Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Essi Nomor 211: Yang Diam Tidak Berbicara Akhirnya Berjaya

4 Mei 2021   06:35 Diperbarui: 4 Mei 2021   06:37 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Essi 211 -- Yang Diam Tidak Berbicara Akhirnya Berjaya
Tri Budhi Sastrio

Ya, dia yang diberi nasehat untuk diam tidak berbicara
     akhirnya berjaya.
Berjaya dalam dunia sastra tingkat dunia, dunia yang
     tawarkan tak hanya
Perisai bagi martabat dan harga diri manusia, tetapi
     juga harkat nan mulia.
Kalau dunia galau, resah, dan gelisah, sastra pasti
     mampu mengubahnya.
Jika dunia berduka, sedih dan tanpa harapan, sastra
     berdiri di sisi manusia.
Manakala dunia kejam, bengis, tidak kenal kasihan,
     sastra menghibur jiwa.
Tatkala dunia korup, sastra membersihkan dan
     kembali memurnikannya.
Bahkan tatkala dunia membungkam semua mulut,
     nurani, hati dan sukma,
Sastra dengan sukacita menyuarakan semuanya,
     sastra itu bisa apa saja.
Ya bisa apa saja ... mulai dari membuat roti sampai
     memintal kain sutra,
Mulai dari melahirkan dan menyiapkan para pangeran
     dan putra mahkota,
Sampai dengan menghantarkan mereka semua ketika
     telah tiba masanya.
Lahir, tumbuh, besar, berkarya membangun dunia,
     pokoknya semuanya,
Karya sastra pasti selalu ada di tempat paling dekat
     hati dan jiwa manusia.
Dunia memang bisa berjalan, tumbuh dan gerakan
      semua roda-rodanya
Walau andaikata sastra tidak ada, tetapi itu gerakan
     fisika dan mekanika,
Bukan gerakan jiwa, bukan gerakan rasa, dan ...
     tanpa jiwa - tanpa rasa,
Pastilah itu bukan dunia yang didamba oleh manusia
     dan peradabannya.
Singkat kata sastra harus ada, seperti juga jiwa,
     jika ingin hidup bahagia.
Sastra itu bagian dari peradaban dan manusianya,
     jadi ... ya harus ada!

Walau pada mulanya karya sastra memang tidak
     dianggap cukup berharga,
Dibandingkan ilmu-ilmu lainnya kala itu eh ... yang
     satu ini diabai begitu saja.
Seiring perjalanan waktu, ketika guratan pena tinta l
     ahirkan kata dan makna,
Dan dunia modern pun harus rela mengakui
     keberadaan dan eksistensinya,
Tiba juga masa yang satu ini purna, guna bersanding
     dengan para koleganya.
Dan semakin semaraklah dunia ilmu manakala para
     perajut kata dan makna,
Diundang naik ke pentas karena telah dengan piawai
     suarakan gelora sukma.
Bravo Sastra ... engkau pun sekarang menjadi bagian
     prima di pentas dunia.

Dan sekarang - kala nakula bumi tunggal sadewa --
     perajut kata dari Cina,
Yang pernah pada masanya dipaksa tidak banyak
     bicara jika tak ingin sirna,
Tampil ke pentas dunia bawa pita jawara pemintal
     dawai sabda para dewa.
Dia anak petani sederhana, pernah menjadi tentara,
     sebelum dia dipercaya
Menjadi dosen pengajar sastra walau di akademi militer
     tentara merah Cina.
Hujan Turun Di Malam Musim Semi jadi judul rajutan
     kata prosa perdananya.
Tetapi tentu bukan ini novel pertama yang membawa
     sang empu tidak bicara
Naik ke pentas dunia dan namanya menjadi buah
     bibir bahkan juga di Cina,
Negara yang memaksa dia memakai nama pena
     diam tidak bicara apa-apa.
Adalah novel keduanya, yang mendaulat Gong Li
     pada versi layar peraknya,
Ya itulah Kaoliang Jiu  -- arak putih -  arak putih
     yang bisa memabukkan jiwa,
Memang putih warna araknya, tapi merah warna
     sorgum yang jadi bahannya.
Sang perajut kata yang diam tidak bicara meyakinkan
     para juri nobel di sana
Bahwa pada kala nakula bumi tunggal sadewa
     tepatlah kiranya jika si dianya
Yang diijinkan naik ke atas pentas untuk pamerkan
     ke seluruh dunia bahwa
Dalam diam tanpa kata dan bicara, untaian indah
     makna tetap dapat berjaya.

