Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kaset Rusak

25 Juni 2024   21:31 Diperbarui: 12 Juli 2024   10:53 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

Beberapa tahun yang lalu aku bekerja di sebuah perusahaan dan ditempatkan di sebuah daerah yang cukup jauh dari kantor pusat. Perjalanan yang harus ditempuh memakan waktu sekitar delapan jam. Travel yang mengantar berangkat jam sepuluh malam. Melintasi perbukitan dengan medan berkelok-kelok, naik turun, dan pemandangan yang serba hitam. Cukup menjemukan dan melelahkan.

Travel sampai di tempat tujuan tepat jam tujuh pagi. Shalat shubuh sudah pasti terlewatkan. Pertama yang harus aku lakukan adalah mencari tempat kos. Aku butuh segera ke kamar mandi, shalat kalau masih ada sisa tenaga, dan tidur.

Dengan memanggul tas ransel dan tas selempang yang rasanya jauh lebih berat dibanding saat sebelum berangkat, aku berjalan tertati-tati menuju alamat sebuah tempat yang direkomendasikan oleh supir travel.

Alamat rumah yang kudatangi ternyata jauh dari apa yang ada dalam bayanganku. Rumah itu terkesan sudah lama diabaikan oleh pemiliknya. Banyak cat dinding yang terkelupas dan kaca jendelanya buram berdebu.

"Ada enam orang yang kos di sini!" kata ibu kos ramah sambil memberikan kunci kamar.

"Semua karyawan tambang," sahut bapak kos, "Tapi mereka semua masih pulang, karena sekarang tambang sedang libur!"

"Libur?"

"Iya, setelah terjadi demo minggu lalu. Jadi diliburkan, sementara menunggu keputusan tentang tuntutan kenaikan upah!"

"Oh..!" aku sudah ingin mengakhiri basa-basi dengan pemilik rumah itu, tapi rupanya bapak kos masih terus ingin berbicara.

"Maaf, saya mau melanjutkan pekerjaan di dapur, Mas!" kata ibu kos.

Syukurlah. Satu orang sudah pergi. Setelah berhasil menemukan cela untuk memotong, "Maaf, Pak, saya mohon permisi dulu mau ke kamar. Tadi belum shalat subuh!"

"Lho.., ini sudah hampir jam delapan, Mas!"

"Iya.., he..he..!" Aku bergegas meninggalkan ruang tamu. 'Itu gara-gara kamu banyak omong!' batinku kesal, 'Bahkan perutku belum terisi apapun sejak semalam!'

Untuk ke kamar aku harus lewat gang kecil di samping rumah. Begitu membuka pintu kamar aku langsung melihat ranjang. Sprei dan sarung bantalnya cukup rapi. Aku menuju kamar mandi. Syukurlah lumayan bersih. Itu yang paling penting. Untuk urusan pintu yang agak susah dibuka, lantai yang tidak rata, dinding yang banyak coretan dan langit-langit kamar yang kecoklatan bekas bocor, tidak masalah.

Selesai dari kamar mandi dan ganti baju, aku langsung merebahkan diri di ranjang. Lupa sarapan dan lupa shalat. Lupa segalanya.

Aku terjaga karena terdengar ada suara memanggil-manggil di depan pintu. "Mas..!" Sepertinya suara bapak kos.

"Iya, Pak! Sebentar Pak!" Aku melirik arloji. Jam satu siang. Lama juga tidurku. Aku duduk di tepi ranjang beberapa saat untuk meredakan pusing. Biar saja orang tua itu menunggu.

Aku membuka pintu. "Maaf kecapekan saya, Pak!"

"Ha..ha..! Saya cuma pamit mau keluar!" kata bapak kos sambil menyodorkan sepiring kue dan segelas teh panas. Pantas saja dia tidak bisa mengetuk pintu. "Nanti paling sampai malam, Mas!"

"Ini apa kok repot-repot, Pak?" Padahal aku sudah sangat lapar.

"Cuma pisang goreng kok! Di ujung jalan ada warung, mungkin kalau Mas mau makan bisa minta diantar! Anak-anak biasa begitu. Kalau mau berjalan agak jauh, di perempatan sana, ada banyak penjual makanan! Macam-macam, ada nasi goreng, ada..."

"Baik, Pak. Terima kasih!"

Rupanya bapak kos itu memang doyan bicara. Begitu dia menghilang di belokan gang, aku langsung makan sepotong pisang goreng dan menghabiskan segelas teh. Rasa kantuk belum sepenuhnya hilang. Jadi aku menutup pintu, melanjutkan tidur, barangkali lima atau sepuluh menit lagi.

Aku terjaga lagi ternyata ashar sudah lewat. Mungkin karena di luar mendung, ruangan jadi agak gelap. Aku cari tombol lampu dan menyalahkanya.

Setelah mandi dan shalat, sekalian nunggu maghrib datang, aku duduk di kursi, dan baru bisa memeriksa sekeliling dengan seksama. Ada sebuah lemari untuk menyimpan pakaian, sebuah meja dan sebuah kursi, yang semuanya terbuat dari kayu jati. Tampak sudah tua dan kuno. Ada sebuah kipas angin di atas meja yang kabelnya masih menancap di colokan listrik. Satu-satunya colokan.

Setelah maghrib, aku berniat keluar untuk mencari makan. Setelah selesai makan aku cepat-cepat kembali ke rumah. Tapi begitu lewat depan rumah ada suara perempuan memanggil.

"Mas, bisa minta tolong sebentar!"

Aku menengok, ternyata ibu kos. Dia berdiri di dekat pintu sambil membawa sesuatu yang aku tidak begitu jelas. Sepertinya dia mau menunjukan benda itu.

"Iya, Bu!"

"Mari di dalam saja!" katanya sambil mempersilakan masuk.

Ketika memasuki ruang tamu aku merasakan ada sesuatu yang ganjil. Ini ruang yang tadi pagi aku masuki, tapi kenapa sepertinya berbeda. Ruangan itu kini berisi dengan perabotan-perabotan besar dan kuno. Berarti tadi aku tidak sempat memperhatikan semua itu, pikirku demikian.

"Oh iya, tadi kata bapak mau keluar?"

"Iya!"

"Saya pikir sama ibu!"

"Tidak. Saya tidak ikut, Mas! Makanya saya minta tolong sama, Mas!"

"Baik, apa yang bisa saya bantu, Bu?" Aku ingin segera pergi. Merasa tidak enak karena berduaan dengan perempuan di tempat yang sepi seperti itu. Apalagi suaminya sedang tidak ada di rumah.

Terbesit juga pikiran jelek. Jangan-jangan perempuan itu sengaja mau menggoda. Karena dia memakai baju tidur panjang yang tipis dan rambutnya dibiarkan terurai. Cukup panjang. Sampai ke pinggul. Padahal seingatku tadi siang rambutnya tidak sepanjang itu. Mungkin saja tadi digelung.

"Ini..!" Dia menunjukan benda yang dipegangnya. Ternyata itu kaset video lama. "Minta tolong untuk diputarkan! Gak tahu apa masih bisa!" sambungnya sambil menunjuk ke arah mesin pemutar video di sebelah televisi.

'Ah, cuma minta tolong mutar film?' pikirku semakin curiga. Aneh..!

Aku melirik wajahnya sekilas. Dia tampak lebih cantik dibanding pagi tadi. Putih bersih. Rupanya dia juga berdandan. Bahkan sepertinya sengaja menyalahkan lampu kecil, biar suasana ruang tamu itu jadi remang-remang.

Tiba-tiba tercium bau harum menyeruak, sepertinya dari kaset video itu, atau dari tubuh ibu kos, aku tidak begitu yakin. Yang jelas bau itu membuat bulu kudukku meremang. Bau harum yang aneh.

 "Video apa sih, Bu?" tanyaku berusaha mengusir kegelisahan.

"Film..Sun..del Bo..long!" jawabnya dengan suara lirih. Seolah-olah sengaja dipelankan.

Sundel Bolong adalah film horor yang dulu pernah populer. Film yang diperankan oleh Suzana itu membuat aku selalu mimpi buruk sampai berhari-hari.

"Oh maaf, tidak bisa, Bu. Ini sudah rusak!" kataku dengan gemetar. "Permisi!" Aku tidak berani berpaling ke arahnya, karena mendadak aku yakin dia bukan ibu kos.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun