Bagi Nietsche, seseorang yang hanya meyakini suatu kebenaran dan menganggapnya sebagai kebenaran tunggal, lalu menegasikan yang lainnya, maka dia adalah individu yang lemah. Menolak sisi kehidupan lain, yang pada hakikatnya merupakan penyempurnaan yang saling melengkapi kehidupan itu sendiri, Â adalah bentuk ketidakmampuan dalam beradaptasi dengan realitas kehidupan yang ada.
Kebenaran tentu saja sulit diterima kecuali oleh orang yang mempercayainya. Jadi dengan demikian kebenaran akan tergantung bagaimana masing-masing individu menginterpretasikannya, dan persoalan interpretasi tidak terlepas dari perspektif. Karena tergantung pada perspektif tertentu, maka setiap klaim kebenaran hanya bersifat imanen atau subyektif. Inilah maksud dari filsafat perspektifisme.
Satu hal yang jelas, bahwa manusia cenderung membutuhkan pegangan dan tuntutan yang mengendalikan dari luar dirinya, yang pada akhirnya melahirkan fanatisme. Ini dalam rangka menjaga agar seseorang tetap eksis di tengah-tengah realitas kehidupan yang selalu ambigu, plural, paradox, dinamis dan tidak pasti
Nietzsche menegaskan bahwa semua fanatisme merupakan bentuk kelemahan manusia itu sendiri. Tidak hanya fanatisme terhadap suatu agama saja, tapi juga fanatisme dalam filsafat, dalam nasionalsme, dalam ateisme, dan bahkan juga dalam sains itu sendiri.
Sialnya, orang yang memiliki pikiran fanatik itu susah sekali untuk ditolong. Pihak yang ingin membantu tidak bisa memasuki alam pikirannya karena seringkali mereka sendiri tidak rela membuka perangkat kesadarannya. Mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang dikuasai oleh musuh besar bernama pikiran negatif. Apalagi jika orang tersebut punya kedudukan tinggi, mempunyai kekuatan finansial dan pengaruh besar, memiliki pengikut fanatik, maka pikiran negatif itu bisa dikemas dengan begitu indah.
Tidak mengherankan jika hal negatif dalam kemasan indah itu kemudian justru diperjuangkan agar terwujud dalam kehidupannya. Mayoritas masyarakat yang berbeda lalu malah dituding salah dan harus diluruskan. Mereka mengklaim dirinya paling baik, paling benar dan paling lurus. Jika sudah demikian, maka hanya kematian barangkali satu-satunya yang bisa menghentikannya.
Kematian yang ia yakini sebagai pintu gerbang menuju kebahagiaan, bisa jadi adalah tipuan akibat cengkeraman musuh terbesarnya, yakni pikiran negatif. Yang lebih memprihatinkannya lagi, tidak jarang justru kematian itulah yang mereka idam-idamkan. Kematian menjadi cita-cita tertinggi yang ingin segera dicapai secara mati-matian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H