Oleh: Tri Handoyo
Pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah rombongan Kerajaan Sunda Galuh. Tampak kereta berwarna putih dengan ornament kuning keemasan yang ditarik oleh empat ekor kuda meluncur di atas jalanan, diikuti beberapa kereta dalam kawalan pasukan berkuda yang gagah. Di urutan paling belakang terdapat empat kereta yang khusus memuat berbagai perbekalan. Tidak terlalu banyak yang mengiringi, hanya beberapa keluarga istana yang sekaligus perwira tinggi, pengawal pribadi dan pasukan khusus. Mengingat maksud dan tujuan ke Majapahit adalah untuk melangsungkan pesta pernikahan.
Setelah menempuh perjalanan panjang dan memerlukan istirahat beberapa kali, sampailah mereka harus menyeberangi Sungai Brantas. Sungai yang menampilkan sisi eksotis dengan panjang 320 kilometer itu menjadikannya sebagai sungai terpanjang di Jawa Timur.
Selepas dari Jombang, tibalah mereka di pintu gerbang Majapahit. Banyak warga di sepanjang jalan yang tercengang menyaksikan rombongan itu, menanti dengan penuh rasa penasaran. Seperti apakah putri Sunda yang telah memikat hati baginda raja itu. Rombongan itu meluncur terus ke timur hingga mencapai lapangan Bubat.
"Kita telah sampai di Bubat," lapor sang penunjuk jalan kepada Raja Lingga Buana. Bubat adalah lapangan berumput yang biasa dijadikan tempat diselenggarakannya hiburan rakyat. "Dari Bubat, kita masih harus menuju Manguntur," imbuhnya menguraikan beberapa nama wilayah yang akan dilewati sebelum mencapai pusat kota Majapahit. Sambil melihat catatan ia menyebut tempat seperti Darma Anar, Karang Kajraman, Karang Jaka, dan Palintahan. Dari nama-nama itu, hanya Palintahan yang hingga kini memiliki petunjuk sebagai nama wilayah di tenggara Gunung Penanggungan, yakni Plintahan.
Tidak lama kemudian rombongan itu ditemui oleh sekelompok pasukan Majapahit, yang menyambut kedatangan mereka dengan penuh suka-cita.
Setelah saling mengucapkan salam, salah seorang yang mengaku sebagai utusan Gajah Mada menyampaikan pesan dari mahapatih bahwa Putri Dyah Pitaloka agar diserahkan ke Kerajaan Majapahit sebagai persembahan. Maksudnya sebagai tanda bahwa Sunda Galuh menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit.
Tentu saja raja Sunda kaget dan tidak senang mendengar ucapan utusan tersebut. Betapapun sikap itu dianggap merendahkan harga diri, akan tetapi lantaran segan terhadap Mahapatih Gajah Mada yang mempunyai nama besar, ia tetap menaruh hormat dan berusaha menahan emosi.
Berbeda dengan sang raja, panglima yang berada di samping raja, yang memang berwatak pemberani, berkata keras. "Hei saudara utusan, omongan macam apa yang kau katakan itu?" Ia dan semua pasukannya merasa sangat tersinggung.
"Mohon maaf beribu maaf, hamba hanya ditugaskan untuk menyampaikan pesan Mahapatih Gajah Mada!"