Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (19): Hati Raja Patah

27 Juni 2024   08:30 Diperbarui: 27 Juni 2024   08:45 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Peristiwa Bubat membuat beberapa musuh politik Gajah Mada mendesak raja agar memberi hukuman kepada mahapatih itu. Bahkan hukuman terberat, yakni mencopotnya dari kedudukan sebagai Mahapati Amangkubumi. Namun, langkah pencopotan itu dipandang akan berpotensi menimbulkan gejolak politik yang sangat besar, yang bahkan memungkinkan terjadinya perang saudara.

Gajah Mada memiliki pengaruh yang lumayan besar, bisa dibilang melebihi pengaruh sang prabu sendiri. Semua tahu bahwa jalannya roda pemerintahan berada sepenuhnya di bawah kendali sang Perdana Menteri tersebut. Sedangkan sang raja hanya duduk manis di atas singgasana dan tinggal menerima laporan saja. Itu yang membuat raja berada dalam posisi sulit untuk mengambil keputusan.

Perang saudara antara prajurit Majapahit yang mendukung dan menentang Gajah Mada memang hampir terjadi setelah peristiwa itu. Penentang Gajah Mada berasal dari golongan bangsawan yang marah akibat kehendak rajanya untuk segera memiliki permaisuri gagal. Sedangkan pendukung Gajah Mada kebanyakan berasal dari pasukan militer yang selama ini dengan setia berada di belakangnya. Apabila ditelusuri lebih jauh, mayoritas penduduk Majapahit memandang peristiwa Bubat bukanlah mutlak kesalahan Majapahit. Rakyat bisa memaklumi tindakan Gajah Mada, dan sama sekali tidak menyalahkannya.

Prabu Hayam Wuruk akhirnya hanya memilih mengurung diri, hingga berhari-hari. Ia merasa begitu sedih, marah, kecewa, dan yang jelas sangat patah hati.

Gajah Mada sendiri di dalam pembelaannya di hadapan dewan penasehat istana mengungkapkan bahwa selama ini sikap dan pandangan Majapahit terhadap kerajaan-kerajaan lain yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara sudah jelas dan tegas. Majapahit menempatkan diri sebagai pemimpin dan pengayom wilayah Nusantara, dan kerajaan lain harus satu kata dengan Majapahit. Itulah arti dari kesatuan dan persatuan.

Sikap Majapahit tersebut tidak boleh berat sebelah. Tidak boleh membeda-bedakan. Mahapatih tersebut lebih memandang tunduknya kerajaan Sunda di wilayah barat tersebut mesti diberlakukan sama dengan tunduknya kerajaan-kerajaan lain, andaikata menolak, seharusnya ditundukan dengan kekuatan militer. Sedangkan sang prabu dan ibu suri lebih memilih langkah sebaliknya, harus tetap menempuh jalan damai.

Langkah menempuh jalan damai tersebut sudah dilakukan, salah satunya adalah dengan berbesanan. Akan tetapi, prinsip tegas Gajah Mada yang berharap Sunda Galuh bersedia tunduk, berujung pada kesalahan pengelolaan keadaan, sehingga terjadilah tragedi yang tidak diinginkan. Malang tak bisa ditolak, untung tak bisa diraih, itulah gambaran yang tepat untuk menggambarkan terjadinya tragedi Bubat.

***

Dalam Pararaton dikisahkan, setelah peristiwa Bubat, tidak lama kemudian Patih Gajah Mada Mukti Palapa, yaitu mengundurkan diri dari kepatihan dan melakukan pengembaraan. Namun pengembaraan tersebut tidak berlangsung lama, pada tahun Saka 1281 atau tahun Masehi 1359, Gajah Mada ikut serta dalam kunjungan Prabu Hayam Wuruk ke daerah Lumajang. Peristiwa tersebut tercatat dalam kitab Negarakertagama pupuh 18/2.

Pada tahun 1362, Prabu Hayam Wuruk mengadakan upacara Srada sebagai penghormatan untuk ibu suri Gayatri, Gajah Mada tampil ke depan, sebagai patih mangkubumi, mempersembahkan arca putri cantik yang sedang bersedih berlindung di bawah gubahan Nagapuspa yang melilit Rajasa.

Selanjutnya dalam Pararaton dikisahkan perkawinan Prabu Hayam Wuruk dengan Paduka Sori, yang dimaksudkan untuk menghibur hati raja yang menderita kepedihan akibat kegagalan perkawinannnya dengan Dyah Pitaloka. Gajah Mada juga hadir. Setelah perkawinan tersebut keadaan menjadi reda, kemarahan Prabu Hayam Wuruk kepada Gajah Mada menjadi berkurang dan kelanjutan pemerintahan menjadi prioritas yang lebih diutamakan.

Dalam masa jabatan kedua Gajah Mada sebagai patih mangkubumi tidak terdapat sejarah yang berkaitan dengan gagasan Nusantara. Mungkin sekali setelah peristiwa Bubat, Gajah Mada sudah merasa letih dan tua.

Pendekar besar itu sudah merasa puas karena gagasan Nusantaranya telah dapat dilaksanakan lebih luas dari pada sumpah Palapa yang pernah diucapkan. Suatu kenyataan bahwa ia tidak bergerak seaktif ketika masa jabatan patih mangkubumi yang pertama. Dalam masa jabatan ke dua sebagai patih mangkubumi ia lebih banyak melaksanakan kunjungan ke daerah-daerah mendampingi Prabu Hayam Wuruk.

Dalam Nagarakretagama pupuh 17, kunjungan tersebut diantaranya: Pajang tahun 1353, Lasem tahun 1354, Pajang tahun 1357, dan Lumajang tahun 1359. Dalam perjalanan yang terakhir tersebut Gajah Mada tidak ikut serta.

Atas semua jasa-jasanya, Sang Prabu menganugerahkan wilayah yang disebut 'Madakaripura' kepada Gajah Mada. Ada pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada sebetulnya masih menjabat sebagai Mahapatih, hanya saja ia memerintah dari Madakaripura. Madakaripura adalah sebuah pura yang berlokasi di pegunungan, dengan dikelilingi pemandangan indah, di Tongas Probolinggo

Disebutkan dalam Negarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia mendapat kabar bahwa Gajah Mada menderita sakit.

Sang Prabu segera mengirim tabib terbaik istana ke Madakaripura untuk mengobati, tetapi tabib tersebut tidak menemukan Gajah Mada. Gajah Mada sudah menghilang. Ratusan prajurit kerajaan dikerahkan untuk mencari hingga ke pedusunan dan menyusuri hutan. Hal tersebut membuktikan betapa besar arti Gajah Mada bagi Hayam Wuruk dan Majapahit. Upaya pencarian itu sia-sia.

Sang Prabu sangat kehilangan dan sedih atas kepergian Gajah Mada, selain karena jasanya yang sangat besar, Gajah Mada juga sangat dicintai segenap lapisan rakyat Majapahit.

Dikatakan bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahapatih Agung yang cerdas, wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Hayam Wuruk sangat kerepotan saat mencari pengganti Gajah Mada, sosok yang serba bisa itu.

***

Gajah Mada berprinsip bahwa hidup hanya sementara sehingga dalam perbuatannya sehari-hari di ujung kehidupannya lebih banyak diisi dengan kegiatan beribadah. Para pembantu sering melihat tokoh besar itu banyak menghabiskan waktu untuk bersemedi di dalam pura.

Selain mengenai kelahirannya, begitu juga dengan yang terjadi di akhir kehidupannya, yang tidak kalah misteriusnya hingga sekarang. Ada beberapa hipotesis yang mendasari acuan kisah akhir Gajah Mada.

Yang pertama, Gajah Mada meninggal karena sakit. Ambisinya yang terlalu kuat untuk menyatukan Nusantara dianggap sebagai salah satu penyebab gagalnya rencana meminang Putri Dyah Pitaloka, yang membuat ia lantas di nonaktifkan sebagai mahapatih. Gajah Mada merasa sangat terpukul, yang kemudian membuatnya jatuh sakit sampai akhirnya meninggal dunia.

Versi kedua, Gajah Mada melakukan moksa. Dalam agama Hindu, Gajah Mada diyakini beberapa orang sebagai titisan Dewa Wisnu, sehingga ketika dirasa pengabdiannya terhadap Kerajaan Majapahit sudah cukup, ia mengasingkan diri dan memilih untuk melepas semua kegiatan duniawi hingga dirinya meninggal pada usaha moksanya. Digambarkan dalam sebuah kidung, ketika Gajah Mada moksa ombak laut menjadi merah dan burung-burung gagak beterbangan memenuhi angkasa.

Tanpa memiliki istri dan seorang pun keturunan membuat Gajah Mada mudah menghilangkan jejak. Ia diam-diam pulang ke kampung halamannya, menanggalkan semua atribut kebesarannya dan menyamar sebagai rakyat biasa. Ia pun mengganti namanya dan tidak ingin dikenali oleh siapapun sebagai mantan Mahapatih Majapahit yang sangat termasyur. Para pengawal setianya pun dengan patuh menutup mulut dan mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui di mana sosok tokoh besar yang paling berpengaruh itu berada.

Dengan segala jasa-jasanya tersebut, selain fitnah dan kesalahpahaman, masih menyisakan kesalahan yang cukup berat yang ditimpakan kepadanya. Dia lupa untuk menyiapkan generasi muda yang nantinya akan meneruskan tongkat estafet dan mewarisi kebesaran Majapahit. Semua kekuasaan digenggam dalam tangannya sendiri. Dia menjadi pemimpin besar dan merangkap beberapa jabatan seperti penasehat mahkota, patih mangkubumi, perdana menteri, jaksa negara, dan panglima perang. Dengan demikian, ia seolah membesarkan negara hanya dalam waktu satu generasi saja.

Sebuah Lontar Babad Gajah Mada menyebutkan bahwa sosok hebat itu meninggal pada usia 65 tahun (lahir 1299 dan wafat 1364 M). Usia yang masih terlalu muda untuk manusia hebat tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun