Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nina Bobo

21 April 2024   14:52 Diperbarui: 20 Juni 2024   20:29 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Oleh: Tri Handoyo

Tatkala bumi sedang dilanda musim dingin yang hebat, banyak kebudayaan bangsa-bangsa di belahan bumi lain mengalami masa kesunyiaan. Terlelap pulas berabad-abad lamanya.

Saat itu, hanya di Nusantara yang kebudayaannya masih mengalami perkembangan. Karena letak geografisnya yang menguntungkan, yakni di garis katulistiwa.

Ribuan tahun berlalu, manakala terjadi pemanasan global dan secara cepat membuat es mencair, maka air laut menenggelamkan sebagian besar permukaan bumi. Nusantara pun menjelma menjadi wilayah archipelago.

Kawasan Nusantara terdiri dari ribuan pulau yang dikelilingi laut, sehingga butuh sarana untuk berhubungan antara penduduk pulau satu dengan yang lainnya. Kondisi itu melecut terciptanya salah satu budaya besar, yakni teknik membuat perahu.

Seiring berjalannya waktu, teknologi membuat kapal berkembang terus, yang kemudian diikuti dengan munculnya ilmu pelayaran dan berbagai pengetahuan yang menyertainya, seperti ilmu navigasi, ilmu astronomi, ilmu tentang cuaca, dan lain-lain.

Kapal layar terbesar yang dibangun mulai mengarungi luas samudera. Nenek moyang Nusantara berkunjung ke berbagai belahan dunia. Saat kapal besar itu mengunjungi bangsa-bangsa lain, mereka pun dibuat melongo. Hanya mampu berdecak terkagum-kagum.

Tentu tidak mungkin ada hasrat untuk membuat kapal bagi bangsa-bangsa kontinental, yang wilayahnya berbentuk daratan. Apalagi punya motivasi untuk berlayar. Itu hal yang mustahil. Sebelumnya mereka hanya mampu membuat sejenis sampan, berukuran kecil dan berpenumpang sedikit. Semua negara di dunia disinyalir belajar membuat kapal dari bangsa Nusantara.  

Belanda sadar, seandainya bangsa Indonesia mengetahui kehebatan peradaban leluhurnya di masa lampau, sangat dikhawatirkan bangsa ini akan bangkit. Ditakutkan bangsa ini akan berani memberontak dari cengkeraman penjajahan mereka. Itu tidak boleh terjadi, maka bangsa jajahan yang empuk dan lezat ini harus terus dininabobokan.

Salah satu cara untuk meninabobokan adalah dengan penyesatan, pengaburan, bahkan merekayasa dan jika perlu memutarbalikan sejarah. Itu cara yang jauh lebih efektif, lebih mudah dan murah. Tidak perlu perang.

Cara penghancuran peradaban yang terbaik itu adalah dilarang menggunakan kemampuan berpikir. Hanya dianjurkan cukup belajar soal agama dan segala ritualnya. Hanya agama yang dianggap sebagai satu-satunya jalan menyelamatkan umat manusia kelak di akhirat. Tidak ada yang lain.

'Nina bobo' itu begitu melenakan. Angin sepoi berupa tahayul dan berbagai mitos dihembuskan, biar terus terlelap dalam tidur panjang. Jangan sampai sadar, apalagi sampai bangun. Doktrin-doktrin dijejalkan untuk melumpuhkan akal.

Bangsa Nusantara dibuat bangga dengan slogan bangsa religius. Bangsa paling agamis. Tapi diskusi soal agama dianggap tabu. Mempertanyakan, apalagi berpikir kritis soal agama itu dosa, haram, dan bisa kualat.

Tidak ada penjajahan yang terburuk di muka bumi ini, melebihi penjajahan akal dan mental seperti yang terjadi di Nusantara ini.

Mendung hitam menggantung, Allah lalu menurunkan salah satu hambaNya yang bernama Kartini, maka terbitlah terang.

Kartini adalah tokoh emansipasi yang berjuang keras agar kaumnya bisa memiliki hak yang sama seperti kaum laki-laki, terutama dalam hal pendidikan. Perempuan tidak harus melulu berurusan dengan dapur, sumur, kasur.

Ia mengalami kepedihan manakala masa sekolahnya dipaksa berhenti, gara-gara harus dipingit dan siap untuk dinikahkan.Tak bisa dipahami sama sekali kenapa adat istiadat melarang kaum perempuan untuk menuntut ilmu.

Ia memandang mendung hitam yang mengurung di atas, bukan di langit, melainkan di atas nasib kaum perempuan Nusantara. Gadis remaja yang baru menginjak usia 12 tahun itu merasakan getaran kepedihan yang tengah diderita jutaan hati kaumnya.

Selama dipingit, ia tidak kenal patah semangat. Ia terus belajar untuk memperkaya wawasan. Ia banyak membaca buku, koran, dan majalah, baik dari dalam maupun luar negeri.

Dari situlah ia semakin sadar bahwa masyarakat Indonesia, khususnya kaum perempuan, sangat tertinggal dalam banyak hal.

Dengan demikian gadis hebat itu kemudian membuka sekolah untuk anak-anak perempuan yang tinggal di sekitar rumahnya. Ia mengajarkan membaca, menulis, berhitung, menggambar, bernyanyi, dan keterampilan lainnya. Ia yakin bahwa hanya dengan mengenyam pendidikan, maka perempuan akan bisa memiliki kehidupan yang jauh lebih baik.

Kartini juga dikenal sangat relijius, tercermin dari kegiatan sehari-harinya seperti membaca al-Quran. Tidak hanya itu, ia juga gigih mempelajari tafsir ayat-ayat suci dan hadist secara kritis, demi tujuan untuk mendapatkan dukungan pencerahan tentang pentingnya ilmu pengetahuan.

Spirit dan gerakannya itu mengilhami juga kaum laki-laki, agar belajar dan berjuang lebih keras demi meraih sebuah kemerdekaan. Yang terpenting lagi, jangan terlena oleh 'Nina bobo'. Ayo bangun!

"Selamat Hari Kartini"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun