat itu banyak tulang belulang manusia yang sengaja tidak dikubur. Dibiarkan berserakan di antara ilalang. Sekitar tiga abad yang lalu, pernah ada penduduk yang mendiami wilayah itu. Akan tetapi, karena tanahnya sulit ditanami, maka tidak ada hasil bumi yang bisa diandalkan. Jadi tidak heran jika kemudian timbul keyakinan bahwa itu tanah terkutuk.
Semak belukar liar bisa tumbuh dengan subur. Namun, sayur-sayuran akan cepat menjadi kecoklat-coklatan dan membusuk, padahal baru dipetik. Sementara buah-buahan tumbuh kecil-kecil dan dipenuhi bercak-bercak hitam. Makanan praktis sulit diperoleh. Satu-satunya harapan cuma melakukan ritual untuk kerja sama dengan mahkluk halus penguasa bukit. Lewat cara itu, mereka berharap kutukan itu bisa musnah, agar roda kehidupan bisa berjalan dengan membawa perubahan yang lebih baik.
Ada seorang perempuan tua di kampung itu yang memiliki kemampuan berhubungan dengan makhluk-makhluk halus. Dukun perempuan yang dipanggil Nyi Gagak Gaib itu kemudian mendapat petunjuk agar mereka melakukan upacara ritual dengan mempersembahkan seorang gadis kecil sebagai tumbal. Suatu kebetulan bahwa di kampung itu hanya ada satu-satunya anak perempuan, yakni Nini Jailangnak.
Tentu saja kedua orang tua Nini tidak terima dengan keputusan yang mereka anggap sangat tidak adil itu, dan mereka akhirnya memutuskan untuk minggat dari kampung itu secara sembunyi-sembunyi. Sayangnya rencana mereka terbongkar dan mereka pun ditangkap. Karena dianggap berkhianat dan melanggar keputusan adat, maka satu keluarga itu pun kemudian dipersiapkan untuk dijadikan tumbal.
Di tengah kondisi tak berdaya dan putus asa, kedua orang tua Nini yang terpenjara dalam pasungan di dalam gua, meminta tolong kepada siapapun makhluk halus penguasa bukit agar menyelamatkan nyawa putri semata wayang mereka.
'Kekuatan setan harus dilawan pula dengan kekuatan setan', pikir mereka gelap mata. Mereka berikrar siap mengabdi kepada setan sebagai imbalannya.