Sebetulnya antara perang konvensional dan perang asimetris memiliki pola yang sama. Pola perang konvesional adalah membombardir wilayah musuh melalui pesawat tempur, kemudian masuknya pasukan kavaleri berupa tank atau kendaraan lapis baja lain, terakhir pendudukan oleh pasukan infanteri.
Dalam perang asimetris, pertama juga diawali dengan bombardir berupa isu-isu sesat yang disebarkan untuk menghasut masyarakat. Kemudian disusul masuknya kavaleri yang disebut agenda. Misalnya agenda gerakan kampus atau akademisi untuk menurunkan rezim penguasa. Tahap akhir masuknya infanteri, yaitu kendali sistem ekonomi dan sumber daya alam.
Perang asimetris adalah perang secara ideologi, budaya, teknologi, ekonomi, dan strategi intelijen, demi bisa menguasai negara sasaran.
Gerakan politik Arab Spring adalah contoh perang asimetris yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Mereka menggunakan agen-agen proxy gerakan massa untuk menurunkan pemerintah yang berkuasa secara sah.
Sebagai hasilnya, Presiden Ben Ali di Tunisia terguling, Hosni Mubarak di Mesir tumbang, Muammar Gaddafi di Libya tersungkur dan diadili oleh rakyatnya sendiri, serta Suriah yang pecah perang saudara tak berkesudahan. Selanjutnya, Amerika Serikat dan sekutu bisa mendominasi politik dan ekonomi di kawasan Arab.
Indonesia pun tak akan luput dari target perang asimetris. Presiden Sukarno pernah mengatakan semua negara akan iri dengan sumber kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia. Nusantara bak perawan cantik yang mengundang air liur negara hidung belang dan mata keranjang.
Di masa sekarang, kebijakan pemerintah seperti hilirisasi misalnya, membuat Indonesia semakin menjadi sasaran akan timbulnya perang asimetris. Dengan menggunakan 'Invisible Hand', penjajah kontemporer akan terus mencoba merongrong dan menggerogoti kedaulatan bangsa dan negara kita.
Demi menjaga kedaulatan negeri tercinta ini, tugas kita adalah mengenali siapa-siapa saja para invisible hand tersebut. Mereka bisa saja politisi berkedok akademisi, merangkap oligarki berkedok pejuang demokrasi, dan sekaligus bos mafia berkedok pembela agama. Kemasannya indah seolah-olah berbuat demi negara, padahal demi kelompok istimewa dan juragannya saja.
Mereka cukup kuat memegang komitmen gotong-royong, yakni dalam hal menggarong uang rakyat hingga kantongnya kosong melompong. Setelah itu, maka harga diri dan nurani menjadi ompong.
Indonesia, sebagai negara yang paling beragam dengan lebih dari 300 kelompok etnis dan sekitar 733 bahasa daerah, memang memiliki potensi besar akan timbulnya perselisihan. Itu menarik untuk dibidik. Lalu ujung targetnya adalah benturan yang berakibat keterbelaan dan perpecahan.
Oleh karena itu, rajutan ragam budaya yang merangkai harmoni hendak dibuat kusut masai. Jalinan toleransi yang kokoh berlandaskan semboyan 'Bhineka Tunggal Ika' hendak ditabrak biar rusak.