Mohon tunggu...
TRI HANDITO
TRI HANDITO Mohon Tunggu... Guru - Kawulaning Gusti yang Mencoba Untuk Berbagi

Agar hatimu damai, tautkankanlah hatimu kepada Tuhanmu dengan rendah hati.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Konten dan Kontes : Refleksi Atas Peran dan Kehidupan

18 Desember 2024   13:15 Diperbarui: 18 Desember 2024   21:26 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://stuffjeffreads.wordpress.com/wp-content/uploads/2020/04/asyoulikeit.jpg 

All the world's a stage,

And all the men and women merely players;
They have their exits and their entrances;
And one man in his time plays many parts

Begitulah kalimat yang diucapkan oleh Jaques kepada Duke Senior dalam monolog As You Like It (Act II, Scene VII) karya William Shakespeare.

Untaian kalimat tersebut kemudian membawa saya ke dalam alam perenungan, bahwa hidup adalah sebuah panggung pertunjukan, tempat setiap manusia memainkan lakon masing-masing. Pemikiran ini menggiring saya pada sebuah perenungan mendalam : apakah kita sungguh-sungguh menjalani hidup sesuai dengan apa adanya diri kita, ataukah hanya berpura-pura demi memenuhi gelegak nafsu lakon sandiwara kehidupan?

Panggung kehidupan, sebagaimana Shakespeare gambarkan, bukanlah sesuatu yang statis. Setiap peran yang kita mainkan dalam berbagai lakon kehidupan sering kali dipengaruhi oleh konteks sosial, nilai budaya, hingga harapan dari lingkungan. Seorang individu bisa menjadi seorang anak yang patuh di hadapan orang tua, menjadi seorang pemimpin yang bijaksana di kelompoknya, dan menjadi seorang sahabat yang penuh canda tawa dalam circle pertemanannya. Namun, di balik semua peran itu, kita dapat bertanya: adakah sebuah inti sejati dari seorang manusia, bebas dari topeng-topeng yang dikenakan demi "memainkan peran"?

Dalam tatanan kehidupan sehari-hari, "panggung kehidupan" akan hadir dalam interaksi kita dengan sesama. Kita selalu diperhadapkan dengan konten-konten yang dikonteskan dalam berbagai peran. Entah itu peran penuh ketulusan yang mencerminkan kepribadian sejati, entah itu peran penuh kepura-puraan, yang dimainkan untuk memenuhi gelegak hasrat nafsu orang-orang di sekitar kita. Namun, kontes dan konten ini adalah bagian dari realitas yang kita hadapi sehari-hari, dan mungkin saja - baik secara sadar maupun tidak- kita turut bermain peran di dalamnya!

Dalam pusaran kehidupan bersama, kita layaknya seorang nahkoda yang memegang kendali arah perjalanan di tengah gelombang yang tak terduga. Terkadang angin bertiup tenang membawa kapal melaju syahdu. Namun, ada kalanya badai datang mengguncang, memaksa kita bertahan dan mengambil keputusan di bawah tekanan : ditekan dan diinjak dari atas, dipepet dari samping kiri kanan, didorong dari belakang, serta dipaksa mundur dari depan. Setiap gelombang dan tekanan yang menghantam, besar atau kecil, bukan hanya menguji sejauh mana kita mampu memainkan peran, tetapi juga menuntut kita untuk tetap berpegang teguh pada nilai-nilai yang menjadi bintang penuntun dalam kehidupan. Bintang penuntun itulah yang menjadi visi spiritualitas kita, di mana tanpa bintang penuntun maka kapal kehidupan kita mungkin terombang-ambing tanpa tujuan, tenggelam dalam derasnya arus yang membawa kita semakin asing dengan siapa diri kita sendiri dan semakin jauh dari inti diri yang sejati. 

Pertanyaan mendasar yang muncul kemudian adalah : seberapa sering peran-peran yang kita mainkan benar-benar mencerminkan diri sejati kita? Ataukah semuanya hanyalah "topeng" yang kita kenakan demi menyesuaikan diri dengan naskah sosial yang penuh gairah dan ambisi untuk terus melakonkan cerita? Lebih jauh, apakah peran ini sekadar bagian dari sandiwara yang kita mainkan, atau ada sesuatu yang lebih mendalam yang sebenarnya ingin kita sampaikan melalui pertunjukan ini?

Sebagaimana diungkapkan oleh Mbah Nun (Emha Ainun Nadjib), manusia membutuhkan pijakan yang kokoh, layaknya akar yang menopang pohon. Dalam kehidupan yang dijalani dari lakon ke lakon dan dari kontes ke kontes, pijakan itulah yang akan menentukan apakah kita menentukan apakah kita tetap menjadi diri yang tulus atau justru terseret krisis kehidupan manusia dalam arus kepura-puraan. Pijakan itu bisa berupa prinsip hidup, nilai-nilai kebenaran, atau bahkan kesadaran untuk tetap jujur pada diri sendiri, meski panggung kehidupan sering kali mendorong kita untuk mengenakan topeng.

Krisis yang dihadapi manusia saat ini, sebagaimana dinyatakan oleh Lester W. Milbrath, bukan hanya tentang rusaknya alam, tetapi juga hancurnya nilai-nilai kemanusiaan. Di tengah sandiwara kehidupan, kita sering lupa akan esensi dari menjadi manusia: empati, cinta kasih, dan tanggung jawab moral. Mungkin, peran yang kita mainkan terlalu sibuk memenuhi ekspektasi orang lain sehingga lupa bahwa lakon yang baik adalah yang selaras dengan keadilan, kebijaksanaan, dan kemanusiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun