Rina dan Rino adalah anak kembar yang berusia 5 tahun. Mereka seringkali bersaing untuk mendapatkan perhatian orangtua. Saat bermain bersama, mereka sering berebutan, berdebat, dan bertengkar.
Pertengkaran yang bermula dari lisan berlanjut dengan fisik. Orangtua mempunyai persepsi bahwa Rina yang seringkali memulai pertengkaran dan memukul Rino. Rina dan Rino adalah gambaran relasi saudara kandung yang kita dapat temui dalam kehidupan sehari-hari.
Situasi tersebut mewarnai relasi keluarga yang memiliki dua anak atau lebih. Sejak terjadinya pandemi ini, kemungkinan saudara kandung terlibat dalam konflik dan persaingan semakin intens. Dimana semua anak-anak melakukan aktivitas di rumah.
Persaingan seringkali terjadi pada saudara kandung yang usianya hampir berdekatan sekitar 1 atau 2 tahun. Sedangkan perbedaan usia yang lebih jauh (di atas 4 tahun) lebih mungkin memiliki relasi yang positif. Persaingan dapat terjadi pada dua anak yang berjenis kelamin sama maupun berbeda.
Sejak usia 2 tahun, mereka berebutan mainan, berselisih, dan saling mengadu pada orangtua. Situasi tersebut akan meningkat hingga usia prasekolah. Sekitar kelas 4 dan 5, anak-anak dapat menjalin relasi lebih positif dengan saudara kandung. Mereka mengisi lebih banyak waktu dengan aktivitas yang menyenangkan daripada bertengkar. Alasan pertengkaran yang umum adalah saat anak mengalami suasana hati yang buruk, ingin membalas, melindungi milik dan area pribadi (Schroeder & Gordon, 2002).
Konflik kecil yang terjadi antara saudara kandung mempunyai sisi positif. Dalam proses tersebut anak dapat belajar bagaimana membela diri, memperjuangkan hak, mengekspresikan perasaan, dan keterampilan negosiasi. Perasaan kesal atau marah tersebut biasanya tidak bertahan lama. Setelah beberapa saat, mereka terlihat akur dan bermain kembali.
Pada umumnya, saudara kandung menunjukkan rasa suka dan setia satu sama lain. Persaingan antara saudara kandung dapat dipertimbangkan sebagai hal yang wajar jika terjadi dalam aktivitas tertentu, seperti permainan yang memacu anak-anak berusaha mengerjakan sesuatu dengan lebih cepat, tepat, serta menjadi yang terbaik. Di luar aktivitas tersebut, mereka tetap dapat berbagi kegembiraan dan kekecewaan.
Persaingan saudara kandung menjadi masalah yang serius apabila mereka mengungkapkan rasa permusuhan dan iri secara terbuka untuk merebut perhatian atau cinta orangtua, usaha menjegal saudara, dan sikap jahat yang disertai perasaan negatif yang berlebihan.
Anak juga mengalami masalah emosional yang ditampilkan dalam bentuk seperti gangguan tidur ataupun perkembangan anak mundur ke tahap sebelumnya. Bahkan terdapat anak-anak yang mengembangkan permusuhan atau sikap acuh tak acuh satu sama lain seumur hidup.
Kondisi ini membuat orangtua seringkali merasa kecewa karena suasana rumah menjadi kurang bahagia dan relasi yang kurang harmonis. Orangtua perlu menangani persaingan tersebut dengan serius dan melindungi anak-anak dari semua bentuk perilaku kekerasan satu sama lain yang bersifat verbal (berdebat, merendahkan, bertengkar tiada henti) maupun kekerasan fisik (berkelahi).
Apa penyebab terjadinya persaingan antara kakak dan adik?
Selain faktor usia, jenis kelamin, dan temperamen anak, tentunya relasi orangtua dan anak merupakan hal yang penting. Relasi orangtua dan anak yang negatif dihubungkan dengan relasi saudara kandung yang negatif dan sebaliknya.
Hal tersebut dapat terjadi pada orangtua yang mengembangkan favoritisme, yaitu lebih sayang, responsif, dan memperhatikan pada salah satu anak. Relasi saudara kandung menjadi negatif ketika salah satu anak merasa kurang dicintai dan diperhatikan oleh orangtua. Terkadang anak merasa marah pada orangtua yang kurang mencintainya, namun perasaan tersebut ditumpahkan pada saudara kandung.
Persepsi negatif orangtua pada salah satu anak dapat menjadi proteksi untuk anak yang lain. Seperti contoh di atas, orangtua menganggap bahwa Rina yang selalu memulai keributan. Respons otomatis, orangtua menegur Rina ketika mendengar mereka bertengkar. Akibatnya Rina merasa selalu disalahkan. Sedangkan Rino selalu mendapatkan pembelaan dan proteksi. Terdapat sejumlah kemungkinan penyebab pertengkaran adalah Rina merasa kesal karena Rino melanggar aturan permainan.
Persaingan semakin berkembang saat anak diberikan aktivitas yang lebih banyak menuntut mereka berkompetisi daripada kerja sama. Sebagai hasilnya, anak lebih dikondisikan untuk bersaing daripada saling membantu. Memberikan umpan balik (feedback) dengan cara membandingkan satu anak dengan yang lain dapat meningkatkan persaingan. Misalnya ayah berkomentar, “Kakak mewarnai gambar lebih rapi daripada adik.”
Seringnya membandingkan satu anak dengan anak yang lain akan membuat salah satu anak merasa rendah diri. Selain itu, orangtua membuka “celah” dimana anak belajar untuk memberikan komentar negatif pada saudaranya. Contoh: Ibu berkata pada kakak “Gambar adik tidak rapi ya”
Cara orangtua menangani sikap dan perilaku anak-anak juga penting dalam perkembangan relasi saudara kandung. Misalnya, adik mengadukan hal-hal kecil yang dilakukan kakak secara terus-menerus “Ma... kakak menumpahkan air”, “Ma... kakak melempar mainan”, “Ma.... kakak mengambil permenku”. Jika situasi tersebut direspons dengan kata-kata “Aduh kakak” tanpa mengetahui penyebabnya, maka perilaku mengadu adik semakin kuat dan membuat kakak merasa terganggu.
Prinsip yang paling mendasar adalah orangtua menjadi teladan sikap dan perilaku yang ingin ditampilkan anak-anak (Brooks, 2011). Orangtua yang sering mengalami konflik pernikahan terkait dengan meningkatnya relasi yang negatif antara anak. Hal tersebut membuka kemungkinan anak meniru perilaku orangtua menangani konflik, anak merasa gelisah karena menyaksikan konflik orangtua, dan konflik pernikahan memengaruhi interaksi orangtua dan anak.
Bagaimana cara meminimalkan persaingan antara kakak dan adik?
Beberapa cara di bawah ini dapat dikombinasikan dalam penerapannya.
- Menciptakan relasi yang membuat setiap anak merasa dicintai. Anak memiliki keunikan dan kemampuan masing-masing yang perlu dihargai. Anak yang merasa diterima dan dihargai akan tampil lebih percaya diri. Kondisi ini mendukung anak-anak belajar saling menghargai sesama anggota keluarga.
- Menyediakan perhatian dan waktu yang seimbang untuk semua anak, disertai dengan ungkapan kasih sayang secara personal.
- Aktivitas yang membangun nilai kerja sama dan kompetitif diberikan secara seimbang. Selain itu, anak-anak juga perlu mengembangkan sikap bersedia berbagi, bertanggung jawab menciptakan keharmonisan dan kesatuan keluarga.
- Memahami penyebab konflik dan membimbing anak belajar strategi penyelesaiannya, seperti kompromi atau rekonsiliasi. Ini merupakan cara yang lebih efektif daripada menanggapi anak yang suka mengadukan hal-hal kecil. Selain itu, mengajarkan strategi penyelesaian konflik dapat mencegah sikap proteksi yang berlebihan pada salah satu anak.
- Membimbing anak mengekspresikan kemarahan ataupun kekesalan secara langsung, tetapi tidak menggunakan cara yang agresif (berteriak, mengancam, memukul). Salah satu cara yang dapat diterapkan adalah mengekspresikan perasaan marah atau kesal melalui kata-kata. Misalnya, “Aku kesal karena adik meminjam pensilku tanpa ijin. Aku mau adik meminta ijin sebelum meminjam alat tulisku.”
- Berbagai cara yang disebutkan di atas, sebaiknya didukung dengan contoh sikap dan perilaku orangtua atau orang dewasa terdekat dalam berinteraksi dan menyelesaikan konflik sehari-hari.
Yuk.... kita bimbing anak-anak ikut serta membangun relasi yang harmonis dan keluarga yang bahagia.
Daftar Referensi
Schroeder, Carolyn S. & Gordon, Betty N. (2002). Assessment and Treatment of Childhood Problems (Second Edition). New York, NY: The Guilford Press.
Brooks, Jane B. (2011). The Process of Parenting. Eighth Edition. New York, NY: McGraw-Hill.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H