Umat yang pondasi pemahamannya tekstual, akan berpijak pada dogma dan mitos. Berbudayakan ketaatan buta (taklid) yang cenderung emosional. Sementara umat yang menjadikan akal (konseptual) sebagai pondasi akan memunculkan impian besar membangun peradaban luhur, peradaban yang berpijak pada ilmu pengetahuan
Yang bermodal emosional hanya menjadikan ilmu fikih sebagai sentra ajarannya. Melulu berkutat pada soal halal haram. Sementara yang bermodal akal, akan mampu memahami inti ajarannya secara menyeluruh dan utuh dari semua aspek dimensi, mulai dari ilmu aqidah, fiqih, tauhid, kalam, mantiq, tasawuf, berikut hikmahnya.
Otoritas tertinggi bagi umat emosional, di mana seluruh penafsiran hanya bermuara pada pemegang tampuk institusi agama. Terjadi institusionalisasi agama yang tolok ukur kebenaran adalah kebenaran versi junjungannya.
Sedangkan otoritas tertinggi bagi yang berakal terletak pada kematangan pribadi masing-masing. Penafsiran atas teks Al-Qur'an dan hadist terbuka lebar dan tidak memutlakkan mana yang lebih benar dan menganggap lainnya salah dan sesat.
Kecenderungan pemuka agama, baik yang literal-tradisional maupun yang modern-skriptural, akan sangat berkaitan erat dengan implementasi beragamanya.
Tidak ada bahasa, baik verbal maupun non verbal, yang tidak memiliki keterbatasan. Tubuh membelenggu, gerak memenjarakan dan pandang mata mengkerdilkan. Perkataan mengandung multitafsir dari perasaan, pikiran dan kehendak. Karena multitafsir inilah, bahasa bisa mereduksi alam psikologis.
Carl Gustav Jung berpendapat bahwa realitas, rasionalitas dan kebenaran pengalaman manusia menempati ruang yang teramat luas, dengan demikian seringkali tak terjangkau oleh kerangka pikiran yang dibangun atau oleh ilmu-ilmu yang telah ada sekalipun. Mengapa begitu? Karena metode ilmiah yang dianggap satu-satunya kebenaran telah mengurangi nilai manusia dan pengalamannya.
Erich Fromm berujar bahwa kata-kata tidaklah cukup untuk mendiskripsikan pengalaman manusiawi. Kata-kata bisa menggelapkan, memotong dan membunuh pengalaman.
Itulah kenapa cara beragama yang tekstual, tanpa tersentuh oleh rasa, karsa dan daya cipta, hanya akan melahirkan kesalehan tak bermakna, ketaatan tak bernalar, dan keimanan tak berintuisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H