Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (25): Pertarungan Musuh Bebuyutan

12 Juli 2024   11:20 Diperbarui: 16 Juli 2024   12:03 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

Mendung masih kelabu di atas langit Jombang, padahal telah diguyur hujan sepanjang pagi. Suara lalu lalang orang lewat di jalanan tidak mampu membangkitkan keceriaan sore itu.

“Saya khawatir!” Orang gendut itu berkata, “Saya takut orang-orang Trowulan mungkin sedang mengawasi kita!”

Orang yang bertubuh kekar dengan bulu lebat di dadanya, yang dikenal bernama Ki Paimo, menanggapinya dingin. “Kekawatiranmu itu tidak beralasan, Raden!”

Ki Paidi tertawa dan mendukung apa yang baru saja dikatakan Ki Paimo. Mereka bertiga duduk menghadap meja kotak jauh dari keramaian warung ayam bakar. Seorang gadis bertubuh menarik mendatangi meja, menawarkan menu makanan dan minuman. Mereka sebetulnya lebih tertarik kepada gadis itu daripada menu makanan yang ditawarkan.

“Nasi ayam bakar, urap-urap, dan wedang uwuh, Nduk!” pesan Ki Paimo cepat, pandangannya menyusuri dengan cermat sekelilingnya.

“Aku juga sama!” sahut Ki Paidi.

Orang gendut yang bernama Raden Kusno sedang sibuk mengelap mukanya yang penuh keringat dengan ujung lengan baju. Ia sengaja memperlambat memesan karena senang menikmati pemandangan gadis berkebaya itu dari dekat. Kalau saja tidak ada dua orang perkasa bersamanya saat itu, ia pasti sudah menggoda gadis itu.

“Pesan apa, Pak Raden?” Gadis itu mencoba mengingatkan Kusno. Ia merasa orang gendut itu sengaja berlama-lama.

“Sama saja semuanya, Nduk!” sahut Ki Paimo tidak sabar.

Raden Kusno tidak berminat untuk berdebat. Ia kemudian menganggukan kepala kepada gadis yang menyambut dengan senyuman. Lelaki gendut itu menikmati pemandangan tubuh gadis berkebaya itu hingga menjauh. “Ki, bagaimana kalau...”

“Cukup! hentikan ketakutanmu yang berlebihan itu, Raden!” bentak Ki Paimo jengkel, “Jalankan saja perintah yang kau terima! Semua akan baik-baik saja!”

“Bagaimana kamu bisa yakin?” Raden Kusno bertanya hati-hati, “Tentara Majapahit akhir-akhir ini juga sepertinya sering datang ke sini, jangan-jangan mereka mengendus gerakan kita!”

“Cukup!” geram Paimo tidak sabar.

“Baiklah!” Raden Kusno merendahkan suaranya seolah sebagai ungkapan permintaan maaf. Dia adalah seorang Kabuyutan, pemimpin yang membawahi wilayah kedukuhan di situ, sedangkan dua pendekar itu adalah anak buah kepercayaan Ki Demang Wiryo, seorang kepala kademangan, kedudukan setingkat kecamatan.

Tepat di depan seberang jalan warung yang terkenal di pusat kota Jombang itu, terdapat langgar tua yang cat dinding temboknya sudah banyak yang mengelupas. Tapi huruf-huruf Jawa yang ditulis di dinding berbunyi ‘Langgar Al Akbar’ masih dapat terbaca dengan jelas. Pada saat itu terdengar suara orang mengajar agama dari dalam. Terdengar suara kakek tua yang kemudian ditirukan oleh suara anak-anak yang nyaring penuh gairah.

“Coba siapa yang bisa sebutkan rukun iman itu apa saja?” terdengar suara sang kakek memberi pertanyaan dengan sabar.

“Saya..! Saya..!” Suara anak-anak kecil itu menyahut cepat dan mengacungkan tangan berebut menjawab.

Pada saat bersamaan, seorang pendekar bertubuh tinggi besar dengan sepasang mata bundar jelalatan dan lengan tangan berotot kekar, masuk ke dalam warung. Ia berkacak pinggang sambil melihat ke sekililing dengan penuh perhatian. Wajahnya mendadak merah begitu melihat dua orang yang rambutnya digelung rapi ke atas.

“Hai Blandotan, kau berani datang menemui kami?” Ki Paimo mendahului membentak sambil mengketuk-ketukkan ujung jarinya di atas meja. “Apakah kau mau cari mati?”

Pendekar gundul yang dijuluki Ki Blandotan Kobra itu tertawa dengan suara aneh sekali. Keras dan memekakkan telinga. Orang-orang yang berada di dalam warung segera menyingkir mencari selamat.

Pendekar gundul berdiri dengan kedua kaki kuda-kuda terbentang lebar dan menggerak-gerakkan kedua telapak tangan sambil berkata, “Hmm! Kalian Pendekar Jeliteng, jangan merasa bangga karena kalian bisa lolos pada beberapa tahun yang lalu! Ha..ha..ha!” Kemudian pendekar gundul itu langsung menggerakkan badannya yang besar dan berat untuk melancarkan serangan. Ia tampak gesit sekali.

Dua Pendekar Jeliteng adalah dua tokoh yang telah lama malang melintang di dunia persilatan. Mereka ini adalah tokoh-tokoh terakhir dari perguruan Macan Kumbang dan memiliki ilmu silat tinggi. Ki Paimo Jeliteng memiliki tenaga dalam yang besar sekali hingga sukar dicari tandingannya. Ki Paidi Jeliteng yang brewokan memiliki kekuatan otot melebihi tenaga seekor banteng jantan. Di samping kelebihan khusus itu, mereka berdua masing-masing memiliki sepasang senjata yang luar biasa, yang disebut Pisau Pancanaka.

Menghadapi Ki Blandotan Kobra, mereka berpencar dan mengepung dari dua sisi. Ki Blandotan memiliki jurus aneh seperti menari berlenggak-lenggok. Kedua telapak tangannya bagaikan dua kepala ular kobra yang hidup dan bergerak-gerak mencari sasaran. Inilah ilmu Silat Kobra Sewu. Setiap serangan beracun yang dilancarkan datangnya secara tak terduga dan selalu mengarah pada urat syaraf kematian.

Kedua Pendekar Jeliteng yang pernah bertempur dengan Ki Blandotan di puncak Bukit Tunggorono sekitar tiga tahun yang lalu, sedikitnya tahu akan keganasan jurus Kobra Sewu itu, sehingga mereka harus sangat hati-hati.

Sementara itu, Ki Blandotan makin lama makin mendesak lawannya. Kedua pendekar Jeliteng terkejut sekali karena ternyata kepandaian Si Gundul itu telah maju demikian pesat dan jauh bedanya jika dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu.

Suara keributan itu terdengar sampai kakek dan murid-muridnya yang sedang berada di dalam langgar menjadi terkejut. Anak-anak kecil yang tak dapat menahan keingin-tahuannya itu berhamburan keluar. Kakek tua mencoba melarang tapi terlambat. Ketika guru yang kurus seperti orang cacingan itu menyusul keluar, ia melihat dua orang pendekar dan disusul seorang pendekar berkelebat di jalan, saling berhadapan dan saling menyerang dengan sengit.

Kakek tua itu menjadi takut dan buru-buru menarik lengan anak-anak untuk diajak bersembunyi di belakang pintu, tapi namanya anak-anak, jangankan sembunyi, mereka justru menonton di cela-cela pintu.

Karena tahu bahwa jika terus bertempur dengan tangan kosong akan kewalahan, tiba-tiba Ki Paimo Jeliteng berseru keras, “Blandotan, kau benar-benar hendak mengadu nyawa?” Setelah berkata demikian, ia secepat kilat mencabut sepasang pisau yang terselip di ikat pinggangnya. Biarpun pisau itu pendek, namun berada di dalam genggamannya ia berubah menjadi sepasang senjata yang dasyat. Pisau bergagang kayu stigi dan berbentuk melengkung seperti kuku Wrekudara itu diputar-putar menyerang sampai menghasilkan angin dingin. Ki Paidi Jeliteng yang tinggi besar itu pun juga mencabut keluar sepasang senjata yang sama, senjata yang berkilauan saking tajamnya. Kedua pendekar itu lalu menyerang dengan hebatnya bagaikan serangan puting beliung mengamuk.

“Ha, ha, ha! Ayo keluarkan semua kepandaianmu!” Ki Blandotan Kobra melayani tanpa sedikitpun merasa gentar. Jari-jarinya yang berkuku hitam adalah senjata yang sangat beracun, karena badan yang terluka olehnya lambat laun akan membusuk dan dapat menyeret si korban ke lubang kuburan. Hawa dingin tenaga dalam mereka seketika menyeruak di sekitar tempat itu.

Sebentar saja tiga orang itu kembali bertempur jauh lebih hebat karena kini mereka tampak sebagai bayang-bayang yang bergerak ke sana ke mari. Pertempuran sengit dan mengerikan, namun juga menjadi tontonan yang menarik. Orang-orang pun tampak berkerumun dari kejauhan.

Kadang-kadang saja, warna merah dari baju pendekar gundul itu masih tampak dan ia terkurung di tengah-tengah baju hitam, bertahan sekaligus menyerang balik mati-matian. Biarpun Ki Blandotan Kobra hebat sekali dan permainan silatnya sangat berbahaya, namun menghadapi dua permainan senjata dari kedua Pendekar Jeliteng itu, cukup membuatnya menguras banyak tenaga.

 “Hai Kobra renta, sekarang kau hendak lari ke mana?” Ki Paimo Jeliteng menyindir sambil memperhebat gerakan pisaunya.

“Ha..ha..ha! Macan Kumbang tua, apa kalian kira kalian bisa selamat kali ini?” Biarpun dalam keadaan terdesak, Ki Blandotan Kobra masih sempat tertawa. Kemudian terdengarlah bunyi aneh dari mulutnya. Suara menyerupai mantra yang didendangkan seperti tembang.

Pandangan mata kedua Pendekar Jeliteng tiba-tiba seperti berkabut. Mereka semakin meningkatkan kewaspadaan, karena tiba-tiba mereka melihat Ki Blandotan Kobra tampak menjadi tiga, kemudian lima, dan kemudian menjadi tujuh orang, yang masing-masing bergerak dan sesekali mengirim serangan. Beberapa kali pukulan dan tendangan berhasil membuat kedua pendekar Macan Kumbang itu terhuyung-huyung mundur.

Kali itu keadaan dua orang Pendekar Jeliteng cukup berbahaya sekali. Rupanya mereka akan sulit tertolong. Tapi pada saat itu, Raden Kusno yang tadi menghilang kini datang bersama puluhan anak buahnya, dan tanpa banyak bicara mereka segera memberikan bantuan, mengepung Ki Blandotan.

‘Kobra, makin tua makin jahat juga ilmunya!’ gumam Ki Paimo Jeliteng, lalu mengajak anak buah Raden Kusno untuk secepat mungkin menghabisi musuhnya. Tanpa mempedulikan rasa malu akan gunjingan orang-orang yang menonton, karena pertarungan yang tidak seimbang.

Ki Blandotan membanting kakinya yang besar dan kuat. Ia tak kalah dalam hal ilmu silat sekalipun dikeroyok ratusan orang, tapi tenaganya telah terkuras. Ia marah sekali karena gagal membunuh dua orang musuh bebuyutannya. Kini ia harus memutar otak agar bisa meloloskan diri dari tempat itu. Ia kemudian secepat kilat menyerang sisi di dekat langgar dan berhasil merobohkan beberapa orang, secepat kilat menerobos masuk ke dalam langgar, kedua tangannya merenggut dua orang anak kecil sebagai sandera dan langsung membanting pintu dengan kakinya. Dia rupanya pendekar yang tidak hanya sangat sakti, tapi juga sangat licik.

Pendekar Jeliteng dan pasukan Raden Kusno secara naluri, tanpa dikomando, bergegas mengepung langgar, namun tidak ada seorang pun yang berani masuk.

“Jangan sampai bajingan itu lolos!” teriak Ki Paimo emosional. “Kita bakar saja langgarnya! Ayo kita bakar! Ayo bakar!”

Seorang pemuda tiba-tiba keluar dari kerumunan penonton dan menghadang Ki Paimo. “Jangan dibakar. Ada anak-anak dan Mbah Kucing di dalam!”

“Persetan! Blandotan Kobra itu bajingan besar dan musuh kerajaan yang harus dimusnakan!” sahut Ki Paimo dengan tatapan mata tajam.

“Jangan!” bentak si pemuda pemberani itu dengan tatapan mata tak kalah tajam, “Kamu harus hadapi saya sebelum membakarnya!”

Kedua pendekar Macan Kumbang dan pasukan Raden Kusno dibuat melongo mendengar itu. ‘Ini anak sinting atau tolol!’ batin mereka, ‘Ia tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa!’

Tiba-tiba mereka semua dikejutkan dengan suara pintu langgar yang terbuka dan tampak anak-anak yang berlari keluar. Di tengah rasa penasaran dengan apa yang terjadi, mereka segera melihat ke dalam dan mendapati tubuh Ki Blandotan Kobra yang tergeletak di lantai dalam keadaan tak bernyawa. Tidak jauh dari situ ada kakek tua yang tubuhnya tampak menggigil ketakutan.

“Apa yang terjadi?” tanya Raden Kusno kepada kakek guru ngaji itu.

“Ampun, saya tidak tahu Raden. Dia tiba-tiba jatuh sendiri!” jawab kakek itu dengan suara gemetar.

Dua Pendekar Jeliteng saling berpandangan keheranan. Mata mereka menyimpan tanda tanya besar. Tidak terdapat luka serius di tubuh mayat musuh bebuyutannya itu. Mata mayat itu terbelalak merah dan mulutnya ternganga, tapi tidak ada sedikitpun darah yang mengalir keluar.

“Siapa kakek itu?” bisik Ki Paimo di dekat telinga Raden Kusno. “Blandotan ini dibunuh oleh orang yang berilmu sangat tinggi!” Ia diam-diam mengamati tangan kakek yang masih tampak gemetar.

“Dia hanya seorang penjaga langgar dan guru ngaji!” jawab Raden Kusno ikut berbisik. “Orang memanggilnya Mbah Kucing. Rasanya mustahil dia pelakunya!”

***

Ketika kedua tangannya meringkus dua anak kecil dan membawa masuk ke dalam langgar, tiba-tiba kedua lengannya terasa kesemutan dan menyebabkan kedua anak itu terlepas dari cengkeramannya. Sebelum hilang rasa bingung itu, terdengar suara yang penuh wibawa menegur lirih.

“Tidak malukah kamu, Pendekar? Menyerang anak-anak tak berdaya?”

Di saat itu di luar terdengar teriakan untuk membakar langgar.

Kakek yang tubuhnya kerempeng itu kemudian mengibaskan tangan, melayangkan pukulan tenaga dalam ke arah jantung dan membuat jantung itu hancur seketika dan darah menggumpal beku.

Hari itu, berita tentang kematian Ki Blandotan Kobra, sosok yang nama keramatnya puluhan tahun mewarnai puncak dunia kejahatan, dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok pulau Jawa. Masyarakat luas menyambut kabar itu dengan penuh rasa syukur, dan tidak ambil pusing dengan seberapa tragis dan misterius kematiannya.

Mereka bersyukur karena tindak kejahatan sedikitnya akan berkurang. Selebihnya, yang penting segala dendam dan sumpah serapah kepada penjahat besar itu, yang selama ini terpendam, telah terlampiaskan dan terobati.

Di sisi lain, bagi dunia persilatan, siapa sosok pendekar yang menghabisi nyawa Ki Blandotan Kobra itu adalah pertanyaan yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Banyak pendekar yang diam-diam menyelidiki dan menjadikan peristiwa itu sebagai obrolan yang mengasyikan.

“Siapakah gerangan, manusia yang sangat sakti tapi tidak mau diketahui identitasnya itu?” Itulah pertanyaan besar yang menggantung di benak masyarakat luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun