Mohon tunggu...
Trifena Krista MS
Trifena Krista MS Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mahasiswa Biologi UI

Mahasiswa departemen Biologi Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Mengenal Biota Laut: Physalia Physalis, Si Diam yang Berbahaya

21 Desember 2020   16:22 Diperbarui: 21 Desember 2020   23:58 1137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 4. Sel Knidosit Physalia physalis (Montgomery dkk. 2016: 3).

Yang diam dan terombang-ambing belum tentu aman, lho! Seperti si Physalia physalis ini!

Physalia physalis merupakan hewan unik anggota ordo Sifonofora dari kelas Hidrozoa. Meskipun terlihat seperti 1 hewan utuh, P. physalis merupakan koloni polip uniseksual yang terdiri dari polip jenis pneumatophore untuk bagian mengambang (float), dactylozooids pada tentakel, gastrozooids untuk feeding, dan gonozooids untuk memproduksi gamet saat reproduksi. 

Setiap individu bekerja dengan memanfaatkan tekanan hidrostatis dan osmosis dengan bantuan sel sensori yang terletak pada bagian epidermis tentakel dan bagian mulut. Sel sensori tersebut berespon pada suhu dan sentuhan.

Gambar 2. Keterangan bagian tubuh Physalia physalis (Munro dkk. 2019: 2)
Gambar 2. Keterangan bagian tubuh Physalia physalis (Munro dkk. 2019: 2)

Gambar 3. Bagian tubuh Physalia physalis (Munro dkk. 2019: 2).
Gambar 3. Bagian tubuh Physalia physalis (Munro dkk. 2019: 2).
Bentuk P. physalis secara umum memiliki simetri radial dan biasanya mengambang secara datar pada permukaan air. Meskipun ordo Sifonofora merupakan ordo yang paling maju di dalam kelas Hidrozoa, bagian medusa dan polip pada P. physalis belum sepenuhnya berdiferensiasi. 

Oleh karena itu, dapat disimpulkan menurut urutan evolusi bahwa P. physalis merupakan bentuk primitif dari ordo Sifonofora. Hal tersebut mengakibatkan rendahnya kecepatan regenerasi bagian tubuh P. physalis. Selain itu, P. physalis juga bersifat ektotermik dan heterotermik karena suhu tubuhnya bergantung pada lingkungan.

Ketergantungan P. physalis pada lingkungan membuat habitat hewan tersebut cukup spesifik. P. physalis biasa ditemukan pada permukaan lautan yang hangat, yaitu pada daerah tropis atau sub-tropis. Secara geografis, P. physalis ditemukan pada samudra Atlantik, samudra Pasifik, samudra Hindia, kepulauan Karibia, dan laut Sargasso.

Tidak hanya habitat, kebiasaan P. physalis juga berkait dengan ketergantungan hewan tersebut terhadap lingkungan. Lokomotif atau pergerakan hewan tersebut pasif dan bergantung pada angin dan arus air. 

Koloni P. physalis tidak dapat berenang, tetapi bergantung pada float untuk mengambang. Float merupakan kantung yang agak panjang, yang berisi udara, dibentuk dari pneumatophore yang bertumbuh membentuk kantung tertutup. 

Arah bentuk kantung pada setiap P. physalis dapat berbeda, sebagian menghadap ke kanan (right-sided), sebagian menghadap ke kiri (left-sided). P. physalis right-sided membengkok 45˚ ke kiri dari arah angin. 

Sebaliknya, P. physalis left-sided membengkok 45˚ ke kanan dari arah angin. Perbedaan tersebut akan mempengaruhi persebaran P. physalis ke macam-macam perairan hangat.

Oleh karena ketidakmampuan Physalia physalis untuk berenang, hewan tersebut menangkap mangsanya dengan menjebak mangsa pada tentakelnya yang memiliki sel knidosit. P. physalis memangsa ikan yang masih muda, udang-udangan, krustasea lainnya, dan hewan-hewan kecil seperti plankton.

Namun, tentakel P. physalis (dactylozooids) berperan penting dalam menjebak ikan yang lebih besar seperti makarel. Panjang tentakel hewan tersebut dapat mencapai 50 meter. 

Mangsa yang ditangkap dicerna secara enzimatis pada gastrozooids, yaitu bagian perut yang terletak di bagian bawah float. Setiap P. physalis memiliki beberapa gastrozooids dengan beberapa mulut. Nutrisi yang didapat disirkulasikan ke bagian tubuh lainnya, sedangkan bagian mangsa yang tidak dapat dicerna dibuang melalui mulut.

P. physalis bereproduksi dengan bantuan gonozooids. Setiap individu memiliki gonozooids yang memiliki gonophore berisi produsen gamet (betina atau jantan). Oleh karena itu, P. physalis merupakan hewan dioecious (hewan berumah dua). 

Pada proses fertilisasi, gonozooid dilepaskan dari koloni. Pelepasan gonozooid tersebut merupakan respon kimia ketika terdapat beberapa P. physalis pada satu tempat yang sama. Fertilisasi terjadi dekat permukaan air dan bergantung pada kepadatan gonozooid yang dilepaskan, karena pertemuan gamet jantan dan betina bergantung pada arus air. Musim kawin biasanya terjadi pada musim gugur.

Sejauh ini, sepertinya P. physalis merupakan hewan yang tidak memiliki kekuatan. Toh, hanya bergantung pada arus, kan? Namun, hewan tersebut sangat berbahaya bagi manusia. 

Tentakelnya yang panjang dapat mengenai penyelam atau perenang yang terlalu dekat. Seperti ubur-ubur, P. physalis mendapatkan makanannya dengan menggunakan racun yang terdapat pada tentakelnya. “Racun” tersebut diproduksi pada 2 ukuran sel knidosit; besar dan kecil. 

Sel-sel tersebut juga memiliki daya tahan yang kuat bahkan setelah terlepas dari koloni dan menempel di tubuh korban. Selain itu, racun yang dilepaskan merupakan toksin dengan berat molekular yang tinggi, yang dapat merusak sel neuron dan sel darah. Oleh karena itu, korban tentakel P. physalis bisa meninggal apabila tidak ditangani dengan benar.

Gambar 4. Sel Knidosit Physalia physalis (Montgomery dkk. 2016: 3).
Gambar 4. Sel Knidosit Physalia physalis (Montgomery dkk. 2016: 3).
Yang tidak memiliki kekuatan belum tentu lemah, dan yang tidak bergerak belum tentu aman. Penulis harap, melalui tulisan ini pembaca dapat semakin mengenal Physalia physalis. Penulis akan menutup tulisan ini dengan sebuah kutipan dari Albert Einstein:

“Never regard study as a duty but as an enviable opportunity to learn to know the liberating influence of beauty in the realm of the spirit for your own personal joy and to the profit of the community to which your later works belong."

DAFTAR ACUAN

Kennedy & S. Frank Jr. 1972. Distribution and Abundance of Physalia in Florida Waters. Professional Paper Series Florida Department of Natural Resources Marine Research Laboratory (18): 30-37.

Kurlansky, M. B. 2020. Physalia physalis Portuguese man-of-war. 1 hlm. https://animaldiversity.org/accounts/Physalia_physalis/, diakses pada 13 Desember 2020 pkl. 15.41 WIB.

Mancini, M. 2018. 10 Facts about the Portuguese Man o’ War. 1 hlm. https://www.mentalfloss.com/article/550892/facts-about-portuguese-man-o-war, diakses pada 14 Desember 2020, pkl. 15.32 WIB.

Montgomery, L., J Seys, & J. Mess. 2016. To Pee, or Not to Pee: A Review on Envenomation and Treatment in European Jellyfish Species. Marine Drugs 2016(14): 1-21.

Munro, C., Z. Vue, R. R. Behringer, & C. W. Dunn. 2019. Morphology and development of the Portuguese man of war, Physalia physalis. Scientific Reports 2019(9): 1-12.

Tamkun, M. M., & D. A. Hessinger. 1981. Isolation and partial characterization of a hemolytic and toxic protein from the nematocyst venom of the Portuguese Man-of-War, Physalia physalis. Biochimica et Biophysica Acta (BBA)-Protein Structure 667(1): 87—98.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun