Oleh: Tri Handoyo
Menjaga kewarasan barangkali termasuk hal tersulit dewasa ini. Jauh lebih sulit ketimbang menjaga kesehatan tubuh, sebab orang yang tubuhnya tidak sehat biasanya akan dengan mudah menyadarinya. Sementara mengenai kewarasan, seringkali si penderita sulit atau bahkan sama sekali tidak menyadari. Lebih parahnya lagi, ia sebaliknya bisa menuduh orang lainlah yang tidak waras.
Hal itu terjadi pada Bu Tifa. Dulu ia sosok wanita karir yang sukses, disiplin, cermat dan cerdik. Itu yang membuat dirinya selalu merasa baik dan yakin pasti terhindar dari melakukan tindakan bodoh.
Suaminya sudah lama meninggal dunia. Mungkin itu cara terbaik bagi si suami agar terbebas dari omelan-omelan yang bagai debur ombak lautan. Tak kenal reda. Bisa jadi lelaki malang itu mati dengan perasaan merdeka.
Bu Tifa yang rajin ibadah itu sedang belanja kebutuhan sehari-hari di toko pojok jalan menuju rumahnya.
Kang Dodit si pemilik warung menyapanya dengan ramah, "Wah mau mborong ya, Bu? Barusan dapat gaji ke 13 nih rupanya?"
Bu Tifa tidak langsung merespon, tapi pikirannya dengan cepat menganalisa ucapan Kang Dodit. Kemudian perempuan setengah baya itu, seperti yang selama ini dikenal masyarakat sebagai perempuan cerewet, melontarkan pertanyaan balik dan tanpa memberi kesempatan langsung memberondong dengan sengit. "Kang Dodit pasti tahu kan kalau setiap awal bulan belanja saya ya seperti ini, jadi apa maksudnya kok bilang saya mau mborong?" Ia bertanya sambil bersungut-sungut, "Lagi pula saya kalau belanja tidak pernah ngutang! Saya selalu bayar tunai! Apa saya pernah ngutang di sini, Kang? Gak pernah kan? Terus apa urusannya dengan dapat gaji ke 13, kang?"
"Maaf Bu Tifa, saya tadi sekedar bercanda. Saya tidak punya maksud seburuk yang ibu katakan!"
"Makanya kalau mau ngomong itu dipikir dulu! Tapi saya tahu maksud tersembunyi dari ucapan mu itu, Kang? Pasti mengira saya mau ngutang kan? Saya paham, karena saya janda, pensiunan pegawai rendahan, dan anak-anak saya jauh di luar kota. Saya bukan orang bodoh, Kang? Jadi jangan dikira saya tidak bisa menagkap maksud burukmu itu?"
"Oh ala, bu. Sekali lagi saya minta maaf, Bu. Baiklah, sebagai permintaan maaf, saya akan beri discount belanjaan ibu sebesar lima persen!"