Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Essi Nomor 377: Seruan Rabu Abu

1 Maret 2022   14:03 Diperbarui: 1 Maret 2022   14:12 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Essi 377 - Seruan Rabu Abu

Ditingkah oleh cetar halilintar, awan gelap kelabu
Menaungi bumi persada, meneropang buluh rindu
Membahanakan sesayat lembut jantung hati kalbu
Yang dulu pernah laksana genderang bertalu-talu,
Ditabuh tatkala kerinduan mencapai puncak batu,
Mengabarkan lelatu sisa hebatnya tumpukan abu,
Yang sempat membara walau kemudian juga beku.
Engkau yang diutus memacu gemertak nada rindu
Sang Mahapenentu bagi kaum-kaum berlidah kelu
Dengan mantap menatap ke kota bertembok batu,
Lalu dengan tegar masuk di antara orang berseru,
Karena memang itulah, yang diyakini paling perlu.

Kemudian laksana drama yang alur sudah ditentu,
Bagian demi bagian yang terserak mulai menyatu.
Ajaran serta sabda terus disampaikan bertalu-talu
Guna mencairkan otak beku serta lidah-lidah kelu
Guna nanti tak hanya wartakan dengan menggebu
Tetapi juga jadi teladan yang ucap gerak menyatu.
Hijau daun melambai-lambai, puja-puji Yang Satu,
Karena berani masuk ke kota batu, benci menyatu,
Walau karena ini banyak juga yang asalnya kelabu
Berubah gemerlap diterangi sinar mentari penyatu.
Begitulah sang Teladan tetap masuk ke kota hantu
Tempat dendam dan benci jadi hantu berhati buntu
Yang menabuh genderang benci tanpa jeda waktu.

Seruannya sendiri ya sederhana ibarat buah jambu,
Tidak perlu dikupas setiap orang tentu paham tahu.
Intinya cumalah diminta menyesal lalu bertobat lalu
Percaya, lalu ya percaya, lalu ya percaya, cuma itu.
Percaya pada siapa? Ya pada Dia sebagai penentu
Apakah seseorang itu layak atau tidak cepat melaju
Menuju tempat abadi bak janji yang lama membeku
Yang mencair kembali, lalu deras ia melaju ke hulu.
Untuk total percaya ya perlu menyesal lebih dahulu
Lalu setelah itu barulah bertobat, total percaya, lalu
Ya berbuat seperti yang diajarkan, lalu diulang dulu
Jika ternyata tetap gagal jalankan perintah penentu.

Laksana mantra purba menerobos pintu-pintu beku,
Yang diujar tatkala abu ditoreh di dahi kerut seribu,
Lafal mantra 'Bertobatlah dan percayalah' menderu
Melibas semua penghalang onak duri hati-hati biru,
Menirap sejenak sebelum kembali datang menyerbu      
Tautan seruan purba 'kepada Injil' tempat SabdaMu
Abadi, mengingatkan semua insan betapa ini perlu,
Bahkan sangat perlu, jika keselamatan jiwa dirindu.
Lalu memang tak boleh terpaku hanya sampai di situ
Karena bukan itu ini makna mantra abadi diseru-seru.
Semua yang tobat serta percaya haruslah terus maju
Melangkah dobrak penghalang dengan tak jemu-jemu
Melaksanakan perintah, mengasihi manusia berdebu,
Yang harus mau kais sisa, kaum borju berdarah biru.

Mentari cerah, bintang gemerlap, langit tetap syahdu
Sementara hati yang rindu entah nanti, kini atau dulu
Tetap saja amat merindu bulir-bulir bernas kekasihku,
Yang sabar menunggu di balik kelambu ranjang kayu.
Waktu memang terus berlalu tapi yang mengharubiru
Terus saja berjalan lambat-lambat, seperti tidak tahu
Betapa hati sering tersayat pilu mengingat masa lalu
Yang kadang tetap sendu walau rasa semanis madu.
Lalu kenangan tahun lalu ketika lirih khidmat berseru
Sambil toreh abu, hasil bakaran di dahi seputih salju.
Semua seru memang melayang tembus ruang waktu
Tetapi selalu kembali, sepertinya tidak yakin jika aku
Sang penyeru ini paham benar apa itu harapan baru.

Yah mungkin saja itu kondisinya, walau rajin berseru
Tapi menjalankan apa yang sudah baku masih keliru.
Diminta membuka segala pintu malahan diganjal batu.
Diminta layani semua yang berseru ... malah cari kutu.
Diminta kuning beri biru, diminta hening kok menderu.
Itulah kita, manusia lemah terlalu sering injak beludru.
Ketika onak duri menghalang menangis tersedu-sedu.
Jangankan bergerak maju, kaki tergores sedikit, linu.
Lalu inikah pelayan yang naik pangkat ke langit biru?
Bahkan kemudian dijadikan sahabat Sang Mahaguru?
Ayo jangan bikin malu, aneh kalau kalah sama hantu.
Sahabat sejati itu ya siap apapun kondisi di masa lalu,
Di masa kini, juga di masa nanti, selalu siap berjibaku
Melawan bukan orang lain tapi diri sendiri yang benalu
Gemar bikin malu, rendah ibarat perdu, iblis berhantu,
Pendek kata seperti gagang tak bersapu, susah selalu
Jika dipakai menyapu ... dan ini beda dengan kue bolu,
Tampangnya ya, aroma harum, empuk bagi gigi, selalu
Nyaman dan mengundang selera, he he he ... kue bolu.

Mentega gaharu, resep ibu pengganti adonan kue bolu.
Semoga Rabu Abu selalu menjadi pengingat hati rindu.
Sayur tomat buah pepaya, makan salak dan buah duku
Ayo tobat ayo percaya, agar layak jiwa ini dibukai pintu.
Nasi kebuli nasi beraroma, lauk dada dipanggang madu.
Peduli sesama peduli yang hina, itu sabda paling perlu.
Selamat Rabu Abu semoga ke Tuhan hati selalu tertuju.

Dr. Tri Budhi Sastrio -- XZSS28022017 -- 087853451949 - Essi no. 377

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun