Oleh: Tri Handoyo
Bocah Athena yang malang itu lahir pada periode Hellenistik. Tepatnya pada tahun 384 SM, tahun pertama Olympiade ke 99. Sebetulnya ia lahir dari keluarga yang cukup berada dan memperoleh pendidikan yang mapan. Akan tetapi pada saat berumur tujuh tahun, ayahnya meninggal dunia, dan kemudian walinya mencuri semua harta warisannya.
Konon nilai harta warisan itu setara dengan gaji standar seorang pegawai selama 220 tahun, atau jika dikonversi saat ini setara dengan dua belas juta dolar.
Di depan ibunya, bocah itu berjanji kelak akan merebut kembali warisan yang menjadi hak mereka itu. Janda yang tak berdaya itu hanya mampu memeluk buah hatinya.
Sambil berlinangan air mata ia berkata lirih, "Nak, agar dapat menang di pengadilan, kamu harus bisa berpidato dengan sangat bagus!"
Si ibu menyadari betul bahwa bocah kecil dalam pelukannya itu memiliki keterbatasan serius dalam berbicara, ucapannnya sulit dimengerti lantaran cadel.
Meskipun demikian, anak yatim itu bertekad akan belajar keras agar kelak bisa berbicara dengan benar dan lancar.
Jangan bahas soal penderitaan di depan seorang anak yatim. Manakala sebagaian besar anak-anak berburu kenikmatan, anak yatim asyik tenggelam dalam keheningan panjang.
Ia tekun belajar dalam penderitaan yang tersunyi. Tak pernah ijinkan air matanya tumpah di depan orang. Tak pernah mengumbar derita di depan manusia.
Dikisahkan ia punya ide mengulum kerikil kecil di mulutnya saat berlatih mengucapkan kata-kata secara jelas. Ia juga kerap berteriak-teriak menirukan pidato di antara debur ombak di pantai berbatu karang. Ia lakukan itu hingga berjam-jam lamanya.
Kemalangan kembali menimpah, tidak berselang lama, ibunya menyusul ayahnya ke alam baka. Kondisi yatim piatu membuat tekad si bocah semakin membara.
Setelah menginjak usia remaja, ia telah mampu berbiara dengan sangat baik. Cadelnya yang sering membuatnya gugup dan mengalami demam panggung jika berbicara di depan umum telah lenyap sama sekali.
Kini ia harus meningkatkan ketrampilan dalam menyusun naskah pidato yang baik. Untuk itu ia menuntut ilmu dari seorang guru retorika terbaik, yakni Callistratus dari Aphidnae. Potensi besar bocah Athena tersebut membuat sang guru sangat antusias mendidiknya.
Sampai tibalah waktu untuk menggugat wali sahnya. Ia menyampaikan pidato yudisial pertamanya itu pada usia 20 tahun, dan sungguh menakjubkan, ia berhasil memenangkan gugatan.
Dalam sistem peradilan di Athena, putusan ditetapkan oleh sekumpulan orang yang bisa mewakili golongan manapun. Kelompok yang disebut juri tersebut berjumlah 500 orang.
Mereka mendengarkan kesaksian dari pihak penggugat dan pihak tersangka. Setelah itu para juri akan melakukan pemungutan suara untuk menentukan apakah tersangka bersalah atau tidak, sekaligus memutuskan jenis hukuman bagi terdakwa.
Pemuda hebat itu meraih kemenangan mutlak. Hal itu menjadi titik tolak kebesaran namanya. Kendati harta warisan yang diperoleh sudah tidak banyak lagi, namun akhirnya ia mendapatkan banyak penghasilan dari menjadi orator profesional.
Siapakah sebenarnya nama pemuda hebat itu. Tidak lama lagi anda akan segera mengetahuinya. Ya, namanya adalah Demosthenes.
Ayahnya, yang juga bernama Demosthenes, berasal dari sebuah suku lokal, Pandionis tinggal di Paeania di wilayah Athena. Ia seorang ahli pembuat senjata kelas menengah. Sementara ibunya bernama Kleoboule, konon berasal dari Scythia.
Sejak itu Demosthenes menerima banyak pesanan menulis orasi bagi orang yang berpekara di pengadilan. Dalam sistem pengadilan Athena, hanya orang yang bersangkutan yang diperkenankan berbicara.
Dalam waktu singkat, Demosthenes telah menjelma menjadi seorang pengacara dan orator terkenal. Setelah di usia yang semakin matang, ia memutuskan terjun ke dunia politik dan menjadi politisi.
Suatu ketika, Demosthenes merupakan orang pertama yang menyadari bahwa Philippos dari Makedonia berniat menaklukan Athena. Politisi hebat itu memperingatan rakyat mengenai ancaman bahaya tersebut, namun masyarakat mengabaikan mentah-mentah peringatannya.
Sampai suatu ketika ancaman bahaya itu tampak semakin nyata, sehingga rakyat Athena akhirnya memohon kepada Demosthenes bersama beberapa orang sebagai utusan untuk bernegosiasi dengan Philippos. Akan tetapi semua sudah terlambat.
Setelah Aleksander Agung meninggal pada 323 SM, Demosthenes berusaya membantu Athena bebas dari cengkeraman kekuasaan Makedonia. Pada saat Demosthenes memimpin pemberontakan, Aristoteles yang sebetulnya mendukung kemerdekaan Athena memilih meninggalkan kota.
Malang bagi Demonthenes, pemberontakan itu gagal dan ia dijebloskan ke dalam penjara pada 322 SM.
Suatu hari, sosok yang paling berpengaruh pada politik dan budaya Yunani kuno itu ditemukan meninggal dunia. Saat itu ia berusia 65 tahun. Banyak orang meyakini bahwa tokoh besar itu mengakhiri hidupnya dengan cara meminum racun.
Tekad kuat dan belajar keras membuat Demonthenes dikenal sebagai politisi paling penting dalam sejarah Yunani kuno. Ia juga dianggap sebagai orator terhebat sepanjang masa. Banyak naskah pidatonya yang menjadi rujukan para pelajar retorika selama berabad-abad.
Peninggalan naskah-naskah orasinya yang tersimpan di musium hingga sekarang, memperlihatkan sebuah bukti yang signifikan dari kekuatan intelektual Athena pada jamannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H