Prolog : Kepuasan !!!
Kita semua tentu pernah merasa tidak puas. Tidak puas dengan pelayanan publik di negeri ini, tidak puas dalam riak kehidupan berumah tangga, tidak puas ketika bersosialisasi dengan dengan tetangga, tidak puas dengan situasi dan kondisi di tempat kerja, dan beragam ketidakpuasan lainnya yang akan selalu muncul sejalan dengan keinginan manusia yang memang tiada pernah ada ujungnya.
Apa yang dilakukan ketika merasa tidak puas? Ada yang diam saja dan berharap ada keajaiban terjadinya perubahan. Ada yang mencoba mengkomunikasikan supaya ketidakpuasan yang dirasakan menemukan jalan keluar. Ada yang mencoba mencari pelarian lain dengan harapan akan terpuaskan.
Atau bahkan, membuat aksi revolusioner karena merasa hanya dengan membuat aksi maka harapan akan kepuasan itu akan segera terwujud. Pendek kata, banyak sekali situasi, kondisi, dan alasan yang menjadi penyebab kita merasa tidak puas dan beragam pula cara untuk menyikapi ketidakpuasan tersebut.
Di dalam tulisan ini akan dibahas mengenai quiet quitting, sebuah fenomena di dunia kerja yang muncul (salah satunya) disebabkan oleh ketidakpuasan yang dialami seseorang di dunia kerja. Jika fenomena ini sedang kita rasakan atau sedang menjadi "virus" di tempat kerja kita, maka hal tersebut merupakan sebuah alarm bahwa ada "sesuatu" yang memang harus diperbaiki, entah pada diri kita, entah pada para pemegang kebijakan, atau mungkin pada sistem yang sedang berjalan, atau bahkan semua memang harus diperbaiki !!!
Quiet Quitting :Â Kerja Sesuai Argo - Pulang Tenggo
Di berbagai media sudah banyak dibahas fenomena quiet quitting oleh berbagai pakar dan praktisi dari berbagai sudut pandang. Lalu, apa yang dimaksud dengan quiet quitting? Bekerja sesuai argo dan pulang "tenggo" (begitu teng langsung go : begitu jam kerja selesai langsung pulang)! Kira-kira seperti itulah quiet quitting dalam pengertian yang paling sederhana. Quiet quitting menggambarkan orang yang sudah jenuh bekerja namun masih enggan untuk resign.Â
Akhirnya, ia hanya bekerja hanya sekedarnya saja. Sudah pasti  bahwa kinerja dan produktifitas orang tersebut buruk. Namun, fenomena ini tidak muncul tanpa sebab. Temuan Gallup (Jim Harter : 2022), fenomena quiet quitting membentuk setidaknya 50% dari angkatan kerja Amerika Serikat.Â
Wah, ternyata cukup fantastis juga! Apa yang menjadi penyebab fenomena tersebut? Lebih lanjut lagi Harter menyatakan bahwa quiet quitting disebabkan oleh faktor kejelasan akan harapan, ada atau tidaknya kesempatan untuk belajar dan tumbuh, faktor perhatian, serta faktor yang berhubungan dengan misi/tujuan organisasi.Â
Hal ini juga didukung oleh penelitian bahwa mayoritas pekerja yang berhenti dari pekerjaan mereka pada 2021 dengan alasan karena upah rendah, kurangnya peluang pertumbuhan, dan merasa tidak dihargai (Ayalla Ruvio & Forrest Morgeson : 2022).
Kita mungkin pernah mendengar istilah workaholic (orang yang gila kerja). Para workaholic berusaha untuk selalu sempurna dalam hal proses kerja dan hasil pekerjaannya. Dalam dunia seni di Jepang juga dikenal adanya Shokunin, yaitu julukan untuk seorang pengrajin dengan kemampuan yang luar biasa, yang sangat berdedikasi pada kerajinan mereka, dan selalu berusaha untuk kesempurnaan hasil karya mereka.Â
Quiet quitter bukanlah workaholic dan juga tidak bermental layaknya seorang Shokunin. Quiet quitting identik dengan bekerja sekedarnya atau bekerja seperlunya sesuai dengan kompensasi dan apresiasi yang diperoleh (bekerja sesuai "argo").
Komunikasi : Solusi yang Elegan dan Beradab
Coba kita sama-sama amati lingkungan sekitar kita! Apakah fenomena quiet quitting sudah menjangkiti komunitas organisasi atau lembaga di sekitar kita? Kalau hanya satu atau dua orang saja yang terjebak pada quiet quitting tentu keseimbangan dalam organisasi tidak akan begitu terganggu.Â
Namun, bagaimana jika hampir sebagian besar anggota organisasi terjangkit "virus" quiet quitting? Bagi para pemimpin organisasi yang jeli, tentu hal ini menjadi sebuah alarm bahwa ada sesuatu yang harus diperbaiki dalam tubuh organisasinya. Hanya diam dan melakukan tindakan balasan berupa quiet firing sebagai solusi (lebih tepatnya tindakan pembalasan) tentu bukan hal bijak. Malahan justru akan menambah jumlah barisan sakit hati dalam tubuh organisasi!
Bukankah pemimpin menjalankan fungsi task related (berhubungan dengan tugas sekaligus pemecahan masalah) dan fungsi group maintenance (fungsi pemeliharaan kelompok)? Di satu sisi pemimpin harus cakap memecahkan masalah dalam organisasi dan di sisi lain ia harus mampu memelihara solidaritas dalam organisasinya.
Mengutip pernyataan Michael Fullan (2007:129), bahwa kondisi tempat kerja yang menguntungkan secara profesional akan menarik dan mempertahankan orang-orang baik. Oleh karena itu, sepanjang para anggota organisasi masih bisa diperbaiki dan ditingkatkan kinerjanya, mereka layak untuk tetap dipertahankan dan dilakukan perbaikan secara berkelanjutan (sustained improvement).
Dari mana harus memulai proses untuk memperbaiki kondisi organisasi/lembaga yang terjangkit virus quiet quitting? Upaya perbaikan bisa dimulai dengan cara mengurai ketidakpuasan. Ketidakpuasan menjadi variabel penting dalam fenomena ini. Mengapa ketidakpuasan? Coba kita cermati kembali temuan Gallup di atas! Dari temuan Gallup tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menjadi penyebab terjadinya fenomena quiet quitting adalah adanya ketidakpuasan, yaitu :
- ketidakpuasan terhadap harapan dan aspirasi yang belum tersalurkan dengan baik,
- ketidakpuasan terhadap kesempatan untuk belajar dan tumbuh,
- ketidakpuasan terhadap faktor perhatian, serta
- ketidakpuasan terhadap faktor yang berhubungan dengan misi/tujuan organisasi
Setelah mengetahui apa yang menjadi penyebabnya, lalu apa yang harus dilakukan oleh para pemegang kebijakan dalam organisasi? Cara yang elegan dan beradab untuk memperbaikinya adalah dengan membuka saluran komunikasi dan mencoba mengurainya menjadi sebuah solusi.Â
Mengapa komunikasi menjadi penting dalam hal ini? Seorang pemimpin tentu tidak melulu seorang  mekanistik (menggunakan aturan dan SOP sebagai tumpuan bertindak), tetapi juga seorang yang humanistik yang selalu menguatkan hubungan interpersonal dalam mengelola organisasi. Sebuah kajian ilmiah membuktikan bahwa membangun komunikasi interpersonal merupakan upaya yang sangat penting untuk memperkuat kemampuan orang-orang ketika menangani stres dan hambatan di tempat kerja serta mengembangkan hubungan yang efektif dan efisien dengan komponen organisasi yang lain. (Anwar & Fitriani, 2020).
Sebagai seorang yang humanistik, maka ketika ada masalah hal yang dikedepankan adalah pendekatan komunikasi. Jadi, yang harus dilakukan untuk mengurai virus quiet quitting adalah berkomunikasi untuk mengurai ketidakpuasan. Melalui komunikasi, berbagai ketidakpuasan yang terpendam menjadi tersalurkan atau setidaknya ada harapan akan terjadinya perubahan positif.Â
Dengan demikian, kinerja para anggota organisasi dapat diperbaiki dan kualitas serta produktivitas organisasi dapat ditingkatkan.Â
Akan menjadi sebuah keunggulan kompetitif bagi sebuah lembaga/organisasi jika ia mampu mempertahankan orang-orang baik dan berkualitas. Dan jangan lupa, mengutip penyataan Hill (Saitis & Saiti, 2017), bahwa keunggulan kompetitif hanya dapat dipertahankan dengan cara kepemimpinan strategis dan kinerja organisasi yang maksimal sebagai bagian dari proses untuk mencapai tujuan jangka panjang organisasi.
Epilog
Fenomena quiet quitting memang ada dan mungkin akan selalu ada. Namun, akan menjadi masalah besar manakala dalam sebuah lembaga/organisasi fenomena tersebut menjadi "virus" yang menyebar secara luas. Jelas hal ini menjadi alarm buruk bagi keberlangsungan dan eksistensi sebuah organisasi/lembaga.Â
Akar masalahnya sudah jelas : KETIDAKPUASAN. Entah itu ketidakpuasan atas kompensasi atau gaji yang tidak memadai/tidak masuk akal, ketidakpuasan akan harapan untuk tumbuh dan berkembang, ketidakpuasan atas sistem yang diterapkan, serta ragam aneka ketidakpuasan yang lain.Â
Cara untuk mengurainya secara elegan dan beradab adalah melalui pendekatan humanistik dengan membuka kran komunikasi. Setidaknya melalui komunikasi yang baik dan komitmen kuat untuk menjaga solidaritas dalam organisasi, maka harapan untuk terjadinya perubahan (sebagai solusi atas ketidakpuasan) akan tetap ada.
Bagaimanapun juga, orang-orang yang baik dan berkualitas harus terus dijaga dan dipertahankan. Â Pun demikian, upaya peningkatan kinerja dalam organisasi juga harus selalu dilakukan. Sebuah organisasi/lembaga akan memiliki keunggulan kompetitif manakala organisasi/lembaga tersebut mampu mempertahankan orang-orang baik dan berkualitas serta mampu mentransformasi pribadi yang biasa-biasa saja menjadi pribadi yang luar biasa.
Inspirasi Pustaka :
- Anwar, M. C., & Fitriani, S. 2020. Emotional Intelligence and Interpersonal Communication: Their Relationship o n Primary School Teachers' Adversity Quotient. International Conference and Innovation Exhibiti on Global Education (ICEGE), 55--67.
- C. Andika S.2022. Saya Tidak Berhenti Kerja, Saya Hanya Quiet Quitting. Dari https://www.dw.com/id/tren-quiet-quitting-untuk-cegah-eksploitasi-dunia-kerja/a-63119183
- Fullan, Michael.2007.The New Meaning of Educational Change, Fourth Edition.Teachers College, Columbia University.
- Harter, Jim.2022. Is Quiet Quitting Real? Dari https://www.gallup.com/workplace/398306/quiet-quitting-real.aspx
- Rosalsky, Greg, dan Alina Selyukh.2022. The Economics Behind 'Quiet quitting' - And What We Should Call It Instead. Dari https://www.npr.org/sections/money/2022/09/13/1122059402/the-economics-behind-quiet-quitting-and-what-we-should-call-it-instead
- Ruvio, Ayalla, and Forrest Morgeson.2022. Are You Being Quiet Fired? Dari https://hbr.org/2022/11/are-you-being-quiet-fired
- Saitis, C., & Saiti, A. 2017. Initiation of Educators into Educational Management Secrets. Springer Interational Publishing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H