Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membudayakan Puasa

18 Maret 2024   08:39 Diperbarui: 16 Juni 2024   23:37 2113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Oleh: Tri Handoyo

Belakangan budaya seolah-olah diartikan hanya sebatas tari-tarian, wayang, gamelan, atau busana tradisional. Padahal budaya itu hakikatnya adalah mengenai cara berpikir, bersikap, berperilaku, dan seluruh cara hidup.

Dengan demikian budaya juga bisa disebut sebagai akhlak, yang sama-sama menenkankan pada soal kebiasaan. Kebiasaan adalah soal latihan. Jadi kita tidak bisa mengharapkan ada revolusi mental atau revolusi akhlak tanpa diawali dengan membudayakan cara untuk berpikir dan berperilaku baik dan benar.

Ironisnya, kemudian malah muncul istilah budaya tawuran, budaya konsumtif, budaya rasan-rasan dan menyebarkan hoax, serta yang lebih menyedihkan adalah budaya korupsi.

Misal, jika kita menengok sejarah Nusantara yang dahulu kala dikenal sebagai bangsa yang sangat toleran, yang sanggup menampung segala aneka ragam suku bangsa, bahasa, yang terpatri dalam slogan "Bhineka Tunggal Ika", kenapa belakangan spirit toleransi itu perlahan mengalami pupus? Kenapa empati kita menjadi rendah?

Itu artinya sebuah budaya yang tidak lagi dilatih dan diajarkan bisa sirna, akhlak bisa porak-poranda, dan peradaban pun bisa hancur lebur dan akhirnya punah.

Kebanyakan kita hanya menuntut hasil tanpa memberikan latihan bagaimana ajaran-ajaran itu bisa mencapai hasil sesuai yang diharapkan. Itu kan sama halnya dengan memandang seolah-olah revolusi layaknya meramu resep mie instan. Hari ini teriak revolusi dan berharap menuai hasil di esok hari.

Merencanakan revolusi budaya (mental dan akhlak) merupakan suatu tekad yang mendasar dan bersifat paradigmatik, yaitu membangun paradigma baru dengan landasan pada kebaikan dan kebermanfaatan bagi sesama.

Rasulullah SAW dalam sebuah sabdanya menyatakan,

"Sesungguhnya sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya." (HR. Bukhari no. 6035).

Jadi jelas akhlaklah yang menjadi ukuran seorang manusia itu baik atau buruk. Bukan keturunan bangsawan atau darah biru. Bahkan, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menegaskan bahwa beliau diutus ke bumi demi untuk menyempurnakan akhlak. Itu berarti membangun budaya dan peradaban.

Jadi konyol jika kemudian ada yang lebih menonjolkan dan mengagung-agungkan nasab ketimbang akhlak, tapi bermimpi tentang perbaikan akhlak.

Untuk bisa mencapai akhlak yang baik itu butuh perjalanan dan perjuangan yang panjang. Tidak mudah. Smentara memiliki nasab yang baik itu tidak butuh perjuangan apa pun.

Kenapa akhlak lebih penting? Karena akhlak yang baik jelas akan memberikan manfaat dalam kehidupan umat manusia. Akhlaklah yang akan melahirkan sebuah kebudayaan dan peradaban. Bukan bersandar pada nasab.

Jadi, seorang ulama yang alim dan arif bijaksana tentu jauh lebih bermanfaat dibanding 70 orang keturunan darah biru yang akhlaknya buruk.

Ada saat yang mulia yang disediakan Allah untuk manusia agar melatih akhlak, yakni di Bulan suci Ramadhan. Bulan puasa.

Tujuan inti dari puasa adalah agar menjadi orang yang bertaqwa. Taqwa artinya melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Arti ini merujuk pada kata waqa-yaqi-wiqayah dalam bahasa Arab yang berarti memelihara atau menjaga diri.

Puasa merupakan latihan mengontrol amarah dan hawa nafsu. Kontrol diri itulah yang menjadi tolok ukur dalam menentukan seseorang itu berakhlak atau tidak.

Latihan sebulan penuh ini sama halnya proses membangun budaya memelihara dan menjaga diri. Budaya berbuat kebajikan dan beramal saleh. Jadi, apabila mengerjakan puasa namun tidak mampu mengubah perilaku menjadi tambah baik, itu indikasi bahwa puasanya bohong belaka.

Sekali lagi, soal akhlak adalah soal membiasakan. Kebiasaan adalah soal latihan. Semakin dini sebuah ajaran dan latihan diberikan, akan semakin menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan itulah akhlak,  sampai akhirnya membentuk budaya. Membudayakan puasa adalah membangun sebuah peradaban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun