Essi 211 -- Yang Diam Tidak Berbicara Akhirnya Berjaya
Tri Budhi Sastrio
Ya, dia yang diberi nasehat untuk diam tidak berbicara
   akhirnya berjaya.
Berjaya dalam dunia sastra tingkat dunia, dunia yang
   tawarkan tak hanya
Perisai bagi martabat dan harga diri manusia, tetapi
   juga harkat nan mulia.
Kalau dunia galau, resah, dan gelisah, sastra pasti
   mampu mengubahnya.
Jika dunia berduka, sedih dan tanpa harapan, sastra
   berdiri di sisi manusia.
Manakala dunia kejam, bengis, tidak kenal kasihan,
   sastra menghibur jiwa.
Tatkala dunia korup, sastra membersihkan dan
   kembali memurnikannya.
Bahkan tatkala dunia membungkam semua mulut,
   nurani, hati dan sukma,
Sastra dengan sukacita menyuarakan semuanya,
   sastra itu bisa apa saja.
Ya bisa apa saja ... mulai dari membuat roti sampai
   memintal kain sutra,
Mulai dari melahirkan dan menyiapkan para pangeran
   dan putra mahkota,
Sampai dengan menghantarkan mereka semua ketika
   telah tiba masanya.
Lahir, tumbuh, besar, berkarya membangun dunia,
   pokoknya semuanya,
Karya sastra pasti selalu ada di tempat paling dekat
   hati dan jiwa manusia.
Dunia memang bisa berjalan, tumbuh dan gerakan
   semua roda-rodanya
Walau andaikata sastra tidak ada, tetapi itu gerakan
   fisika dan mekanika,
Bukan gerakan jiwa, bukan gerakan rasa, dan ...
   tanpa jiwa - tanpa rasa,
Pastilah itu bukan dunia yang didamba oleh manusia
   dan peradabannya.
Singkat kata sastra harus ada, seperti juga jiwa,
   jika ingin hidup bahagia.
Sastra itu bagian dari peradaban dan manusianya,
   jadi ... ya harus ada!
Walau pada mulanya karya sastra memang tidak
   dianggap cukup berharga,
Dibandingkan ilmu-ilmu lainnya kala itu eh ... yang
   satu ini diabai begitu saja.
Seiring perjalanan waktu, ketika guratan pena tinta l
   ahirkan kata dan makna,
Dan dunia modern pun harus rela mengakui
   keberadaan dan eksistensinya,
Tiba juga masa yang satu ini purna, guna bersanding
   dengan para koleganya.
Dan semakin semaraklah dunia ilmu manakala para
   perajut kata dan makna,
Diundang naik ke pentas karena telah dengan piawai
   suarakan gelora sukma.
Bravo Sastra ... engkau pun sekarang menjadi bagian
   prima di pentas dunia.
Dan sekarang - kala nakula bumi tunggal sadewa --
   perajut kata dari Cina,
Yang pernah pada masanya dipaksa tidak banyak
   bicara jika tak ingin sirna,
Tampil ke pentas dunia bawa pita jawara pemintal
   dawai sabda para dewa.
Dia anak petani sederhana, pernah menjadi tentara,
   sebelum dia dipercaya
Menjadi dosen pengajar sastra walau di akademi militer
   tentara merah Cina.
Hujan Turun Di Malam Musim Semi jadi judul rajutan
   kata prosa perdananya.
Tetapi tentu bukan ini novel pertama yang membawa
   sang empu tidak bicara
Naik ke pentas dunia dan namanya menjadi buah
   bibir bahkan juga di Cina,
Negara yang memaksa dia memakai nama pena
   diam tidak bicara apa-apa.
Adalah novel keduanya, yang mendaulat Gong Li
   pada versi layar peraknya,
Ya itulah Kaoliang Jiu  -- arak putih -  arak putih
   yang bisa memabukkan jiwa,
Memang putih warna araknya, tapi merah warna
   sorgum yang jadi bahannya.
Sang perajut kata yang diam tidak bicara meyakinkan
   para juri nobel di sana
Bahwa pada kala nakula bumi tunggal sadewa
   tepatlah kiranya jika si dianya
Yang diijinkan naik ke atas pentas untuk pamerkan
   ke seluruh dunia bahwa
Dalam diam tanpa kata dan bicara, untaian indah
   makna tetap dapat berjaya.
Alkisah seorang gadis desa muda dinikahkan dengan
   pria tua penderita lepra.
Pria pemilik penyuingan arak nyatanya tak hidup
   terlalu lama, misteri matinya.
Sang janda muda mewarisi segalanya, termasuk
   kenangan malam pertama
Di ladang sorghum dengan pria yang
   menyelamatkannya dari mara bahaya.
Singkat kata dan cerita -- antara bumbu adonan fiksi
   fantasi dan dunia nyata,
Alur cerita bergulir sampai masuk ke masa Jepang
   berkuasa di daratan Cina.
Bala tentara NIppon seperti yang dilakukan pada
   banyak daerah taklukannya,
Kejamnya luar biasa dan membunuh manusia
   semudah membunuh kecoa.
Setelah konflik pertarungan antara keberanian,
   martabat, serta rasa setia,
Kisah dan cerita ditutup dengan aroma kematian
   yang ada di mana-mana.
Gerhana berwarna jingga lalu berubahnya arak putih
   jadi merah menyala,
Jelas jadi pertanda bahwa puing-puing bencana
   sampai pada puncaknya.
Arak putih berubah warna jadi merah membara
   manakala ledakkan semua.
Bom Molotov ala Cina, arak putih jadi pengisi
   botolnya, ternyata boleh juga.
Serdadu Jepang banyak jadi korbannya, walau
   karyawan sang wanita desa
Juga tidak kalah banyak yang ikut pralaya,
   menghantar perlawanan sia-sia.
Cerita ini berjaya menghantar penulisnya yang
   tidak bicara ke pentas dunia.
Sementara cerita dan kisah yang lainnya juga
   terangkat pamornya, lihat saja Â
Balada Bawang Putih, siapa sih yang pernah
   mendengar apalagi membaca?
Begitu juga dengan Republik Anggur -- memangnya
   ini gelaran Cina lainnya?
Apalagi jika judulnya Dada Besar dan Pinggul Lebar,
   mana ada bayangannya?
Ditambah tiga novel dan dua kumpulan cerita
   pendeknya, dulu itu gelap gulita
Khususnya di Indonesia, tetapi sekarang tidak
   hanya di Amerika atau Eropa,
Kelas-kelas sastra di nusantara pun mungkin segera
   ramai membicarakannya.
Arak Putih ... Â Sorgum Merah mungkin akan segera
   menjadi duta sastra prima
Karya penulis kelahiran Cina yang menjadi dosen
   sastra di akademi militer Cina.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah untuk
   nobel sastra ada peluangnya?
Tentu saja peluang selalu ada, apalagi di tanah
   tercinta banyak penulis hebatnya.
Hanya saja karena mereka belum mampu meyakinkan
   pada juri penilai di sana,
Atau mungkin juga karena walau banyak penulis
   hebatnya, tetapi karya-karyanya
Tergolong biasa-biasa saja, atau bisa saja karena
   memang belum tiba masanya,
Maka semua harus bersabar menunggu nobel mau
   beranjangsana ke Indonesia.
Selamat tuan Mo Yan, semoga lebih banyak penulis
   handal hadir di negara anda,
Karena sekarang semua sudah boleh bicara tanda
   perubahan ada di mana-mana.
Dan konsekwensinya, Guan Moye boleh segera
   menjadi pengganti nama pena,
Karena tidak ada lagi alasan tidak boleh bicara
   bahkan di jantung negara Cina.
Sementara di negeri kami, bicara apa saja tidak ada
   larangannya, dan akibatnya,
Hampir semua banyak bicara, sementara yang
   bekerja eh, hanya yang itu-itu saja.
Republik Bicara, Republik Banyak Bicara, kalau
   bekerja maka korupsi bentuknya.
Tentu saja tidak semua, tetapi inilah yang beritanya
   sekarang menjadi primadona.
Hanya sialnya korupsi pun ternyata fasih berbicara,
   sehingga sulitlah semuanya.
Yang tak tuntas menggunung jumlahnya karena hebat
   benar kungfu silat lidahnya,
Sementara dusta menjadi landasan bicara guna tutupi
   kejadian yang sebenarnya.
Semoga saja bunda pertiwi tetaplah sabar melihat
   tingkah polah anak-anaknya. Â
Â
Essi nomor 211 -- POZ13102012 -- 087853451949
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H