"Ya, bagaimana cara Ki Klepon membuktikan?" serbu Gempil antusias. Ia merasa dikeroyok sehingga hatinya mulai panas.
"Kita suruh mereka mesedekahkan hartanya yang banyak itu untuk dibagikan kepada kaum fakir miskin, sebagaimana yang sering mereka gembar-gemborkan dari atas mimbar agar kita rajin bersedekah. Rajin beramal. Berani nggak?"
"Ya seandainya mau," sahut Cak Dempul, "Itupun tidak sebanding dengan yang mereka peroleh dalam sekali tanggapan!"
Ki Klepon yang duduk berhadapan dengan Cak Dempul mengacungkan jempolnya. "Nah..cocok!"
"Seorang pendakwah yang tulus ikhlas itu pasti mencontoh kehidupan Rasulullah, yakni hidup sederhana," imbuh Ki Klepon, "Itu yang jelas menjadi ukuran utama."
Kini giliran Cak Kempit menimpali sengit, "Jangan-jangan Ki Klepon dan Cak Dempul ini sebenarnya iri dengan kehidupan ustadz-ustadz yang sukses, jadinya nyinyir seperti ini!"
Mendengar itu Gempil merasa mendapat energi baru. Sahutnya sambil menunjukan ibu jari ke Cak Kempit, "Nah..cocok!"
"Kalau saya lebih suka ustadz yang kaya raya," sambung Cak Kempit, "Ketimbang seperti Kyai Bejo yang katanya sakti tapi kere itu!"
"Setuju!" Gempil semakin merasa di atas angin, "Kyai kere kok buat anutan! Dia sendiri hidupnya susah. Nolong dirinya sendiri saja kesulitan bagaimana mungkin bisa nolong orang lain!"
"Maaf, saya boleh ikut nimbrung?" Seorang lelaki tua yang duduk di pojok berbicara dengan nada datar. Mereka semua yang sedang asyik ngobrol itu baru sadar bahwa ada orang asing yang menyimak obrolan mereka.
"Silakan mbah!" jawab Cak Otok si pemilik warung. "Di sini semua orang bebas berbicara!"