Oleh: Tri Handoyo
Tidak sedikit ahli agama yang hanya menjadi 'menara gading' di singgasana lembaga pendidikan atau di ruang-ruang ibadah. Mereka ulama yang berilmu tinggi, tapi tidak memiliki kemampuan memotivasi atau menggerakkan persatuan di antara beraneka ragam perbedaan yang terdapat di tengah umat.
Kelebihan ilmu tapi miskin empati. Kaya gagasan tapi kosong implementasi. Cakap berkomunikasi tapi tuna etika, sekaligus pakar memprovokasi. Tentu saja semua karakter itu hanya akan memicu potensi perpecahan dan keterbelahan di masyarakat semakin menguat. Ini membuat kita patut prihatin.
Dalam Islam, perintah menjaga persatuan dan larangan berpecah-belah merupakan prinsip yang agung dan mulia. Persatuan menjadi hal paling penting karena bisa melestarikan kehidupan umat manusia, sehingga merupakan bagian dari tujuan utama syariat (maqaasid al-syari'ah).
Orang bijak bilang bahwa belas kasih itu bersifat alami sementara benci itu perlu dilatih. Akan tetapi uniknya, yang seringkali tampak menonjol di dalam kehidupan bermasyarakat adalah sebaliknya. Benih benci lebih mudah tersemai dibanding benih kasih.
Kenapa demikian? Otak manusia, sebagai perangkat utama dalam sistem pertahanan demi kelangsungan hidup, dirancang untuk mampu mendeteksi ancaman perbedaan dengan lebih detil dan cepat dibandingkan jika mendeteksi persamaan. Barangkali itulah alasan utama kenapa kita akhirnya terlatih mengenali perbedaan dan ahli dalam membeda-bedakan.
Kemudian itu diperparah oleh maraknya berbagai ujaran kebencian. Jadi bukan hal aneh jika kemudian egoisme kelompok, kekerabatan, kesukuan, menjadi sangat melekat erat. Mulai dari generasi lampu templok yang bergaya hidup gotong royong hingga generasi lampu disko yang bergaya hidup individualis dan hedonis, ego primordialis tetap menjadi fakta miris yang tetap eksis.
Oleh karena itu, demi menjawab tantangan masa depan bangsa dan negara, syiar agama harusnya diserahkan  bukan hanya kepada orang ahli ilmu agama saja, tapi yang lebih penting adalah punya kemampuan mengelola perbedaan demi terwujudnya persatuan dan kesatuan.
Setelah digembleng dengan berpuasa selama sebulan, maka diharapkan hati akan menjadi lembut. Puasa membentuk menjadi pribadi yang rendah hati, sehingga mudah insaf atas segala khilaf. Berikutnya akan ringan untuk saling bermaaf-maafan, sebagaimana tradisi yang kita kenal dengan istilah halal bi halal.
Orang yang sadar bahwa dia salah saja kadang merasa berat untuk meminta maaf, apalagi yang tidak sadar dirinya salah. Begitu juga sebaliknya, memberi maaf orang lain itu juga berat. Sehingga wajar disebutkan bahwa meminta maaf dan memberi maaf itu sesuatu yang tidak mudah, kecuali bagi orang yang lembut dan rendah hati.