Hakim Khusus mengangguk-angguk.
"Maksudmu engkau mengakui semua isi catatan ini dan rela menerima hukuman yang akan dijatuhkan?"
Putu Antar mengangguk.
"Saya terima semua catatan ini dan siap menjalani hukuman."
Hakim Khusus tampak mengerutkan keningnya.
"Tidak banyak orang yang seperti engkau, maksudku tidak banyak bajingan yang bersikap seperti dirimu. Biasanya, kalau tidak menyangkal mati-matian, bajingan yang lain seringkali berlagak pilon, atau bahkan berlagak lupa dengan apa yang telah diperbuat semasa hidupnya dulu. Dalam ruangan ini setiap orang bebas bertingkah apa saja, termasuk menyatakan lupa dan menyangkal perbuatannya. Adalah tugasku untuk membuatnya tidak berkutik, bukan dengan kekerasan tetapi dengan fakta dan bukti, sampai mereka tidak dapat menyangkal lagi tetapi engkau sedikit lain, engkau sama sekali tidak berusaha menghindar apalagi menyangkal."
Sampai disini Hakim Khusus berhenti sejenak sebelum dia melanjutkan. "Benar engkau tidak ingin mendengarkan rekaman dan catatan kejahatanmu?"
"Benar yang mulia!"
"Mengapa?"
"Karena saya masih ingat dengan jelas semua kejahatan yang saya lakukan. Tidak satu pun yang terlupa Yang Mulia. Jadi untuk apa saya menyangkal perbuatan yang memang pernah saya lakukan?"
"Bagus, kalau begitu engkau dengarkan hukuman yang harus engkau terima!" kata sang Hakim Khusus sambil membuka laci di sebelah kanannya. Sebuah buku berwarna ungu, yang bahkan lebih tebal dari buku catatan kejahatan Putu Antar, dikeluarkan.