Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (12): Tragedi Keluarga Istana

19 Juni 2024   08:08 Diperbarui: 19 Juni 2024   20:18 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoo

Sorot cahaya bulan membayang dari kolam ikan. Di samping kolam, Ibu Suri Gayatri sedang duduk santai di teras puri, ditemani dua orang dayang-dayang.

Nama lengkap ibu suri adalah Dyah Dewi Gayatri Kumara Rajassa, putri raja Singhasari Prabu Kertanegara. Gayatri merupakan istri mendiang Wijaya, pendiri Majapahit. Itulah kenapa dia diberi gelar Rajapatni, yang berarti pendamping raja.

Tatkala peristiwa istana Singasari dulu diserang oleh pasukan Jayakatwang, sehingga menewaskan kedua orang tuanya dan banyak kerabat istana, Gayatri sedang asik belajar di kamar belakang. Ia luput dari pembantaian karena dengan cepat menyamar sebagai dayang-dayang para putri raja.

Bersama pengasuh setianya, Sodrakara, ia ikut dijadikan tawanan, dan ditempatkan di bangsal perempuan Keraton Daha, Kediri. Gayatri mengganti namanya menjadi Ratna Sutawati.

"Ratna, tabahkanlah hatimu!" bisik Sodrakara tepat di dekat telinga Gayatri, "Maaf, mulai detik ini saya harus memperlakukanmu seperti layaknya sesama dayang-dayang!"

"Baik Mbakyu Kara!" jawab Gayatri lirih. Ia menahan isak tangis saat digiring untuk dibawa ke Daha sebagai tawanan.

Semangatnya kembali timbul saat bertemu dengan suaminya, Raden Wijaya, yang ternyata juga masih selamat dari serangan pasukan musuh. Saat itu Wijaya diantar Aria Wiraraja menghadap Jayakatwang, hendak minta pengampunan.

Setelah pertemuan itu, mereka kemudian menjalin komunikasi melalui surat yang diselundupkan secara rahasia. Gayatri membocorkan semua kondisi dalam istana Jayakatwang. Sampai akhirnya, melalui tangan bala tantara Mongol, Daha berhasil dihancurkan, dan Gayatri terbebaskan.

Gayatri adalah perempuan yang cerdas dan cermat dalam menilai karakter seseorang. Ia sangat mamahami bahwa kemampuan intelektual seseorang tidak bisa hanya ditentukan dari asal-usul kelas sosialnya saja, melainkan juga dari bakatnya pula. Dalam ketajaman pandangan matanya, Gajah Mada yang cerdas dan menaruh minat besar pada seni pemerintahan, membuatnya begitu terkesan.

Keindahan suasana puri di malam itu dilengkapi bulan purnama, serta suara sayup-sayup gamelan yang terdengar dari pelataran pendopo agung. Sesekali suara tembang menyusup disela canda tawa para kerabat istana yang sedang berkumpul menikmati suasana padang bulan.

Udara terasa sejuk menyegarkan. Kelepak sayap kelelawar yang terbang kesana kemari mencari santapan malam mengurai keheningan. Sementara itu, sosok gagah perkasa, ditemani seorang pengawal, tampak sedang berjalan tenang menghampiri teras puri.

"Selamat malam!" ucap lelaki itu, "Hamba menghaturkan sembah sungkem, Ibu Suri!"

"Selamat malam. Silakan duduk Mada!" perintah Gayatri.

Gajah Mada duduk bersila di lantai, posisi menghadap Ibu Suri dan kedua dayang-dayang. Sesaat mereka semua terdiam, hanyut dalam indahnya suasana malam.

Tanpa sepengetahuan raja, diam-diam ibu suri mendekati Gajah Mada. Ia terpanggil untuk menempa dan membimbing sosok sudra misterius itu, sosok pemuda yang dikuasai oleh semangat kuat bergelora.

Hubungan yang tidak harmonis antara Gayatri dan Prabu Jayanagara kian meruncing, apalagi saat Jayanagara memaksakan kehendak untuk menikahi saudara, anak Gayatri dan Wijaya yang bernama Dyah Gitarja. Raja Jayanegara khawatir jika saudarinya itu kelak punya suami, dianggap bisa berpotensi membahayakan singgasananya.

Sementara, perlahan namun pasti, Gayatri dengan pendekatan kekeluargaan mulai berhasil menyusupkan doktrin ideologi ke dalam diri Gajah Mada. Apalagi prajurit perkasa itu adalah salah seorang kepercayaan raja.

"Maaf, ini sangat rahasia!" ujar Gayatri setelah mengadukan kegelisahannya kepada Gajah Mada, "Saya hanya percaya untuk menceritakan hal yang bisa menjadi malapetaka keluarga istana ini hanya kepadamu!"

Ini yang membuat Gajah Mada secara perlahan mulai kehilangan loyalitasnya terhadap Jayanegara. Apalagi kemudian Sang Prabu dianggap telah melanggar perundang-undangan kerajaan lantaran menggauli istri salah seorang pejabat.

"Perbuatan tersebut adalah hal yang sangat tercela, karena dalam kitab Kutaramanawardharmasastra dicantumkan bahwa hukumannya sangat berat!" pungkas Gayatri tegas. Dengan menggunakan pengaruhnya, ia mengajak Gajah Mada untuk berpikir cara menyingkirkan Prabu Jayanagara.

Sebuah kebijakan yang sebenarnya memberatkan hati Gajah Mada dan sempat membuat ia dibayangi rasa bersalah, namun langkah beresiko tinggi itu tetap harus dilakukan. Itu demi kepentingan negara ke depan. Kepentingan yang jauh lebih besar.

Dengan memanfaatkan konflik dan selisih paham yang terjadi diantara penghuni istana, Gajah Mada mengatur siasat untuk menghilangkan raja tanpa menggunakan tangannya.

Gajah Mada diam-diam menceritakan kepada Ra Tanca, tabib istana, bahwa istri tabib itu telah dinodai oleh Sang Prabu. Persidangan pun akan dilakukan untuk memeriksa pengakuan istri Ra Tanca. Tetapi kemudian Sang Prabu mendadak sakit.

Peristiwa yang menggegerkan Majapahit itu terjadi pada tahun 1328 Masehi. Ra Tanca, yang merupakan seorang tabib paling handal saat itu, diperintahkan untuk mengobati Raja. Itu adalah kesempatan yang baik bagi Ra Tanca untuk melampiaskan dendam kesumatnya. Ia sempat berpikir untuk membunuh raja di tempat tidurnya.

Begitu tersiar kabar bahwa raja dibunuh oleh Ra Tanca, Gajah Mada segera menghabisi tabib itu dengan tangannya sendiri. Motif pembunuhan itu cukup gamblang. Disebarkan berita bahwa Ra Tanca sebetulnya masih menyimpan dendam atas terbunuhnya sahabat karibnyanya, Ra Kuti, dan ditambah lagi kemarahannya atas perbuatan Sang Prabu yang telah menodai istrinya. Tentu perbuatan seorang suami yang membunuh si perusak kehormatan itu dibenarkan oleh sebagian besar masyarakat kala itu.

Di belakang peristiwa yang menyedihkan itu beredar pula rumor yang mencurigai bahwa Gajah Madalah yang membunuh raja. Gajah Mada yang merancang semua kejadian itu, tapi tidak ada satu pun orang yang bisa membuktikan kecurigaannya. Bahkan bukti-bukti menunjukkan bahwa Gajah Mada adalah orang yang berbudi luhur, yang selama ini sangat setia kepada raja.

Ra Kembar, salah seorang mantri, sempat mengutarakan kecurigaannya, "Kenapa Gajah Mada tidak mampu mencegah pembunuhan itu? Bukankah dia seharusnya mampu melakukan itu? Hanya dia dan Ra Tanca yang berada di ruang kamar tidur Sang Prabu, jadi hanya dia yang tahu apa yang sebenarnya terjadi!"

Namun, semua keluarga istana berpendapat bahwa Gajah Mada tidak bisa disalahkan. Ibu Suri pun mendukung pendapat itu. Mayoritas masyarakat Majapahit pun setuju mengenai itu. Tidak ada satu pun bukti yang mendukung kecurigaan Ra Kembar, sehingga rumor itu berlalu bagaikan angin sunyi.

Setelah Raja Jayanegara meninggal, Gajah Mada mendukung Dyah Gitarja diangkat sebagai pewaris mahkota. Gajah Mada khawatir singgasana akan jatuh ke tangan Adityawarman (Arya Damar). Adityawaraman adalah sepupu Jayanegara dari garis ibu (putri Mauliwarmadewa Raja Darmaraya). Ayah Adityawarman adalah Adwaya Brahman, kerabat raja Kertanegara (Singhasari), ibunya Dara Jingga, saudari Dara Petak, ibu Jayanegara.

Apabila mahkota jatuh ke tangan Adityawarman, mungkin Majapahit akan kembali dirundung pemberontakan seperti di era Nambi dan Ra Kuti dahulu. Isu primordialisme memang merupakan ancaman yang cukup berpotensi besar memecah-belah keluarga istana.

Setelah Jayanegara dimakamkan di Kepopongan di Antawulan, maka mahkota jatuh kepada putri Dyah Gitarja, yang kemudian bergelar Sri Tribhuana Wijayatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.

Peralihan kekuasaan pada ratu dibawah bimbingan Ibu Suri Gayatri, menjadikan Gajah Mada lebih leluasa mengambil tindakan politik di kemudian hari. Mulai periode ratu inilah ekspansi Majapahit berawal.

Ratu Tribhuana Tunggadewi memerintah Majapahit dengan penuh kebijaksanaan, sehingga berhasil menjaga kestabilan kerajaan sampai akhir masa pemerintahannya. Kontribusinya dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan, kesenian dan kebudayaan, juga sangat gemilang. Ia menerapkan kebijakan ekonomi dengan cermat dan tegas dalam pemberantasan korupsi.

Sang ratu juga dianggap berperan penting dalam penyebaran agama budha, di mana sebelum berkuasa ia memang pernah menempuh jalan hidup sebagai pendeta Budha.

bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun