Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nina Bobo

21 April 2024   14:52 Diperbarui: 20 Juni 2024   20:29 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Cara penghancuran peradaban yang terbaik itu adalah dilarang menggunakan kemampuan berpikir. Hanya dianjurkan cukup belajar soal agama dan segala ritualnya. Hanya agama yang dianggap sebagai satu-satunya jalan menyelamatkan umat manusia kelak di akhirat. Tidak ada yang lain.

'Nina bobo' itu begitu melenakan. Angin sepoi berupa tahayul dan berbagai mitos dihembuskan, biar terus terlelap dalam tidur panjang. Jangan sampai sadar, apalagi sampai bangun. Doktrin-doktrin dijejalkan untuk melumpuhkan akal.

Bangsa Nusantara dibuat bangga dengan slogan bangsa religius. Bangsa paling agamis. Tapi diskusi soal agama dianggap tabu. Mempertanyakan, apalagi berpikir kritis soal agama itu dosa, haram, dan bisa kualat.

Tidak ada penjajahan yang terburuk di muka bumi ini, melebihi penjajahan akal dan mental seperti yang terjadi di Nusantara ini.

Mendung hitam menggantung, Allah lalu menurunkan salah satu hambaNya yang bernama Kartini, maka terbitlah terang.

Kartini adalah tokoh emansipasi yang berjuang keras agar kaumnya bisa memiliki hak yang sama seperti kaum laki-laki, terutama dalam hal pendidikan. Perempuan tidak harus melulu berurusan dengan dapur, sumur, kasur.

Ia mengalami kepedihan manakala masa sekolahnya dipaksa berhenti, gara-gara harus dipingit dan siap untuk dinikahkan.Tak bisa dipahami sama sekali kenapa adat istiadat melarang kaum perempuan untuk menuntut ilmu.

Ia memandang mendung hitam yang mengurung di atas, bukan di langit, melainkan di atas nasib kaum perempuan Nusantara. Gadis remaja yang baru menginjak usia 12 tahun itu merasakan getaran kepedihan yang tengah diderita jutaan hati kaumnya.

Selama dipingit, ia tidak kenal patah semangat. Ia terus belajar untuk memperkaya wawasan. Ia banyak membaca buku, koran, dan majalah, baik dari dalam maupun luar negeri.

Dari situlah ia semakin sadar bahwa masyarakat Indonesia, khususnya kaum perempuan, sangat tertinggal dalam banyak hal.

Dengan demikian gadis hebat itu kemudian membuka sekolah untuk anak-anak perempuan yang tinggal di sekitar rumahnya. Ia mengajarkan membaca, menulis, berhitung, menggambar, bernyanyi, dan keterampilan lainnya. Ia yakin bahwa hanya dengan mengenyam pendidikan, maka perempuan akan bisa memiliki kehidupan yang jauh lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun