Mohon tunggu...
TRI HANDITO
TRI HANDITO Mohon Tunggu... Guru - Kawulaning Gusti yang Mencoba Untuk Berbagi

Agar hatimu damai, tautkankanlah hatimu kepada Tuhanmu dengan rendah hati.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menormalisasi Ketidaknormalan

18 Juli 2024   22:11 Diperbarui: 18 Juli 2024   22:52 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

(1)

Ada dua pengendara motor yang beradu mulut di pinggir jalan raya. Ternyata, perselisihan itu dipicu oleh salah satu pengendara yang lawan arah tidak terima ditegur pengendara lain. Alasannya, kalau harus muter terlalu jauh. Jadi, mending lawan arah saja. Lebih cepet dan lebih praktis, walaupun sebenarnya menggadaikan keselamatan dan nyawa sendiri serta orang lain!

(2)

Di sudut kota yang lain, ada seorang pejalan kaki yang hampir terserempet mobil gegara terpaksa ia berjalan di luar trotoar, karena trotoar penuh dengan pedagang dan ramai oleh pembeli. Sungguh dilematis memang! Di satu pihak ada yang sedang mengais rejeki demi bertahan hidup. Di pihak lain, ada pejalan kaki yang memiliki hak penuh untuk menggunakan trotoar.

(3)

Di gedung anti rasuah, seorang pejabat negara sedang diperiksa karena kasus suap. Alasan ia menerima suap adalah karena ia sedang butuh banyak uang untuk biaya hidup yang semakin membengkak. Hal mengingatkan kita pada Fraud Triangle Theory yang diperkenalkan oleh Donald R. Cressey dalam disertasinya pada 1993. Menurut teori tersebut, rationalization (pembenaran) adalah salah satu penyebab orang melakukan kecurangan sehingga ia mengkhianati kepercayaan atau amanah yang dititipkan kepadanya.

Tiga ilustrasi kasus di atas dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Banyak ragam kasus lain yang senada dengan tiga ilustrasi kasus tersebut, yang pada intinya orang cenderung melakukan pembenaran dan menormalisasi pelanggaran yang ia lakukan dengan alasan-alasan tertentu. Dan celakanya, dalam beberapa kasus terhadap alasan pembenaran itu kemudian terjadi pembiaran. Apa yang kemudian terjadi? Yang terjadi adalah yang tidak normal kemudian dianggap sebagai normal dan dianggap wajar-wajar saja. Dan akhirnya, mereka yang "lurus-lurus saja", mereka yang taat asas dalam tata kehidupan sosial kemudian mengalah dan mencoba "berdamai dengan keadaan" atas nama "ketertiban bersama".

Sungguh ironi memang!!!

Kepekaan manusia satu terhadap eksistensi manusia lain menjadi perlahan luntur. Alasan pembenaran karena pemenuhan kebutuhan, alasan pembenaran karena faktor ekonomi, alasan pembenaran karena alasan kepraktisan, dan alasan-alasan yang (dianggap) mendasar lainnya menjadi penyebab normalisasi dalam ketidaknormalan!

Dalam tataran ideal (dan seharusnya terwujud dalam kehidupan nyata), setiap orang memiliki hak dan memiliki akses pemenuhan terhadap hak tersebut. Untuk hak-hak yang termasuk derogable rights, maka bisa saja dibatasi pemenuhannya dengan berbagai regulasi dan setiap orang harus tunduk pada pembatasan oleh regulasi tersebut. Dalam konteks ini, variabelnya kemudian menjadi bertambah. Tidak hanya berkurangnya kepekaan manusia terhadap eksistensi manusia lain, namun juga adanya norma yang diabaikan. Bukankah norma dibentuk untuk mengatur ketertiban dalam kehidupan manusia? Apakah dengan demikian, menormalisasi ketidaknormalan juga bisa diartikan hajat manusia untuk kembali anomi atau hidup tanpa norma??? Sekali lagi, sungguh amat sangat ironis!!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun