Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Peminta-Minta

3 Mei 2024   07:25 Diperbarui: 19 Juni 2024   06:57 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

Dulu ada seorang peminta-minta yang biasa mangkal di perempatan lampu merah. Perempuan malang lantaran kedua kakinya cacat. Setiap pagi dia di antar ke lokasi oleh seorang tukang becak, dan dijemput di sore hari oleh orang yang sama. Menurut informasi, tukang becak itu adalah pacarnya.

Yang buat saya penasaran, kenapa ada pria yang tubuhnya normal dan sehat mau menjadi pacar perempuan bernasib malang? Dugaan saya, masih dugaan yang belum tentu benar, karena perempuan itu memiliki penghasilan lumayan besar. Tentu saja penghasilan dari mengemis belas kasihan orang. Peminta-minta. 

Dari cerita seorang satpam kompleks yang bertetangga dengan perempuan itu, bilang penghasilan si peminta-minta itu paling sepi lima puluh ribu per hari. Istilah paling sepi itu menarik. Saat itu, lima puluh ribu rupiah itu setara dengan upah sehari seorang kuli bangunan. Bayangkan, jika satu hari saja minimal dia mampu mengumpulkan 50.000 rupiah, maka selama sebulan dia bisa memperoleh uang 1.500.000 Rupiah. Lebih besar dibanding upah penjaga toko atau pekerja pabrik. Itu artinya mengemis adalah sebuah pekerjaan yang cukup menggiurkan. Tidak perlu skill, modal uang, dan tidak perlu menguras tenaga pula, cukup hanya modal wajah dan penampilan yang memelas. 

Barangkali karena itu, akhirnya tidak sedikit orang tergoda untuk beralih profesi menjadi peminta-minta. Sebetulnya cacat bukanlah alasan, karena banyak juga orang cacat yang mampu produktif dan memberikan kontribusi bagi kehidupan. Sebaliknya ada orang yang memiliki tubuh normal, sehat dan kuat, seperti tukang becak tadi, tapi memilih jadi parasit bagi pacarnya yang peminta-minta. Karena sebetulnya faktor penyebabnya adalah mental. 

Memberi memang merupakan perbuatan mulia, akan tetapi bisa juga menjadikan orang yang diberi terdidik menjadi malas dan akhirnya hanya menggantungkan pada pemberian. Orang bijak memberi nasehat lebih baik memberi kail, bukan ikan. Karena kail itu melatih orang untuk berjuang. 

Puluhan tahun yang lalu saya pernah nonton acara Oprah Winfrey Show, yang menampilkan seorang anak yang sudah lama memutuskan hubungan dengan orang tuanya. Konflik itu dipicu gara-gara permintaan si anak tidak dikabulkan. Mungkin mereka keluarga selebritis, sehingga konflik sepele anak dan ibu itu sempat menyita perhatian publik. 

Oprah mempertemukan anak dan ibu itu di program talk shownya, pertemuan pertama bagi keduanya setelah belasan tahun tidak bertemu dan tidak berkomunikasi. Dari wawancara itu, si ibu mengaku selama ini selalu menuruti segala permintaan putrinya, sampai anaknya itu menikah dan hidup bersama suaminya. Terakhir ibu yang sudah menjanda itu tidak lagi mampu mengabulkan permintaan putrinya, dan si anak mengambil kesimpulan bahwa ibunya sudah tidak mencintainya lagi. Maka si anak memutuskan hubungan keluarga dan bahkan tidak mau bicara dan bertemu lagi dengan ibunya. 

Saya dan sebagian besar penonton, pasti berpikir anak itu sangat keterlaluan. Tapi waktu itu saya terkejut karena Oprah ternyata justru menyalahkan si ibu. Sikap ibu yang selalu menuruti permintaan anaknya itu dipandang sebagai penyebab rusaknya kepribadian anak. Si anak menjadi manja, tidak punya daya juang dan tidak bisa mandiri. Sebaliknya malah terkondisi memiliki mental peminta-minta. Anak yang durhaka itu jelas salah, tapi tanpa disadari, sebetulnya itu merupakan hasil karya dari orang tuanya. Hasil salah asuhan. 

Menurut Oprah, dan saya akhirnya setuju dengan pendapatnya, bahwa kesalahan ibu itu yakni karena tidak mengajarkan kepada putrinya untuk tidak bergantung. Si ibu tidak memberi kail, dan tidak memberi cukup waktu kepada anaknya, yang sejak kecil hingga dewasa diajari 'meminta-minta' itu, untuk belajar mandiri. Proses belajar untuk berubah itu tidak mudah dan butuh waktu yang sama panjangnya seperti pendidikan salah yang selama ini dialaminya. 

Hal seperti itu tidak hanya bisa menimpa pada keluarga, tetapi juga bisa menimpah sebuah masyarakat, dan bahkan sebuah negara. Ambil contoh negara Venezuela. Para pengamat menyimpulkan bahwa salah satu penyebab ambruknya Venezuela adalah karena subsidi yang selama ini memanjakan rakyatnya. 

Menurut Bloomberg, produksi minyak semakin turun hingga 100 ribu barel per hari. Data pusat Venezuela juga menyatakan bahwa produksi minyak mereka mencapai titik terendah dalam 70 tahun terakhir. Padahal cadangan minyak mereka punya andil 25% dari semua minyak mentah yang dikelolah oleh produsen terbesar dunia. 

Krisis Venezuela mulai melanda sejak pemerintahan Hugo Chaves, yang kemudian mulai berani mengambil kebijakan mengurangi subsidi. Tapi anjloknya minyak mendorong krisis itu semakin parah. Di bawa pemerintahan Nicolas Maduro, gelombang demonstrasi semakin membesar dan menjurus anarkis. Mereka yang sebelumnya dimanjakan keadaan, kini memprotes pemerintah karena dianggap tidak becus mengatasi krisis. 

Banyak pengamat yang sudah memprediksi bahwa siapapun pengganti Chaves tidak akan bisa menyelamatkan Venezuela. Rakyat tidak peduli kondisi negara, karena yang mereka tahu hanyalah negara wajib memberikan subsidi. Rakyat sudah terbiasa menggantungkan hidup kepada pemerintah. 

Bagi warga yang kaya, mereka berbondong-bondong lari ke luar negeri, berharap kehidupan yang lebih baik. Yang menengah ke bawah terpaksa hidup sengsara. Negara kaya di kawasan Amerika Latin itu akhirnya terpuruk dalam berbagai krisis. 

Di Indonesia, sebagian orang demontstrasi gara-gara subsidi BBM dialihkan ke subsidi yang produktif. Banyak ahli yang mengatakan subsidi BBM itu salah sasaran. Anehnya ada yang ngotot dan marah atas kebijakan itu. Padahal banyak masyarakat miskin yang tinggal di desa-desa tidak begitu merasakan dampaknya. Balapan liar dan gank motor saja masih bisa beraksi dan keluyuran keliling kota. 

Jadi sebetulnya rakyat yang mana yang dibela para demonstran itu? Toh, pemerintah juga telah menyalurkan bantuan sosial, diantaranya berupa Bantuan Tunai Langsung (BLT), yang disalurkan untuk keluarga penerima manfaat. Ini tentu lebih tepat sasaran dibanding subsidi BBM. Tapi mengingat kata Oprah, anak juga butuh proses untuk belajar agar mental peminta-minta tidak terpelihara dengan subur. Begitu pula masyarakat, perlu proses untuk belajar. Butuh waktu. 

Dengan berbagai kebijakan yang tepat sasaran, kini Indonesia lambat laun telah mencapai pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Indonesia termasuk negara dengan ekonomi terbesar kesepuluh di dunia dalam hal paritas daya beli. Capaian luar biasa dalam pengurangan kemiskinan dengan menurunkan lebih dari separuh angka kemiskinan sejak tahun 1999 menjadi di bawah 10 persen pada tahun 2019. Tingkat kemiskinan terus mengalami tren penurunan menjadi 9,36 persen per Maret 2023. Ini menunjukkan bahwa resiliensi perekonomian nasional terus terjaga dengan baik, sekalipun sempat diporak-porandakan pandemi Covid-19 beberapa tahun yang lalu. 

Indonesia masih optimis dan konsisten berjuang untuk menuju menjadi negara yang adil, makmur dan beradab. Berjuang menjadi negara bermental pejuang dan juara. Bukan mental pecundang dan peminta-minta. Meskipun itu sesuatu yang tidak mudah untuk diwujudkan. Yang tidak mudah itu sebetulnya mengubah mental.

Mental peminta-minta seperti itu pasti tidak pandai bersyukur, bahkan suka mencari-cari kekurangan negaranya sendiri, untuk kemudian biar bisa berkoar-koar mengumbar ujaran tak bermoral yang liar dan brutal, demi menutupi jiwa pecundangnya. Jiwa pecundang memang erat kaitannya dengan mental peminta-minta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun