Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Para Pemuja Perang

17 Juli 2024   06:33 Diperbarui: 17 Juli 2024   06:55 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Terdengar sedikit tepuk tangan bersahutan. Sang kaisar tampak menegakkan punggungnya. "Ini mulai menarik," gumamnya lirih. Perpecahan adalah kosa kata yang selalu terdengar merdu.

Setelah menguraikan panjang lebar teknik dan menyodorkan bukti foto-foto hasil kerjanya, setan itu pun lolos dari hukuman, dan sebaliknya langsung mendapat penghargaan.

Dari atas podium ulama setan kembali melanjutkan paparannya, "Bibit permusuhan harus kita pupuk terus hingga tumbuh menjadi pohon peperangan!"

Seruan pujian bersahutan mengiringi tepuk tangan para dewan. "Bagus!" Reaksi sang kaisar mengepalkan tinjunya. Peperangan adalah kosa kata yang terdengar paling indah di telinganya.

Raut muka sangat mengerikan ulama setan itu jelas menggambarkan  derajad kebangsawanannya. Kedua bola matanya menonjol nyaris keluar, sementara hidungnya bolong. Mulutnya robek sampai telinga, sehingga menampakan taring-taring yang runcing. Setan yang paling disegani di kerajaan itu melanjutkan, "Perpecahan dan peperangan terbukti mampu membuat umat manusia lari dari Tuhannya! 

Ketika mereka mengalami kehancuran, kemiskinan, kelaparan, depresi, putus asa, maka tidak ada lagi hukum yang akan mereka anut. Termasuk hukum Tuhan pun gak ada artinya. Pasca perang dunia II, survey saat itu membuktikan ateis merajalela, tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Jadi, kita harus bisa memanipulasi manusia agar mencintai perang. Mereka harus menganggap perang itu indah. Apalagi jika sampai bisa membuat mereka memujanya!"

Tepuk tangan gemuruh disusul teriakan-teriakan penuh antusias. "Setuju..! Setuju..!"

Suara mereka memenuhi seluruh ruang istana hingga pijar lava tampak bergejolak senada.

Tampaknya hujan akan segera turun malam itu. Mendung hitam menggantung di langit. Kilat menyambar, halilintar menggelegar, namun tak sedikit pun menyurutkan semangat para setan untuk melanjutkan sidang istimewanya.

Sang kaisar berdiri dari singgasana seraya mengacungkan piala sebagai anugerah tertinggi. "Selain piala ini!" ujarnya ditujukan kepada setan yang berada di podium, "Kamu mendapat anugerah tambahan seribu pasukan!" Senyum puas menghiasi wajahnya yang beringas. "Lanjutkan..!" teriaknya keras dan tegas. Peperangan adalah kosa kata favoritnya.

Ulama setan kembali melanjutkan paparannya, "Orang yang terjatuh karena terpeleset lidah, kemudian ia menyesal dan menjadikannya merasa rendah itu adalah hal yang paling kita benci setengah mati, betul! Dan kita memuja mereka yang merasa baik, merasa benar dan kemudian menjadikan dirinya sombong..! Kita mencintai ulama-ulama yang sombong! Karena sombong itu ciri khas kita yang sangat nyata, betul?!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun