Singkat cerita, keputusan Imam Ali itu membuat Muawiyah kecewa berat, dan akhirnya memilih memberontak. Ia menuding Ali sudah tidak menaati hukum yang ditetapkan Al Quran, yakni hukum qishas.
Kedua pasukan sesama umat Islam saling berhadap-hadapan, dan pecahlah perang Mahabaratha antara pasukan Muawiyah dan pasukan Sayidina Ali. Bunyi nyaring adu senjata dan jerit melengking kematian membuat siapa pun orangnya pasti bergidik merinding.
Puncak peperangan terjadi pada Jumat dinihari. Kemenangan tampaknya akan diperoleh oleh pihak Imam Ali. Mereka semakin semangat untuk terus merangsek menekan musuh.
Demi menyaksikan pasukan Muawiyah terdesak, Amr bin Ash memberi arahan kepada Muawiyah.
Amr bin Ash berseru, "Perintahkan pasukan kita mengikatkan Al Quran di ujung tombak, lalu angkat tombak tinggi-tinggi, sambil berteriak 'kita kembali pada al-Quran'!"
Itu hanyalah strategi untuk menunda kekalahan. Apabila pasukan Ali menerima ajakan ini, perang selesai, namun apabila menolak, pasukan Ali kemungkinan besar akan terpecah.
"Ini cukup untuk membuat pasukan kita istirahat!" sambung Amr bin Ash merasa sangat yakin.
Sebagian pasukan Imam Ali berseru " Kami menyambut seruan al Quran".
Sementara itu Imam Ali berteriak, "Wahai hamba Allah, rebut hak kalian! Perangi musuh-musuh kalian. Sesungguhnya, Muawiyah, Ibn Abi Muith, Habib, Ibn Abi Sarah, Dohak, bukanlah orang "beragama", bukan pula ahli al-Quran, aku sangat mengenal mereka. Aku berkawan saat kanak-kanak dan setelah dewasa, mereka seburuk-buruknya anak kecil dan seburuk-buruknya orang dewasa. Demi Allah seruan mereka untuk 'kembali pada al-Quran" hanya tipu daya dan kelicikan semata. (Tarikh Ibn Khaldun, Dar Turats Ihya Arabi, Jilid II)
Sebagian pengikut Imam Ali, yang kelak menjadi embrio Mazhab Khawarij, menjawab lantang, "Mana mungkin seruan untuk kembali kepada al Quran kami tolak!"
Imam Ali kembali berseru, "Kita memerangi mereka justru agar mereka berpegang teguh pada Al Quran, karena selama ini sesungguhnya mereka telah menelantarkan Al Quran!"