Mohon tunggu...
Trifena Oktavia Chuwiarco
Trifena Oktavia Chuwiarco Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta 2021

Halo! Saya Fena, anak bungsu yang sangat suka bakso Malang!

Selanjutnya

Tutup

Film

Menilik Masa Lampau, Sejarah Film Horor Indonesia

17 September 2023   19:53 Diperbarui: 17 September 2023   19:55 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Film KKN di Desa Penari, Sumber: Suara.com

Siapa yang tidak kenal dengan aktris sekaligus model satu ini? Luna Maya namanya. Belakangan ini, namanya cukup banyak dibicarakan perihal perannya dalam film Horor Indonesia bertajuk Suzanna: Malam Jumat Kliwon. 

Namun sebenarnya, apakah Anda sudah mengetahui bagaimana sejarah Film Horor di Indonesia? Mari simak artikel ini selengkapnya. 

Film adalah sebuah produk komunikasi yang menyampaikan pesan untuk berkomunikasi dengan audiens, dengan medium yang beragam (Astuti, 2022). Film sebagai gambar bergerak pun memiliki perjalanan panjang dalam perkembangannya di Indonesia. Mulai dari gambar bergerak yang dikenal dalam bentuk wayang kulit, munculnya bioskop pada 1910, Usmar Ismail sebagai Bapak Perfilman Indonesia hingga munculnya teknologi dan digitalisasi yang membuat kita sampai ke titik saat ini.

Salah satu genre film yang cukup digemari oleh masyarakat Indonesia serta memiliki sejarah panjang adalah genre Horror. Dari masa ke masa, terdapat perubahan dan perkembangan film Horor yang cukup pesat, seperti tokoh pemeran, jenis dan tema cerita, penggunakan sound effect serta berbagai media penayangan (Setiawan & Halim, 2022, h. 23). 

Dalam perjalanannya, film horor pertama di dunia diproduksi tahun 1896 oleh Georges Melies berjudul Le Manoir du diable alias Istana berhantu. Film yang berdurasi kurang dari 3 menit ini menceritakan adanya pertemuan setan dan makhluk jadi-jadian. Selanjutnya, di Indonesia, film genre horor pertama kali diproduksi pada 1934 oleh The Teng Cun dengan judul Doea Siloeman Oeler Poeti en Item. Film ini mengangkat cerita klasik Tiongkok yang terkenal karena menggunakan trik fotografi seperti benda yang bisa terbang, orang bisa berubah menjadi hewan, serta menghilang (Lutfi, 2013, h. 183). Kemudian, pada masa pasca kemerdekaan (1950-1960), produksi film horror tidak lagi dilakukan karena tema yang menjadi fokus adalah perjuangan kemerdekaan Indonesia atau anti kolonial. Di masa ini pula, kontrol pemerintah Orde Baru terhadap film horor semakin ditegakkan dari adanya Kode Etik Produksi Film Indonesia 1981 yang memaksa sineas memasukkan nilai-nilai Pancasila. 

Film Horor Pertama Indonesia

Film tersebut berjudul Lisa (1971) yang disutradarai oleh M Syarifuddin. (Kurniawan, 2023). Lisa (1971) bercerita tentang seorang psikopat, yakni Ibu tiri yang meminta pembunuh bayaran untuk membunuh anak tirinya, yang kemudian dihantui atas perbuatannya. Lalu, ditahun yang sama PT. Tidar Jaya pun memproduksi film Horor paling legendaris berjudul Beranak dalam Kubur dengan sutradara Awaludin dan Ali Shahab, serta Suzanna sebagai bintang utama. Film ini pun akhirnya sukses dengan mendapat keuntungan Rp 72 juta dengan biaya pembuatannya berkisar antara Rp 25 juta sampai Rp 35 juta (Lutfi, 2013). 

Poster Film Lisa (1971), Sumber: Jadul Tapi Lawas
Poster Film Lisa (1971), Sumber: Jadul Tapi Lawas

Sejak film tersebut viral, film-film horor pun makin sering diproduksi. Tercatat, ada 22 judul film horor yang berhasil diproduksi selama 1972-1980 (Lutfi, 2013). Pada masa ini pun, nama Suzanna sebagai aktris Horor pun semakin melambung dan sering dibicarakan. Berlanjut ke tahun 1980 hingga 1991, produksi film Horor meningkat hingga 84 judul. Terkhusus tahun 1988, mencetak paling banyak film horor (dikenal sebagai tahun subur) dengan 19 judul.

Adanya peningkatan drastis dari jumlah produksi film horor ini tentu tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang sudah mengurangi kuota film impor yang masuk ke Indonesia. Selain itu, film horor kala itu dianggap berhasil menarasikan kepercayaan masyarakat terhadap hal gaib sesuai dengan kondisi yang terjadi (Setyaningsih, 2023, h. 63). Kemudian, setiap tahun dari 1981 hingga 1989, film yang diperankan oleh Suzanna masuk ke jajaran Top Five Box Office bioskop di Jakarta (Lutfi, 2013). Kesuksesannya pun ternyata diakhiri pada 2007 setelah menyelesaikan film terakhirnya, Ajian Ratu Laut Kidul.

Dari masa kejayaan film horor dan Suzanna, terdapat sisi kelam perjalanan film horor yang telah dilalui, khususnya pada tahun 1990-an. Di masa itu, film horor Indonesia hanya bersifat statis dan tidak punya terobosan baru. Pornografi yang ditonjolkan pun signifikan, terutama dalam eksploitasi tubuh seorang perempuan. Hal ini pun sejalan dengan lunturnya kepercayaan Indonesia terhadap dunia mistik karena arus globalisasi yang menguat (sudah ada barang elektronik seperti televisi). 

Alur Cerita dari Masa ke Masa

Jika menilik lebih dalam, terdapat perkembangan alur dan latar cerita dari film horor. Sebelum tahun 1990-an saat Suzanna berada di puncak kejayaannya, banyak film yang bertemakan hal-hal mistik, seperti cerita legenda, dukun, ratu dan nyi, dan lain sebagainya. Latar ceritanya pun di masyarakat pedesaan yang masih sangat percaya dengan takhayul. Lalu setelah adanya televisi, latar cerita bergeser ke masyarakat urban legend yang berlanjut hingga ke masa sekarang.

Selama Pandemi Covid-19

Adanya wabah virus tidak mengurangi antusiasme penonton menikmati horor. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah semakin berkembang, sarana menonton film pun juga semakin bertambah dengan adanya streaming dan over the top (OTT). Salah satu contoh nyatanya adalah capaian box office film KKN di Desa Penari (2022) yang ditayangkan di bioskop pasca pandemi (Setyaningsih, 2023, h. 60).

Poster Film KKN di Desa Penari, Sumber: Suara.com
Poster Film KKN di Desa Penari, Sumber: Suara.com

Lalu, mengapa film Horor masih tetap berjaya sampai sekarang?

Kepercayaan akan hal mistis (Setiawan & Halim, 2022, h. 31). Walaupun sudah masuk ke zaman modern, masyarakat Indonesia tetap percaya dengan hal-hal mistis. Hal ini memungkinkan mudahnya penerimaan terhadap hal irasional yang biasanya ditayangkan dalam film, contohnya adalah anggapan Jumat Kliwon adalah hari yang mistis. Padahal, pemahaman tentang dampak dan pengaruh buruk film horor yang kurang pas seharusnya menjadi hal penting yang perlu diperhatikan oleh para sineas. Dari hal tersebut, diharapkan akan ada tayangan yang bermakna dan tersampaikan kesakralannya kepada audiens. 

Daftar Pustaka

Astuti, R.A. V. N.P. (2022). Buku Ajar Filologi Kajian Film. UNY Press.

Kurniawan, Y. (2023). Mistikasi dalam Urban Legend: Film Horor di Indonesia Pasca Orde Baru. Jurnal Ceteris Paribus: Jurnal Sejarah dan Humaniora, 2(1).

Lutfi, M. (2013). Perkembangan Film Horor Indonesia Tahun 1981-1991. Jurnal Avatara, 1.

Setiawan, E., & Halim, C. (2022). Perkembangan Film Horor Di Indonesia Tahun 1990-2010. Jurnal Sejarah Kebudayaan, 27(1).

Setyaningsih, T. W. (2023). Rekreasi Ketakutan: Sebuah Kajian Menonton Film Horor Di Masa Pasca Pandemi. Jurnal IMAJI: FIlm, Fotografi, Televisi, dan Media Baru, 14(1).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun