Oleh: Tri Handoyo
Pangeran Duryudana pada dasarnya adalah anak yang baik, tapi akibat dari pola asuh yang terlampau memanjakan, maka ia tumbuh menjadi pribadi buruk, jahat dan kelak menjadi penyebab utama hancurnya kerajaan Astina. Kerajaan yang kejayaannya telah dicapai para leluhur dengan susah payah itu akhirnya sirnah dari muka bumi.
Sikap buruk sang pangeran diperparah oleh didikan, lebih tepatnya racun hasutan dari si paman, yakni Sangkuni.
Sangkuni adalah sosok unik dengan mengidap beragam gangguan mental, yang dulu belum diketahui namanya, yakni mengidap "ambivalensi". Sebuah gangguan mental yang membuat seseorang memiliki kepribadian kontradiktif terhadap diri sendiri, situasi, peristiwa, atau terhadap orang lain.
Dengan kata lain, pengidap ambivalensi juga disebut gangguan kepribadian pasif-agresif, tidak tegas dalam mengungkapkan dan mengekspresikan emosi.
Contoh seorang yang memiliki sikap ambivalen, suatu ketika ia bilang bahwa Indonesia mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Palestina, yang tahun 1988 telah dideklarasilan oleh Yasser Arafat, tapi disisi lain dia percaya bahwa Palestina belum merdeka, dan bahkan meyakini bahwa selamanya Palestina akan terjajah sampai kiamat. Itu sikap ambivalen.
Bisa juga misalnya, meyakini konstitusi yang berbunyi bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, sekali lagi 'hak segala bangsa', tapi di sisi lain menyatakan bahwa bangsa Israel harus dimusnakan.
Gangguan pasif-agresif menyebabkan seseorang mengekspresikan perasaan dan emosi negatif secara halus atau pasif, ketimbang secara langsung dan tegas. Itulah kenapa karakter tersebut sangat cocok menjadi tukang hasut. Juru adu domba yang handal.
Kelebihan Sangkuni, yang sering kali menimbulkan sikap seolah-olah cerdik dan licik, adalah mahir mencari pembenaran atas segala keburukan yang telah dilakukannya.
Sosok lain yang meracuni kepribadian Duryudana adalah Guru Resi Durna. Seorang ahli agama yang juga mengidap sikap jenis ambivalen, yakni kontradiksi antara apa yang dikatakan dan yang dilakukan. Ini merupakan ekspresi dari negativisme yang mendasarinya. Yakni perasaan marah, kecewa, benci, sedih, atas kehidupan yang dirasaknnya tidak adil di masa lalunya. Namun ia mampu menyembunyikannya secara baik.
Contoh, seorang ambivalen mungkin sangat antusias dan sangat sepakat bahwa Indonesia itu siap menjadi negara besar, layak untuk menjadi tuan rumah sebuah event taraf internasional, tapi sekaligus pesimis, anggap Indonesia gak bakal becus mengurus, bahkan untuk sekadar event di tingkat lokal sekalipun.
Negativisme adalah kecenderungan sikap untuk bertindak dengan cara yang bertentangan dengan harapan, cita-cita, optimisme, tanpa dapat diidentifikasi dengan jelas. Meskipun bisa jadi ia memiliki kemampuan beradaptasi dan tampak bisa mempelajari perilaku baru. Memang tergantung dari seberapa parahnya level gangguannya.
Pangeran Duryudana semakin lengkap dalam ketersesatan manakala memiliki loyalis sakti mandraguna, yakni Adipati Karna.
Adipati Karna yang menjadi andalan itu juga mengalami gangguan pasif-agresif, diduga akibat beberapa kombinasi faktor tumbuh di lingkungan yang serba kekurangan dan sering harus menderita sejak masih kenak-kanak.
Karna tidak bisa mengungkapkan emosi negatif yang menentang pikiran dan perasaannya itu, sehingga timbul rasa iri dan kesal terhadap siapa saja orang yang bernasib relatif lebih beruntung.
Karna kemudian merasa derajatnya diangkat oleh sang pangeran, lantas ia bersumpah setia membabi buta terhadap junjungannya itu. Ia siap mati bukan demi kebenaran, melainkan demi pembenaran.
Sangkuni, Durna, dan Karna memiliki kesamaan, yakni sikap pesimis, sinis, sekaligus ambisius dan agresif. Itulah keunikan dari pribadi ambivalen.
Ciri lain yang menonjol adalah juga sangat ahli dalam mencari kambing hitam. Mereka selalu menyalahkan orang lain atas segala problem yang dihadapi dalam kehidupannya. Misalnya, gagalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-29 itu adalah kesalahan FIFA, salahnya Israel, isu teroris, atau karena salah instruksi dari sosok petinggi. Intinya harus ada yang disalahkan di luar diri si pengidap itu.
Sayang sekali, belum ada pengobatan khusus untuk gangguan ini, psikolog atau psikiater hanya dapat membantu penderita untuk mengidentifikasi, menangani, dan berhenti terlibat dalam perilaku dan tindakan yang kontradiktif. Bahkan puasa di bulan sudi Ramadhan pun tampaknya tidak menjamin bisa menyembuhkannya.
Sebetulnya ada sosok terhormat dalam kubu pangeran Duryudono, yakni Eyang Bisma. Namun, di usia senjanya, si begawan senior itu justru mengalami kondisi gangguan 'ambivalen' pula. Ia menikmati posisi dianggap netral, berdiri di atas semua golongan, baik di Kurawa maupun di Pandawa, dan cenderung fatalis.
Perang Baratayudha sudah menjadi kehendak para dewata, demikian yang diyakininya, tidak mungkin bisa dihindari apalagi dicegah, pungkasnya tegas. Hancurnya Astina adalah takdir. Kali ini dewa dan takdir yang menjadi kambinghitam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H