Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (23): Hari Pembalasan

9 Juli 2024   06:46 Diperbarui: 9 Juli 2024   06:59 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Pada hari berikutnya, Japa mencari tahu di mana ayahnya, Raden Suto Gumilar, dimakamkan. Tentu saja juga berniat menelusuri segala sesuatu mengenainya. Hasil penyelidikannya memberikan kesimpulan yang membuatnya lebih penasaran lagi, bahwa pada masa lampau kakeknya, Ki Gumelar, memang pernah dituduh menyembunyikan sebagian harta rampasan perang. Tuduhan yang terus diwariskan ke anak keturunannya itu ternyata tidak pernah terbukti.

Orang-orang yang dituduh berkomplot dengan Ki Gumilar pun tidak semuanya dihukum mati, sepertinya hanya 'tebang pilih'. Yang lebih penting lagi, harta yang dituduhkan itu juga tidak pernah ditemukan keberadaannya. Penemuan hasil menggali informasi dari berbagai sumber itu membuat Japa berusaha lebih keras untuk mencari jawaban lebih jauh lagi.

Konon, usai tragedi Bubat, ada beberapa pejabat tinggi istana yang memanfaatkan kerenggangan hubungan antara Prabu Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Mereka kemudian menjalin hubungan secara rahasia dengan kelompok dari Sunda yang hendak melakukan balas dendam dalam operasi senyap. Mereka menuding mahapatih hebat itu telah mencoreng kehormatan kerajaan, dan telah merongrong wibawah Prabu Hayam Wuruk, sehingga hukuman yang layak baginya hanyalah kematian. Bisa jadi lantaran gagal menghukum Gajah Mada, maka mereka kemudian melampiaskannya ke orang-orang kepercayaan mahapatih tersebut. Salah satu korbannya adalah Raden Suto Gumilar.

Japa teringat nasehat Eyang Dhara, bahwa 'Tak ada gading yang tak retak'. Jika orang hanya fokus untuk mencari retakan, maka ia bakal menemukannya. Padahal retakan gading itu bukan sesuatu yang dianggap cacat, melainkan sebagai tanda keaslian sebuah gading.

Mengenai apa yang menimpah Gajah Mada, dengan adanya retakan itu adalah hal yang manusiawi, tidak berarti lantas menutup mata dan mengingkari semua perjuangannya dalam membawa Majapahit ke puncak kejayaan.

***

Di suatu siang yang cerah, Japa Dananjaya berhasil menemukan rumah almarhum ayah kandungnya, Raden Suto Gumilar. Rumah berpekarangan luas itu sejak sekitar tujuh belas tahun yang lalu telah dikuasai oleh sebuah perguruan silat bernama Mahasura, yang bermakna pejuang besar. Perguruan itu adalah jelamaan organisasi yang bertanggung jawab atas kematian kakek Japa, Gumilar dan kemudian juga ayahnya, Suto Gumilar.

Setelah memperkenalkan diri dan mendapat ijin masuk, Japa dipersilakan menunggu di ruang tamu. Sebuah tulisan dalam bingkai ukiran kayu yang terpajang di dinding berbunyi, 'Yang kuat bertahan yang bakal jadi penguasa'.

Di dalam hati pemuda yang genap berusia tujuh belas tahun itu menyimpulkan bahwa bunyi semboyan Mahasura itu menyiratkan sebuah hukum rimba. Hukum yang seolah-olah menjadi pijakan perguruan tersebut dalam bertindak.

Setelah diabaikan lumayan lama, akhirnya orang yang menjadi pimpinan Mahasura itu keluar menemui Japa di ruang tamu. Japa merasa sedikit heran kenapa pemimpin yang bernama Sujana itu tiba-tiba melontarkan pertanyaan kasar.

"Hei, apakah benar kau keturunan pengkhianat Suto Gumilar?" hardik Sujana, "Ada perlu apa kau datang ke mari?"

"Betul, saya adalah putra Suto Gumilar," jawab Japa sopan namun tegas, "Tapi saya bukan putra seorang pengkhianat."

"Terus kau mau apa?"

"Nujuwari piwales!"

Tiga belas orang yang saat itu berada di dalam ruangan sangat kaget. 'Nujuwari piwales', sebuah istilah yang berarti menuju hari pembalasan adalah kata sandi milik kelompok operasi senyap yang dulu ingin menumpas Gajah Mada.

Setelah belasan tahun, 'tembung garba' kata sandi itu terkubur bersama terkuburnya nama besar sang mahapatih, tiba-tiba kini ada seorang pemuda yang mengucapkannya. Orang-orang memandang wajah Japa dengan heran, karena hampir tak percaya bahwa kata-kata tadi keluar dari mulut pemuda itu.

"Ha..ha..ha..!" Terdengar suara tawa meledak memenuhi ruang tamu. Seorang anak muda sendirian mau menuntut pembalasan kepada perguruan terkuat di wilayah itu tentu seperti lelucon.

"Nujuwari piwales!" ujar Sujana berkelakar, "Kau rupanya agak sinting ya?" Laksana seekor anak rusa masuk sarang buaya, tentu mustahil untuk melakukan balas dendam. "Dasar keturunan pengkhianat sinting!"

"Anda ini sebagai orang tua jangan bicara seenak udelnya saja," kata Japa merasa kesal. "Apa kalian bisa membuktikan fitnah keji itu?"

Ki Sujana mengeluarkan suara melalui lubang hidungnya untuk merendahkan. "Siapa yang berpihak kepada pengkhianat, maka dia pasti pengkhianat pula! Sekarang kau mau apa?"

"Hm.., ijinkan saya mendapat pelajaran dari anda!" sahut Japa datar. Itu adalah ungkapan yang jelas maksudnya menantang adu ilmu.

"Begitu lebih bagus, tak buang waktu dengan omong kosong!" dengus Ki Sujana dan tawa sosok yang bertubuh tinggi besar itu pun menggelegar. "Ini namanya ular menghampiri alat penggebuk!" Ia kemudian memberi kode seorang anak buahnya agar maju memberi pelajaran kepada tamu yang dianggap tak tahu diri itu. "Cukup kau saja yang turun tangan, Cak Ndul!"

Saat sebuah pukulan melayang ke arahnya, Japa dengan tenang sekali mendahului gerakan lawan dan sekali menjentikan jari, tangan kanan orang yang dipanggil Cak Ndul itu menjadi lumpuh. Ternyata sentilan bertenaga dalam jari Japa tepat sekali mengenai jalan darah, sehingga lengan orang gundul bertubuh kekar itu terasa lemah tak bertenaga. Sambil menyembunyikan rasa malu si gundul meringis kesakitan.

Sementara itu, Ki Sujana yang tadinya memandang sebelah mata, kini menyadari betapa anak muda itu ternyata memiliki ilmu yang lumayan. Wajah beringasnya berubah merah menahan geram. "Habisi keturunan pengkhianat keparat itu!"

Tiga orang lalu maju sambil menggeser meja dengan kaki lalu mengepung Japa. Mereka semua mencabut pedang dari sarungnya dan sebentar saja terjadilah pertempuran sengit. Selama ini Japa tak pernah menggunakan senjata tajam. Dengan mengandalkan kedua tangan dan kedua kaki saja ia sudah membuat lawan yang bersenjata tajam itu harus menerima pukulan berkali-kali. Gerakan jurus-jurusnya yang gesit sejauh ini mampu mengimbangi keroyokan tiga orang dewasa yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi.

Setelah ketiga anak buahnya tersungkur, Ki Sujana berseru, "Ayo kita keroyok ramai-ramai saja bangsat kecil ini!" Ia merasa penasaran sekali, betapa ketiga temannya yang ilmunya nyaris setara dengan dirinya begitu kewalahan menghadapi seorang pemuda bertangan kosong. Sungguh memalukan nama besar perguruan. Untung guru besar mereka sedang tidak berada di tempat, sehingga tidak sampai menerima kemarahan darinya.

Maka semua orang maju serentak mengeroyok Japa. Anak muda itu maklum bahwa mereka tentu menghendaki nyawanya, maka ia pun kini tidak tanggung-tanggung dalam mengirim serangan. Lebih berbahaya dibanding sebelumnya.

Sungguh sulit dipercaya, berbagai sabetan dan tusukan senjata dari tiga belas orang itu tak sedikitpun mengenai sasaran, bahkan Japa berhasil merobohkan beberapa orang di antara mereka.

Kali ini Ki Sujana berkesempatan mengerahkan seluruh energinya, meloncat sambil mengayunkan golok untuk menebas leher. Anehnya, Japa tidak tampak akan berkelit maupun menangkis, dan ketika golok sudah dekat leher, tangan pemuda itu sudah terulur maju menangkap pergelangan dan memutar untuk membanting dengan gerakan yang indah dan cepat sekali.

Ki Sujana terkejut dan goloknya sudah berpindah tangan saat tubuhnya terbanting dengan keras. Beberapa kawannya melongo melihat betapa ketua mereka terkapar di atas lantai, rupanya tidak akan sanggup lagi untuk bangun dalam waktu singkat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun