Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terkarantina

20 Juni 2024   08:59 Diperbarui: 20 Juni 2024   09:42 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Oleh: Tri Handoyo

Aku berdiri cukup lama di depan lorong yang lampunya kedip-kedip, tidak cukup nyali untuk melewatinya. Suara getaran setrum listrik terdengar cukup mengganggu. Naluriku mengatakan seolah-olah ada bahaya mengancam di sana. Aku merasa diawasi oleh sepasang mata dari alam lain.

'Permisi! Saya hanya mau lewat' batinku sambil tetap menatap lorong dan berharap ada orang lain. 'Tapi jika aku mengganggu anda, aku akan lewat tempat lain!'

Aku masih berdiri terpaku. Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, akhirnya aku putuskan balik dan mencari jalan lain. 'Kenapa kamu jadi begini tolol!' hardik akal sehatku, 'Itu semua hanya perasaanmu sendiri! Jangan jadi pengecut!'

Aku tidak mempedulikanya. 'Buat apa kamu belajar agama dan menghafal banyak doa-doa kalau masih takut hantu?' hasut logikaku.

"Baik!" Aku kembali berbalik arah, berniat untuk melewati lorong gelap itu, demi untuk membuktikan bahwa aku tidak takut hantu. Anggap saja sedang uji nyali. "Bismillah..!"

Setelah beberapa langkah ternyata jalan itu menurun agak landai. Saat itu terdengar ada suara kursi roda mengikuti, tapi ketika aku berhenti dan menengok ke belakang tidak ada apa-apa. Hanya lorong yang kosong. Kursi roda itu rupanya juga berhenti. Sepi. Hanya terdengar suara setrum listrik dan bolam kedip-kedip yang seperti saling bersahutan. Seolah-olah mereka sedang mengejekku.

Baru dua hari aku harus dikarantina di rumah sakit itu. Gara-gara aku sering terlambat makan, sehingga imun tubuhku menurun dan akhirnya gampang terkena serangan virus. Apalagi pandemi Covid 19 sedang hebatnya melanda.

Selama ini aku sangat benci Rumah Sakit dan selalu menolak mati-matian untuk pergi memeriksakan diri ke dokter. Tapi kini, dengan sangat terpaksa aku harus menginap di tempat yang paling kubenci. Minimal sepuluh hari kata dokter.

Aku ditempatkan di ruang yang berisi dua ranjang tapi ranjang sebelahku kosong. Bukan karena sendirian atau karena sepi, tapi aku memang sudah tidak kerasan sejak awal datang dan ingin secepatnya pulang. Sudah makanannya tidak enak dan tidak boleh dijenguk lagi. Benar-benar menyiksa. Apalagi setiap kali menoleh ke ranjang sebelah, selalu timbul perasaan tidak nyaman.

Ranjang itu posisinya seperti baru saja diletakan di situ. Agak miring, tidak lurus dengan dinding. Kasur busanya kotor, seperti ada bekas bercak darah. Sangat tidak enak dipandang.

Waktu di bawa ke kamar, aku dalam keadaan sangat lemah. Berbaring di ranjang dan tidak sempat memperhatikan lorong-lorong yang terlewati. Bahkan tidak bisa melihat orang yang mendorong ranjangku.

Selepas isya' tadi tidak ada lagi dokter atau perawat yang datang. Aku juga tidak bisa membedakan mana yang perawat dan mana yang dokter, karena mereka semua memakai Alat Pelindung Diri yang sama, lengkap dengan masker dan kacamata. Mereka bilang selalu mengawasiku lewat cctv, sehingga aku tidak perlu merasa khawatir.

Saat itu aku ingin ke kamar kecil. Cukup repot karena harus menenteng infus. Kantung infus tidak boleh terlalu rendah, karena darahku akan mengalir melewati selang menuju kantung infus. Aku harus menjaganya tetap di posisi atas. Itulah yang membuat aku terpaksa mengurangi minum, agar tidak sering ke kamar mandi. Kecuali sudah sangat haus dan tidak bisa ditahan lagi. Padahal dokter menyarankan harus banyak minum air putih.

Setelah berada di dalam kamar mandi, dan menutup pintu yang tidak ada engselnya itu, tiba-tiba gelap.

"Listrik mati!" Terdengar suara orang di kejauhan.

"Kenapa jenzet tidak menyala? Cepat periksa!" sahut seseorang memberi perintah.

Mendadak mengkerut nyaliku. Aku ingin berteriak minta tolong tapi untungnya lampu kembali menyala. Untung saja belum sempat berteriak, karena itu akan menjadi peristiwa yang memalukan. Karena tidak ada pasien lain yang berteriak.

Terlintas dalam benakku, jangan-jangan memang tidak ada pasien lain. Artinya hanya aku sendirian di bagian ruang karantina itu. Itulah kenapa akhirnya aku memberanikan diri keluar, ingin memastikan bahwa ada pasien lain yang sedang menjalani perawatan seperti aku.

Tenagaku belum sepenuhnya pulih. Setelah berjalan, dengan langkah kecil dan lamban, sambil menenteng kantung infus, sampailah aku di lorong remang-remang yang mencurigakan itu.

Suara kursi roda tidak lagi mengikuti. Kini terdengar suara air menetes dari sebuah kran. Agaknya kran itu rusak. Aku melihat bangku panjang di sebelah kran. Syukurlah bisa istirahat sejenak.

Sambil melihat-lihat sekeliling, menyaksikan pintu-pintu dan jendela-jendela besar yang semuanya tertutup, cukup membuatku semakin curiga. Kenapa begitu sepi? Aku segera bangkit dan cepat-cepat melanjutkan perjalanan agar segera keluar dari tempat itu. Tempat yang menurut perasaanku sangat angker.

Setelah cukup lama berjalan dan kembali butuh istirahat, aku kembali mendengar suara air menetes. Melihat kran yang rusak dan bangku panjang seperti yang tadi pernah kududuki. Aku memeriksa sekeliling dan benar sekali. Itu adalah tempat yang sama.

Kali ini aku tidak istirahat, aku nekad melepas infus yang cukup merepotkan, dan memaksakan diri dengan langkah lebar meninggalkan tempat itu.

Saat itu hampir tengah malam. Tenaga sudah banyak terkuras dan benar-benar kelelahan. Nafasku tesengal-sengal. Kembali terbesit niat untuk istirahat, tiba-tiba aku berada di sekitar air kran rusak yang di dekatnya terdapat bangku panjang. Entah apa yang terjadi sehingga aku bisa kembali ke tempat yang sama sampai tiga kali.

'Ya Allah.., tolonglah aku!'  Aku sangat butuh pertolongan.

Saat itu terdengar samar-samar seperti ada suara kursi roda mendekat. Sangat jelas, tapi entah berasal dari mana. Mendadak tinjuku terkepal dengan sikap waspada tingkat tinggi.

"Kamu pikir kamu bisa menakuti! Bismillahirohmanirohim!"

Tiba-tiba ada suara perempuan mengagetkanku dari belakang, "Kenapa Mas keluar dari kamar?" Pertanyaannya bernada mengejek. Seolah mengatakan, 'Nah kamu ternyata takut hantu kan!'

Mungkin karena kurang sehat, aku jadi sensitif dan mudah tersinggung. "Maaf, saya bosan di kamar, suster!" alasanku sekenanya. Aku kembali merasa tenang. "Oh iya, saya sudah berjalan jauh tapi kok tetap bisa kembali di tempat ini ya?"

"Itu perasaan Mas saja yang membuat Mas merasa seolah sudah berjalan jauh, padahal sebetulnya hanya berjalan mondar-mandir mengitari tempat ini!"

"Benarkah?" Aku sepertinya mengenali suara suster itu. Entah di mana? Tiba-tiba tercium bau harum. Padahal tadinya tercium bau obat-obatan yang menyengat khas rumah sakit.

"Iya. Kami kan memperhatikan Mas dari cctv!"

'Ya Allah, kalau memang harus mati di sini, aku pasrah!' keluhku menyerah. 'Aku sudah tak berdaya!' Aku tanpa sengaja memperhatikan bagian kaki perempuan itu, ternyata tidak menginjak lantai. Artinya dia bukan manusia. Aku diam, pura-pura tidak tahu.

"Hii..hii....!" Perempuan berbaju APD itu tertawa kecil. "Saya tahu kalau Mas sudah tahu!"

"Maksud, Suster?"

"Saya kan perawat yang meninggal dunia kemarin karena Covid 19!"

Pantas aku ingat suaranya, karena dia ternyata yang sering menyuapiku makan. "Mbak kok bisa meninggal lebih dulu?"

"Mana saya tahu?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun