Mohon tunggu...
Trifena Oktavia Chuwiarco
Trifena Oktavia Chuwiarco Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta 2021

Halo! Saya Fena, anak bungsu yang sangat suka bakso Malang!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Antara Idealisme dan Adaptasi, Ini Tantangan Jurnalisme dengan Adanya Content Creator

25 November 2023   00:34 Diperbarui: 25 November 2023   00:40 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Content creator -- fenomena, kontemporer, dinamis. 

Setujukah Anda saat membaca 3 kata di atas yang menggambarkan makna content creator sebenarnya?

Profesi yang sangat bertaut dengan perubahan teknologi dan masifnya pengaruh internet bagi kehidupan kita. 

Content creator merupakan sebuah fenomena yang kita nikmati selama beberapa tahun belakangan ini. Sebuah profesi baru yang kita lihat seiring dengan berkembangnya media sosial seperti Instagram, Tiktok, bahkan Youtube. Mengapa aplikasi tersebut? Sebab, mereka memungkinkan penggunanya untuk menyalurkan kreativitas, kebebasan serta aspek ekspresif yang dimiliki. Selain itu, aplikasi tersebut pun dapat menjadi medium penyaluran hobi dan eksistensi diri (Paramesti, 2021, h. 140). Jika melihat ke belakang, terdapat banyak nama yang keluar saat mendengar content creator. Mulai dari Atta Halilintar, Rachel Vennya, Anya Geraldine dan masih banyak lagi. 

Jika ditelusuri lebih dalam, beberapa tahun ke belakang, profesi ini kian naik disebabkan oleh semakin masifnya penggunaan teknologi. Semakin tahun, pengguna smartphone hingga media sosial kian membludak. Selain itu, adanya fitur iklan, adsense, hingga endorsement membuat content creator terbilang mudah menghasilkan uang dalam jumlah yang banyak. 

Membahas tentang content creator tentu tidak akan terlepas dari adanya perubahan konsumsi informasi yang dilakukan oleh masyarakat. Dulu, masyarakat hanya bisa mengakses informasi yang dapat dipastikan validitasnya di televisi, koran dan majalah. Namun sekarang, dengan masifnya perubahan teknologi dan adanya kemunculan content creator, masyarakat kini berubah. Saat ini, masyarakat tinggal membuka berbagai aplikasi media sosial untuk mendapatkan informasi dengan menonton video ter-update dari akun manapun. 

Apakah hal tersebut selamanya positif? Tentu tidak. 

Apakah hal tersebut berpengaruh pada dunia jurnalistik? Tentu iya. 

Sumber: Pixabay.com
Sumber: Pixabay.com

Yang Dulu Semakin Luruh

Sebagai ilmu yang berfokus pada penyampaian informasi kepada khalayak, jurnalistik tentu sangat bersinggungan dengan fenomena content creator. Hal ini terbukti dari data oleh Pusparisa (2021) tentang menurunnya penggunan media konvensional. 

Data yang diambil pada semester I 20219 hingga semester I 2020 ini menampilkan adanya penurunan penonton televisi, pendengar radio, pembaca koran, dan pembaca majalah. Sebelumnya, penonton televisi di Indonesia masih menduduki angka 93,3%, tetapi setahun berikutnya malah menurun menjadi 90,7%. Selanjutnya, pembaca majalah sebelumnya adalah 51,3% kemudian menjadi 44,4% pada semester II 2020. Diketahui pula, bahwa penurunan pengguna media konvensional ini sejalan dengan semakin meningkatnya pemakaian smartphone, laptop dan media sosial pada masa itu. 

Data tersebut pun didukung oleh data oleh Bayu (2020) yang menunjukkan bahwa 84% responden mendapatkan berita dari media sosial. Angka ini hanya berbeda 1% dari sumber utama mengakses berita, yaitu portal berita sebanyak 85%.

Dari hal tersebut, dapat diketahui bahwa masyarakat khususnya anak muda, hidup berdampingan dengan media sosial. Maka dari itu, media pun harus beradaptasi dengan hal ini. Karena jika tidak, media akan semakin terkikis, bahkan kehilangan audiens. 

Tantangan Bagi Jurnalistik

Jika menilik lebih dalam, content creator memiliki satu nilai penting yang menjadi tantangan cukup besar bagi para jurnalis yaitu kecepatan. Sebagai independen yang bebas mengunggah apa saja di media sosial, content creator dapat memaksimalkan engagement yang diperoleh hanya dari kecepatan yang dimilikinya. 

Sementara, para jurnalis tidak dapat berlaku demikian. Jurnalis yang berkompetisi dengan content creator diberbagai platform tidak mungkin mampu bersaing. Hal ini dikarenakan banyaknya layer proses yang harus dilalui oleh jurnalis. Salah satunya adalah melakukan pengecekan oleh pimpinan redaksi dan lain sebagainya. 

Adaptasi Sana Sini

Dikutip dari Pandrianto (2022, h. 35), jurnalis saat ini perlu melakukan banyak penyesuaian dengan hadirnya content creator. Mengingat konsep profesi content creator yang mengandalkan video sebagai produknya, jurnalis pun tidak boleh luput dari hal tersebut. Menurut Pandrianto, dkk. (2022, h. 34), jurnalis perlu mempunyai skill menulis dan mengambil gambar atau video. 

Tentu ini bukanlah hal yang mudah. Mengingat sejak dulu, pembagian kerja dalam pertelevisian telah memiliki porsinya masing-masing. Saat turun melakukan liputan, porsi tiap orang berbeda-beda. Ada yang menjadi cameraman, reporter, hingga editor. Namun saat ini, telah berbeda. Demi menuntut kecepatan, para jurnalis bahkan dilatih untuk menjadi video journalist (VJ) agar dapat menyesuaikan dengan zaman.

Nilai Berita Sebagai Tumpuan

Lalu, bagaimana media mampu bertahan dengan fenomena ini?

Jawabannya, menjunjung tinggi pada kode etik jurnalisme. 

Dikutip dari Pandrianto (2022, h. 37), jurnalis masa kini perlu tetap memiliki semangat dan idealisme terkait kode etik jurnalisme. Sebab, inilah satu-satunya hal yang dapat memberikan perbedaan dengan jelas, antara content creator dan jurnalis. 

Jurnalis sebagai yang telah menekuni bidang pemberitaan akan senantiasa melakukan pemenuhan kaidah jurnalisme, dengan berimbang, tidak memihak, faktual, memiliki manfaat hingga mengedepankan solusi daripada sensasi.

Perbedaan inilah yang harus dipegang erat oleh jurnalis agar tetap bisa bersaing. Sebab tanpa hal tersebut, jurnalis hanya akan menjadi sebagai profesi yang tenggelam seiring dengan semakin majunya perkembangan teknologi. 

Akhirnya, content creator bak malang yang tak dapat ditolak bagi jurnalis. Fenomena konsumsi informasi masyarakat yang bergeser menjadi aspek visual pun tak bisa dielakkan. Kini pilihan besar bagi para jurnalis dan penulis lainnya untuk mampu beradaptasi dengan perubahan yang ada, demi bertahannya media di zaman ini.

Sumber: 

Bayu, D J. (2020). Media Daring Jadi Sumber Berita Utama Generasi Muda. Databoks Katadata.co.id. Diakses dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/12/17/media-daring-jadi-sumber-berita-utama-generasi-muda 

Pandrianto, N., dkk. (2022). Budaya Pop Komunikasi dan Masyarakat. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 

Paramesti, E. M., Alamiyah, S. S., & Cahayani, F. Y. (2021). Trend Peralihan Artis Televisi Menjadi Youtube Content Creator. Jurnal Ilmu Komunikasi, 11(2), 139-152.

Pusparisa, Y. (2021). Media Konvensional di Indonesia Menuju Senjakala. Databoks Katadata.co.id. Diakses dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/02/01/media-konvensional-di-indonesia-menuju-senjakala. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun