Ketika sampai di pelataran pura yang paling bawah, kembali kegundahan menyelinap dan menyusup ke relung hatinya yang paling dalam. Ah, betapa sulit mengusir kegundahan, desahnya berulang kali sambil menghela nafas panjang, sementara kakinya terus melangkah perlahan menapaki tangga Pura Besakih yang tampak basah. Gundah dan seribu satu macam perasaan dalam diri manusia tak ubahnya seperti kunang-kunang di malam hari. Akan hilang dan sirna dengan sendirinya ketika waktunya tiba. Adalah pekerjaan sia-sia mengusir kegundahan atau kesedihan dengan berpura-pura sibuk mengerjakan pekerjaan lain. Paling tidak adagium sederhana ini berlaku dan telah dibuktikan oleh Susanto.
Seorang penjual salak mencoba menarik perhatian. Tampangnya yang bukan tampang orang Bali membuat banyak pedagang menganggap ia wisatawan sejati yang datang berkunjung ke Pura Besakih sangat awal. Susanto mencoba tersenyum sambil menggelengkan kepala. Bagaimana dia dapat membeli salak jika untuk makan pagi saja dia harus membatalkan karena sisa uang hanya cukup untuk membayar biaya transport.
Ah, mengapa aku tidak mencoba mencari tumpangan kendaraan sehingga uang yang lima ribu ini bisa digunakan untuk makan pagi, pernah pikiran semacam ini melintas di benaknya tetapi akhirnya dia urung melakukan. Pengalaman menunjukkan betapa sulit mendapatkan tumpangan dari daerah kawasan wisata. Permintaan semacam itu bukan saja ujung-ujungnya berakhir dengan penolakan tetapi selama proses negosiasinya akan disertai oleh tatapan curiga. Susanto palin tidak tahan dicurigai oleh seseorang. Lebih baik menahan perut perih dari pada dicurigai akan mencuri makanan, umpamanya!
Akhirnya anak tangga terakhir dilampauinya juga. Kabut masih menyelimuti Pura Besakih, pura agung, pura pusat yang diyakini oleh hampir semua umat Hindu di Bali sebagai tempat ber-stana-kannya Sang Hyang Widhi Wasa. Susanto menarik nafas panjang. Udara dingin Pura Besakih menerobos masuk paru-parunya berbaur dengan udara panas di dalam.
Diam-diam seulas senyum muncul di sudut bibirnya. Keindahan, kesejukan, suasana magis yang mengelilingi di tempat istimewa ini membuat untuk sejenak berhasil lepas dari kungkungan kegundahan. Kemudian entah dari mana larik demi larik inspirasi berkelebatan dalam benaknya. Senyum Susanto makin mengembang kala kelebatan baris-baris puisi itu selesai berparade dalam kepalanya.
Sebuah buku kecil yang kumal tahu-tahu berada di tangan kiri sedangkan pensil butut di tangan kanan. Sesaat kemudian, diiringi hembusan lembut angin dingin Pura Besakih, tergoreslah di buku kecil kumal itu sebuah puisi.
     Puisi Pura Besakih Â
     Dalam saputan lembut angin dingin dan kabutmu
     Duh, Pura Besakih ...
     Akhirnya melintas juga apa yang kucari
     Dia sedang mebakti nun jauh di sana
     Tetapi harum rambutnya, manis senyumnya
     Sampai juga ke sini ... Aku dapat merasakannya!
     Jutaan tapak kaki mungil tak henti-hentinya
     Melintas di anak-anak tanggamu
     Jutaan yang lain masih menunggu giliran
     Semoga kau berkenan menerima yang akan datang
     Seperti engkau berkenan menerima yang terdahulu
     Semoga kau melindungi yang berikut
     Seperti engkau melindungi yang lebih awal
     Semoga mereka semua damai dan tenteram
     Seperti jiwaku sekarang ini!
     Pura Besakih-2000Â
Kembali seulas senyum manis mengembang di sudut bibirnya. Kegundahan yang bertengger dalam hatinya sejak dari Denpasar kemarin sore, persis seperti kunang-kunang, tiba-tiba saja hilang jika memang sudah waktunya. Aku harus segera pulang bisik Susanto pada dirinya sendiri, siapa tahu Ni Komang sudah kembali. Puisi ini harus segera di-Inggris-kan dan dikumpulkan. Ni Komang tentu dapat membantu! (R-SDA-12032021-087853451949)