Alkisah seorang gadis desa muda dinikahkan dengan
     pria tua penderita lepra.
Pria pemilik penyuingan arak nyatanya tak hidup
     terlalu lama, misteri matinya.
Sang janda muda mewarisi segalanya, termasuk
     kenangan malam pertama
Di ladang sorghum dengan pria yang
     menyelamatkannya dari mara bahaya.
Singkat kata dan cerita -- antara bumbu adonan fiksi
     fantasi dan dunia nyata,
Alur cerita bergulir sampai masuk ke masa Jepang
     berkuasa di daratan Cina.
Bala tentara NIppon seperti yang dilakukan pada
     banyak daerah taklukannya,
Kejamnya luar biasa dan membunuh manusia
     semudah membunuh kecoa.
Setelah konflik pertarungan antara keberanian,
     martabat, serta rasa setia,
Kisah dan cerita ditutup dengan aroma kematian
     yang ada di mana-mana.
Gerhana berwarna jingga lalu berubahnya arak putih
     jadi merah menyala,
Jelas jadi pertanda bahwa puing-puing bencana
     sampai pada puncaknya.
Arak putih berubah warna jadi merah membara
     manakala ledakkan semua.
Bom Molotov ala Cina, arak putih jadi pengisi
     botolnya, ternyata boleh juga.
Serdadu Jepang banyak jadi korbannya, walau
     karyawan sang wanita desa
Juga tidak kalah banyak yang ikut pralaya,
     menghantar perlawanan sia-sia.

Cerita ini berjaya menghantar penulisnya yang
     tidak bicara ke pentas dunia.
Sementara cerita dan kisah yang lainnya juga
     terangkat pamornya, lihat saja  
Balada Bawang Putih, siapa sih yang pernah
     mendengar apalagi membaca?
Begitu juga dengan Republik Anggur -- memangnya
     ini gelaran Cina lainnya?
Apalagi jika judulnya Dada Besar dan Pinggul Lebar,
     mana ada bayangannya?
Ditambah tiga novel dan dua kumpulan cerita
     pendeknya, dulu itu gelap gulita
Khususnya di Indonesia, tetapi sekarang tidak
     hanya di Amerika atau Eropa,
Kelas-kelas sastra di nusantara pun mungkin segera
     ramai membicarakannya.
Arak Putih ...  Sorgum Merah mungkin akan segera
     menjadi duta sastra prima
Karya penulis kelahiran Cina yang menjadi dosen
     sastra di akademi militer Cina.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah untuk
     nobel sastra ada peluangnya?
Tentu saja peluang selalu ada, apalagi di tanah
     tercinta banyak penulis hebatnya.
Hanya saja karena mereka belum mampu meyakinkan
     pada juri penilai di sana,
Atau mungkin juga karena walau banyak penulis
     hebatnya, tetapi karya-karyanya
Tergolong biasa-biasa saja, atau bisa saja karena
     memang belum tiba masanya,
Maka semua harus bersabar menunggu nobel mau
     beranjangsana ke Indonesia.

Selamat tuan Mo Yan, semoga lebih banyak penulis
     handal hadir di negara anda,
Karena sekarang semua sudah boleh bicara tanda
     perubahan ada di mana-mana.
Dan konsekwensinya, Guan Moye boleh segera
     menjadi pengganti nama pena,
Karena tidak ada lagi alasan tidak boleh bicara
     bahkan di jantung negara Cina.
Sementara di negeri kami, bicara apa saja tidak ada
     larangannya, dan akibatnya,
Hampir semua banyak bicara, sementara yang
     bekerja eh, hanya yang itu-itu saja.
Republik Bicara, Republik Banyak Bicara, kalau
     bekerja maka korupsi bentuknya.
Tentu saja tidak semua, tetapi inilah yang beritanya
     sekarang menjadi primadona.
Hanya sialnya korupsi pun ternyata fasih berbicara,
     sehingga sulitlah semuanya.
Yang tak tuntas menggunung jumlahnya karena hebat
     benar kungfu silat lidahnya,
Sementara dusta menjadi landasan bicara guna tutupi
     kejadian yang sebenarnya.
Semoga saja bunda pertiwi tetaplah sabar melihat
     tingkah polah anak-anaknya.  
 
Essi nomor 211 -- POZ13102012 -- 087853451949

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun