Berikutnya apa yang sebenarnya terjadi ketika Tuhan menghardik salah seorang muridNya sebagai batu sandungan? Â "Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia."
Rupanya bagi Tuhan setiap orang yang hanya berpikir menggunakan otak manusianya dan tidak mau menggunakan hatinya untuk mengetahui kehendak BapaNya adalah batu sandungan. Batu sandungan bagi Tuhan. Bahkan lebih jauh Tuhan menambahkan. 'Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.' Gampang? Sulit? Yang bilang gampang pasti sedang berdusta, yang bilang sulit pasti karena tidak mau berusaha.
Kemudian apa yang sebenarnya terjadi ketika Tuhan mau berkompromi dan memberi contoh agar tidak menjadi batu sandungan.
Suatu ketika Petrus ditanya oleh petugas pemungut cukai apakah Tuhan membayar cukai yang besarnya dua dirham. Petrus menjawab 'memang membayar'. Petrus memang dikenal murid yang berani tapi ngawur. Rasanya Tuhan belum pernah membayar cukai karena Dia memang bukan orang asing.
Ketika Petrus kembali ke rumahnya, Tuhan mendahului bertanya: 'Apakah pendapatmu, Simon? Dari siapakah raja-raja dunia ini memungut bea dan pajak? Dari rakyatnya atau dari orang asing?' Jawab Petrus: "Dari orang asing!" Maka kata Tuhan kepadanya: "Jadi bebaslah rakyatnya. Tetapi supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka, pergilah memancing ke danau. Dan ikan pertama yang kaupancing, tangkaplah dan bukalah mulutnya, maka engkau akan menemukan mata uang empat dirham di dalamnya. Ambillah itu dan bayarkanlah kepada mereka, bagi-Ku dan bagimu juga."
Itulah tentang batu sandungan dan Tuhan. Tuhan sendiri batu sandungan, mengatai muridNya sebagai batu sandungan, tetapi juga memberi teladan agar mau berkompromi agar tidak menjadi sandungan.
Kasidi sendiri ketika ditanya tentang ini, setelah berpikir dengan kening berkerut, menjawab lirih.
Aku ini menjadi batu sandungan bagi sejumlah orang, tidak pernah mengatai orang lain sebagai batu sandungan, dan sering juga berkompromi agar tidak menjadi sandungan jika masalahnya memang tidak penting. Hanya saja jika masalahnya penting dan tentang Tuhan dan SabdaNya, semua orang boleh menyebut aku batu sandungan, seinci pun tidak akan bergeser. Jika harus dianggap menjadi batu sandungan, jika harus dianggap menjadi penghambat dan penghalang karena harus menyuarakan kebenaran Saba Tuhan, sama sekali tidak masalah karena Sabda Tuhan dan Tuhan sendiri memang harus terus diwartakan dan diberitakan. Salam batu sandungan. (Kasidi 609 -- tbs/sda/14082023)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H