Mereka sejatinya adalah guru yang melayani. Tidak sekadar bisa 'muruk' atau 'mulang', melainkan harus bisa 'momong'. Tidak sekadar bisa 'momong' tetapi juga bisa 'nuntun', itulah kenapa di dalam setiap tindakan yang mereka perankan selalu terdapat kandungan makna keteladanan.
"Seharusnya kan ada mekanisme untuk mencari jalan keadilan," sambung Semar, "Jadi jangan malah menyebarkan hasutan kepada rakyat!"
"Iya betul, Romo," sahut Gareng, "Padahal, siapapun yang menang, semuanya adalah sesama anak bangsa!"
Ada yang melihat kekalahan itu adalah tantangan, dan sebuah tahap untuk melangkah maju. Sementara di sisi lain, kekalahan dipandang sebagai kegagalan, yang diikuti rasa penuh penyesalan dan keputusasaan.
Para kopetitor itu seharusnya adalah sosok-sosok yang berjiwa ksatria. Siap kalah dan siap menang. Kalah tidak putus asa dan menang tidak jumawa.
Sementara kalau pecundang itu pasti akan memilih sibuk mencari kambing hitam. Kenapa, karena ia merasa sebagai orang yang tidak pantas kalah. Ia merasa dirinya adalah orang unggul yang wajib menang. Pecundang itu memanv seringkali satu paket dengan sikap arogan.
Itulah dialog para Punakawan di hari yang penuh kedamaian. Semar adalah sosok yang menjadi simbol karsa, yang artinya kehendak atau niat. Gareng sebagai simbol cipta, yaitu nalar dan logika. Petruk melambangkan perasaan dan empati. Sementara Bagong, yang paling junior, melambangkan karya, yaitu usaha dan tindakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H