Oleh: Tri HandoyoÂ
Setiap kali liburan, satu kegiatan favorit yang sering aku lakukan adalah pergi berkemah. Ini salah satu dari pengalaman mistis ketika berkemah di era menjelang reformasi. Waktu itu aku pergi bersama dua orang kawan paling akrab sewaktu duduk di bangku SMA, Fito dan Anto. Rumah kami sebetulnya tidak terlalu jauh, tapi setiap berkumpul selalu seperti sebuah reuni. Padahal juga sering ketemuan.
Selepas Dhuhur, kami berkumpul di tempat yang telah disepakati, di terminal dekat kampus Darul Ulum Jombang. Tujuan kami adalah Wonosalam, di mana terdapat tempat wisata yang terkenal dengan air terjunnya. Aku sebetulnya sudah sering berkemah di tempat itu, dengan berganti-ganti teman. Dengan Fito dan Anto pun barangkali sudah yang ketiga kalinya. Lokasi perkemahan yang lumayan dekat, jadi sangat cocok untuk masa liburan yang pendek.
Begitu tiba di tempat terakhir pemberhentian angkutan pedesaan, kami melanjutkan dengan berjalan kaki. Perjalanan masih sekitar dua kilometer untuk mencapai lokasi wisata. Kemudian perjalanan sekitar satu kilometer lagi untuk sampai di air terjun. Sambil berbincang-bincang ke sana-ke mari. Kadang-kadang saling meledek, saling menjodoh-jodohkan dan soal naksir teman jaman SMA dulu, membuat perjalanan tak terasa melelahkan. Padahal ditempuh selama satu jam lebih.
Begitu sampai di lokasi air terjun, keseruan kami berlanjut. Ya maklumlah lama tak berkemah. Suasana siang itu pun penuh keceriaan. Kami mendirikan tenda di tempat terpencil, di dekat air terjun. Pertama karena dekat sumber air, dan kedua jelas jarang dilewati para pengunjung. Barang-barang dalam tenda akan aman meskipun ditinggal. Cukup mengawasi jalan yang harus dilewati untuk menuju air terjun. Jika ada pengunjung datang, baru kami buat giliran jaga tenda. Tapi itu pun sangat jarang. Air terjun seolah hanya menjadi milik kami bertiga.
Tak berselang lama, awan kelabu menggelayut di langit, disertai gerimis lembut tanpa jeda. Tanah perbukitan yang selalu basah. Hawa dingin dan sejuk terasa memenuhi paru-paru. Suasana perbukitan yang selalu mengundang kerinduan. Setelah tenda berdiri, kami hom pim pa, untuk menentukan siapa yang akan jaga tenda, dan siapa dua orang yang akan turun ke desa untuk belanja kebutuhan seperti minyak tanah, mie dan telur. Makanan khas anak kemah. Keputusannya, Fito harus jaga tenda, sementara aku dan Anto yang ke desa.
Diam-diam aku perhatikan suasana tampak begitu sepi. Warung-warung penjual makanan di sepanjang perjalanan tidak ada satupun yang buka. Sepertinya mereka sudah lama tutup. Mungkin karena jarang ada pengunjung, karena wilayah di situ memang sering terjadi tanah longsor. Apalagi di musim hujan.
Akhirnya kami temukan sebuah warung di perkampungan. Si ibu pemilik warung menampakan wajah keheranan dengan kehadiran kami. Setelah membayar belanjaan, dan mau pergi, si ibu itu bertanya, "Mas ini dari mana?"
"Kami berkemah di dekat air terjun, Bu!"
"Sudah ijin?"