Fenomena perundungan yang lebih dikenal dengan istilah bullying, semakin marak diberitakan oleh media. Berdasarkan studi Program Penilaian Pelajar Internasional (UNICEF, 2020) prevalensi perundungan di Indonesia yaitu 41 persen pelajar berusia 15 tahun pernah mengalami perundungan setidaknya beberapa kali dalam satu bulan. Dari hasil pencatatan Federasi Serikat Guru Indonesia, sepanjang tahun 2023 terjadi 30 kasus perundungan di satuan pendidikan. Dari tahun sebelumnya, jumlah ini meningkat sembilan kasus. Dari 30 kasus tersebut, 50 persen terjadi di jenjang SMP, 30 persen terjadi di jenjang SD, 10 persen di jenjang SMA, dan 10 persen di jenjang SMK. Perundungan paling banyak terjadi di jenjang SMP, baik yang dilakukan siswa ke teman sebaya maupun yang dilakukan pendidik (Aranditio, 2023). Hal ini menunjukkan bahwa perundungan (bullying) telah menjadi pola umum dari perilaku anti sosial yang lebih banyak terjadi di sekolah.
Adanya fakta tersebut membuat masyarakat khususnya para orang tua menjadi semakin resah, sehingga mereka semakin cermat serta waspada dalam memilih lingkungan sekolah untuk anak. Dimana orang tua mengharapkan sekolah menjadi wadah yang sehat bagi anak-anak untuk mengembangkan kemampuan sosialnya. Dengan demikian, diperlukan pemahaman dan upaya-upaya dari berbagai pihak yang terkait agar sekolah bebas dari bullying.
Apakah bullying itu?
Istilah bullying sering muncul pada kasus-kasus yang berkaitan dengan kekerasan, penindasan, intimidasi, dan sebagainya. Pengertian bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan seseorang (atau beberapa) terhadap orang lain secara sengaja dan berulang-ulang untuk mengakibatkan penderitaan, baik secara fisik maupun psikologis. Bullying ditampilkan dalam berbagai bentuk perilaku kekerasan: kekerasan verbal (diejek, memberikan nama panggilan yang memalukan), kekerasan materi/finansial (mengambil atau menghancurkan barang milik korban), kekerasan psikologis (menyebarkan rumor yang negatif, mengucilkan, mengancam), dan kekerasan fisik (dipukul, disuruh-suruh). Â
Pada umumnya, bullying terjadi dalam pertemuan tatap muka. Sebagai pengaruh dari perkembangan teknologi lahirlah cyberbullying, yaitu memberi komentar negatif atau menghina foto korban yang terdapat di website, pelecehan melalui aplikasi chatting, penyebaran foto/video pribadi tanpa izin, dan jenis pelecehan lain di media sosial.
Pelaku BullyingÂ
Laki-laki maupun perempuan dapat berpotensi menjadi pelaku bullying. Karakteristik seorang pelaku bullying adalah memiliki perilaku agresif terhadap kelompok sebaya maupun orang dewasa, seringkali impulsif (bertindak tanpa berpikir), ingin mendominasi orang lain, secara fisik lebih kuat dibandingkan anak-anak lain, mengharapkan keberhasilan/keuntungan dari perilaku kekerasan, memperoleh kepuasan dari perilaku agresi, dan berusaha memperoleh materi dengan melukai dan membuat korban menderita (Wirawan, 2013). Selain itu, pelaku bullying cenderung memiliki karakteristik seperti, sulit mengikuti aturan, mudah marah, dan terlibat dalam perilaku anti sosial.
Individu yang melakukan bullying pada usia lebih muda, akan mengembangkan perilaku agresi pada tingkat yang lebih tinggi sesuai dengan bertambahnya usia, seperti tindakan kejahatan kriminal. Konsekuensi jangka panjang lainnya yang terjadi pada pelaku bullying adalah meningkatnya kemungkinan penggunaan obat terlarang dan alkohol pada usia remaja dan dewasa, terlibat dalam seks pranikah, putus sekolah, dan bersikap kasar terhadap pasangan atau anak-anak mereka saat dewasa (Zuckerman, 2016).
Korban Bullying
Individu yang lebih rentan menjadi sasaran bullying adalah mereka yang memiliki karakteristik cenderung diam dan memiliki self-esteem (harga diri) yang rendah. Salah satu yang berpengaruh pada self-esteem adalah mereka dipandang berstatus "lebih rendah" terkait ras, etnis, agama, status sosial ekonomi atau gender. Beberapa mereka seringkali impulsif sehingga membangkitkan reaksi negatif dari teman sebaya. Beberapa berusia lebih muda dan secara fisik lebih lemah juga rentan menjadi korban bullying (Wirawan, 2013).
Pengalaman bullying memberikan dampak yang dirasakan korban seperti terjadinya risiko masalah psikis dalam rentang kehidupan dan fungsi sosial yang buruk (malu, tidak aman, kesepian, harga diri jauh menurun, menarik diri dari lingkungan sosial). Bahkan beberapa kasus depresi dan bunuh diri di Indonesia disebabkan oleh perundungan. Selain itu, korban bullying berpotensi mengalami hambatan dalam proses belajar di sekolah. Selanjutnya, dampak bullying seringkali dirasakan hingga korban berusia dewasa seperti sulit mengungkapkan pikiran dan perasaannya, serta merasa gelisah mencoba sesuatu yang baru. Saat menghadapi situasi yang serupa dengan pengalaman bullying di masa lalu, korban mudah merasa khawatir dan ragu-ragu.
Penanganan Bullying
Masalah bullying perlu ditangani secara menyeluruh, baik pelaku maupun korban bullying. Sebaiknya pembimbingan untuk para pelaku bullying dilakukan sedini mungkin supaya dapat mengubah perilaku negatif mereka. Pada beberapa kasus, perhatian dan keterlibatan orang tua biasanya dirasakan sangat minim oleh pelaku bullying. Bahkan, pelaku bullying mengalami kekerasan atau menyaksikan kekerasan di rumah sebagai hal yang biasa. Mereka kurang mendapatkan pengawasan orang tua, pendisiplinan yang tepat, aturan tidak diterapkan secara konsisten dan tegas.
Sebagai pencegahan dan penanganan perilaku bullying, dukungan keluarga sangat berperan penting. Suasana perasaan, relasi antara orangtua dan anak perlu dibenahi. Kebutuhan kasih sayang anak perlu dipenuhi dengan diimbangi ketegasan yang konsisten dalam menerapkan aturan. Memberikan penghargaan untuk perilaku anak yang baik dan konsekuensi untuk perilaku yang buruk (Wirawan, 2013).
Para korban bullying perlu dibantu mengatasi pengalaman yang membuat mereka trauma akibat bullying. Peran keluarga dan lingkungan terdekat sangat dibutuhkan. Harga diri mereka perlu dibangun kembali secara positif dengan penerimaan dan penghargaan yang tulus dari lingkungan terdekat. Perasaan berharga merupakan dasar perkembangan rasa percaya diri. Penelitian menunjukkan bahwa anak yang percaya diri dalam lingkungan sosial mampu menghadapi bullying. Sikap asertif (berkomunikasi dengan sikap tegas dan lugas) membuat mereka mampu bertahan dan melawan bullying, meskipun mereka mulanya dipandang sebagai anak yang lemah fisik. Untuk menghadapi bullying, mereka tidak perlu bertindak agresif secara fisik, tetapi mereka mampu bersikap untuk tidak menoleransi serangan. Dengan demikian, orang tua dapat membantu anak dengan mengembangkan keterampilan sosial dan melatih sikap asertif (Brooks, 2011).
Jika bullying terjadi di sekolah, orangtua dapat menghubungi sekolah untuk mengupayakan penanganan yang tepat. Sekolah harus melakukan pemantauan terhadap perilaku siswa. Penerapan disiplin positif di sekolah, yaitu suatu bentuk pendisiplinan murid tanpa menggunakan unsur kekerasan baik secara fisik maupun verbal. Kekerasan dalam disiplin dinilai tidak efektif dan bisa menimbulkan efek jangka panjang pada anak (UNICEF, 2020). Adanya komitmen dari seluruh warga di sekolah untuk menciptakan atmosfer saling mengasihi, menjaga keharmonisan satu sama lain, sependapat bahwa perilaku bullying merupakan perilaku yang tidak dapat ditoleransi dan pelaku mendapatkan konsekuensi yang membuatnya jera. Sekolah juga perlu mengadakan pelatihan keterampilan sosial, diskusi terbuka mengenai bullying, serta komunikasi orangtua dan guru.Â
Â
Referensi:
Aranditio, S. (2024). Kasus Perundungan di Sekolah Meningkat Selama 2023. Diambil dari  https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/12/31/kasus-perundungan-di-sekolah-semakin-meningkat-pada-2023
Brooks, Jane B. (2011). The Process of Parenting. Eighth Edition. New York, NY: McGraw-Hill.
Zuckerman, D (2016). Bullying Harms Victims And Perpetrators of All Ages. Diambil dari  https://www.chausa.org/docs/default-source/health-progress/bullying-harms-victims-and-perpetrators-of-all-ages.pdf?sfvrsn=2
UNICEF (2020). Perundungan di Indonesia. Diambil dari https://www.unicef.org/indonesia/media/5691/file/Fact%20Sheet%20Perkawinan%20Anak%20di%20Indonesia.pdf
Wirawan, H. (2013). Apakah itu Bullying?. Anakku, Buah Hatiku, 13, 41-44.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H