Oleh: Tri Handoyo
Setelah sarapan pagi, Japa tidak sabar menagih janji kepada Eyang Dhara untuk melanjutkan cerita mengenai Majapahit. Maka, berlanjutlah kisahnya.
Pada tahun 1334, di tahun yang sama ketika Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa, sang calon penerus mahkota lahir. Dia diberi nama Hayam Wuruk. Ia adalah putra Tribhuwana Wijayatunggadewi dan Sri Kertawardhana alias Cakradhara.
Nama Hayam Wuruk memiliki arti 'Ayam yang Terpelajar'. Peristiwa kelahirannya diawali dengan gempa bumi di Pabanyu Pindah dan meletusnya Gunung Kelud.
Ibu Suri Gayatri mengusulkan kepada putrinya Tribhuana dan Gadjah Mada agar membentuk dewan penasihat baru bagi calon putera mahkota. Ia juga memberi saran untuk membentuk dewan keluarga, yang nantinya akan bertugas membimbing dan membantu Hayam Wuruk memahami segala seluk-beluk pemerintahan.
Pada saat itu, diriwayatkan bahwa Majapahit sudah memiliki anggota dewan yang diwakili oleh semua pemimpin di daerah-daerah di seluruh wilayah Kerajaan Majapahit. Itu semacam dewan perwakilan daerah yang bersidang setahun sekali di pusat pemerintahan. Sidang permusyawaratan itu dipimpin langsung oleh Sang Ratu.
***
Gajah Mada memiliki kedudukan yang istimewa di dalam pemerintahan, bukan saja karena sistem pemerintahan yang solid dan telah tersusun rapi, melainkan dia juga berwenang untuk mengatur bagian-bagian badan pemerintahan demi mewujudkan kemajuan negara dan kemakmuran rakyat.
Mahapatih itu melihat kenyataan bahwa di luar sana, ada sebuah kerajaan yang beringas dan serakah, Kerajaan Mongol. Kerajaan asing itu sedang giat-giatnya melakukan ekspansi, yang sangat dimungkinan akan mengulang kembali kegagalannya saat dulu berniat menguasai Nusantara.
Untuk mencegah jangan sampai kejadian itu terulang kembali, Gajah Mada meyakini bahwa jalan keluarnya adalah seluruh kekuatan di Nusantara harus disatukan. Kerja keras pun segera dilakukan, bala tentara yang kuat disiapkan, armada laut dengan kapal-kapal besar dibangun, kemudian pemekaran wilayah dan ketahanan pangan pun siap untuk diterapkan.