Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Gurat-Gurat Guram

24 Februari 2021   11:13 Diperbarui: 24 Februari 2021   13:08 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gurat-Gurat Guram

Tri Budhi Sastrio

Kasih sayang dan komunikasi
Adalah dua hal yang berbeda
Tetapi manakala keduanya gagal berpadu,
Maka tak ada lagi cinta, tak ada lagi kemesraan!
Yang tersisa adalah pertikaian
Yang seringkali berakhir
Dalam kepedihan berkepanjangan!

Anna memandang suaminya dengan pandangan sayu. Suaminya, Anton, sejak setahun terakhir ini berubah. Anna masih ingat dengan jelas bagaimana dia dengan suaminya melewati masa-masa indah. Juga bagaimana mesranya dia dan Anton berjalan sambil bergandengan tangan di masa-masa perkenalan dulu. Hanya saja itu tiga tahun yang lalu.

Sekarang? Semuanya berubah. Anton yang sekarang tidak seperti Anton yang dulu. Anton yang sekarang tidak lagi berbicara lembut. Anton yang sekarang tidak lagi menatap dirinya dengan tatapan mesra. Anton yang sekarang tidak lagi pernah mengajaknya pergi berjalan-jalan. Yang tertinggal pada suaminya sekarang cumalah sumpah serapah, bentakan, caci maki dan segala macam tindakan kasar yang mungkin dilakukan seorang suami terhadap istrinya. Sekarang hal itu dilakukan lagi.

"Engkau ini bagaimana sih, An!" kata Anton dengan suara mendesis tajam sama sekali tidak terpengaruh pandangan sayu istrinya. "Kemarin engkau kuberi tahu agar membersihkan dan menyemir sepatuku ini dengan tanganmu sendiri tetapi nyatanya apa yang engkau lakukan?"

Laki-laki itu berhenti sejenak, matanya yang berkilat-kilat menyimpan sejuta kemarahan menyambar-nyambar mata istrinya yang terpaku. Terpaku entah oleh rasa heran entah oleh ketidak mengertian.

"Tetapi nyatanya apa yang engkau lakukan?" Anton melanjutkan. "Engkau menyuruh bi Inah mengerjakan itu. Apakah ..."

"Tetapi aku tidak menyuruh bi Inah, dia melakukannya sendiri. Aku ..!"

"Diam kau!"

Anna bahkan belum sempat menyelesaikan kalimatnya.

Anna terlonjak oleh bentakan suaminya.

"Setan engkau! Sejak kapan engkau berani memotong kata-kataku yang belum selesai? Dengarkan aku berbicara dulu, baru engkau bicara dan lagi aku tidak suka mendengarmu berbicara di depanku tanpa aku minta. Apa kau pikir suaramu merdu? Apa kau pikir kalimat-kalimat yang meluncur dari mulutmu itu bisa menyenangkan aku? Bah ...!"

Samar-samar terlihat badan Anna bergetar. Matanya jelas sekali menggambarkan betapa terkejutnya dia. Bukan terkejut oleh kalimat kasar dari mulut suaminya, yang akhir-akhir ini memang menjadi menu sehari-hari baginya, melainkan oleh suara keras menggelegar dari mulut suaminya. Kembali bayangan indah masa lalu berkelebat di benak perempuan muda yang masih cantik itu. Seingatnya, sekalipun tak pernah suaminya berbicara kasar pada dirinya, apalagi sampai membentak seperti sekarang ini.

Tanpa disadari selapis air bening menyaput mata yang masih membelalak karena terkejut itu. Hatinya hancur dan merasa tidak berdaya. Betapa ingin dirinya bisa kembali ke masa lalu, ke masa-masa penuh kedamaian dulu. Masa-masa perhatian dan kasih sayang selalu mengelilinginya, tetapi bagaimana bisa? Bukankah sekali langkah diayun, tak ada lagi jalan surut? Bukankah sekali waktu berdetik, hari-hari kemarin cuma tinggal kenangan? Bukankah dalam hidup ini cuma ada kata maju dan tidak ada kata mundur? Dan bukankah juga semua orang, termasuk dirinya, tahu bahwa sang waktu tidak kenal kata menunggu apalagi kata kembali?

Tak ada dan tak akan pernah ada sesuatu dikembalikan lagi oleh waktu. Semua akan ditelan, semua akan hilang. Mungkin cumalah kenangan yang bisa dibayangkan. Lalu apakah juga akan begitu dengan masa-masa indahnya dulu? Masa-masa penuh mesranya dulu? Masa-masa penuh damainya dulu?

Anna tak sempat lebih jauh mengembara dengan angan-angannya karena kembali suara suaminya yang menggelegar menyentaknya.

"Apakah engkau merasa keberatan kalau membersihkan sepatuku dan kemudian menyemirnya dengan tanganmu sendiri? Apakah engkau merasa terlalu tinggi dan terlalu mulia untuk melakukan itu? Atau mungkin engkau sudah merasa menjadi nyonya besar di rumah ini sekarang?"

Anna menunduk. Bukannya tidak berani menantang kilatan tajam mata suaminya tetapi karena dia ingin menyembunyikan saputan air mata yang semakin tebal. Sesaat ruang itu senyap, sebelum akhirnya kesenyapan kembali dipecahkan oleh gelegar suara Anton.

"Hei, tadi tidak kutanya engkau menjawab, sekarang ketika kutanya engkau malah membisu. Tidak bisakah engkau membuka mulutmu dan menerangkan mengapa sepatuku ini bukan engkau yang membersihkan tetapi malah bi Inah?"

Perlahan Anna mendongak tetapi belum sempat membuka mulut, suaminya mendengus sinis dan mendahului berkata.

"Huh, begitu saja sudah hendak menangis. Kenapa tidak kembali ke bangku SD saja sehingga kalau menangis ada orang yang akan menghibur dengan kata-kata manis? Bukankah engkau mengharap aku menghiburmu dengan kata-kata manis setelah melihat air matamu? Jangan harap itu ...."

Anna menggelengkan kepalanya keras-keras. Entah untuk membantah kata-kata suaminya, entah untuk mengusir rasa pedih di hatinya. Kemudian, sambil terus mencoba untuk tidak terisak, Anna berbalik dan berlari ke kamarnya. Anton mendengus hina.

"Bah, semakin sebal saja aku sekarang!" kata Anton dengan suara cukup keras untuk didengar tetangga. "Sedikit-sedikit menangis. Sedikit-sedikit mengeluarkan air mata. Apa dengan menangis dan mengeluarkan air mata aku lalu menjadi kasihan? Tidak bakalan begitu!"

Di kamarnya Anna duduk terpekur di meja tulis. Sebuah buku tulis tebal tampak terbuka sementara air mata meleleh jatuh dan beberapa butir di antaranya tepat jatuh di buku tulis yang terbuka. Cairan bening itu melebar dan membesar, seakan-akan hendak mengabarkan pada si empunya begitulah selalu nasib seorang wanita.

Bila penderitaan dan kepedihan datang tak ada lagi hiburan yang bisa menawarkan. Bila masa-masa indah berubah menjadi kelam maka kepedihan yang akan muncul. Sekarang apalagi yang akan dituangkan ke kertas bernoda air mata di depannya jika bukan tentang kepedihan?

Tiga hari yang lalu marahnya tentang bersin, sekarang tentang sepatu. Duh Tuhan, berapa lama lagi aku masih bisa bertahan? Berapa lama lagi hati ini mampu menampung semua cacian dan makian? Kalau tidak karena janjiMu sendiri bagaimana mungkin aku masih tetap berdiri dengan kaki yang telah goyah ini? Bertahanlah sampai ke batas terakhir, begitulah SabdaMu yang selalu membuat aku kembali berdiri tegak pada saat-saat hendak menyerah.

Semoga pelita yang Kau letakkan di hatiku akan selalu bersinar. Jangan padam sebelum aku melangkah sampai ke batas terakhir. Ya, jangan padam. Sinarmu boleh berubah menjadi guram tetapi hendaknya jangan padam.

Dua titik air matanya kembali jatuh seakan-akan hendak menjadi penutup bagi kepedihan hatinya. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Anton berdiri tegar di ambang pintu. Anna cepat-cepat berdiri, berbalik dan tidak sempat mengusap air mata di pipinya.

"Jangan ulangi lagi kesalahan yang sama," kata Anton sambil menuding dengan mata masih menyemburkan api kemarahan. "Kau jangan berharap aku akan membiarkan kesalahanmu, tidak juga meskipun engkau menumpahkan seluruh air matamu di hadapanku. Mengerti?"

Tubuh Anna kembali bergetar.

"Aku tidak ingin setiap kali memberi perintah selalu kesalahan yang diberikan padaku. Apakah engkau memang cuma bisa? Setelah tidak mampu memberiku anak apakah memberiku tindakan yang tepat sesuai dengan perintahku engkau juga tidak bisa?"

Kali ini Anna tersentak. Anak? Bernarkah suaminya mengatakan tentang anak? Jadi selama setahun ini suaminya begitu berubah cuma karena anak? Tetapi bukankah dia sendiri yang memutuskan untuk membuang rahimnya atas saran dokter? Bukankah dia sendiri yang memutuskan lebih baik kehilangan rahimnya daripada kehilangan dirinya sama sekali?

Kalau tahu begini, jerit Anna meskipun cuma dalam hati, dia pasti akan memilih tetap punya rahim meski ada kanker ganas di sana. Bukankah hidup meski cuma sepuluh bulan, seumur dengan buah kasih sayang mereka berdua, lebih berharga daripada hidup lama seperti sekarang ini tetapi berkabut kemarahan dan kepedihan?

Ya, ampun, jadi ini penyebab ini semua? Betapa ingin dia menjeritkan kesadaran yang muncul karena kata-kata suaminya itu tetapi lidahnya kaku, bibirnya terkunci, cuma matanya yang membelalak tidak percaya, terus lekat menatap tubuh tegar laki-laki di depannya.

"Dan jangan lagi sering-sering menumpahkan air mata di depanku. Aku tidak suka itu!"

Kemudian Anton berbalik dan sesaat kemudian deru mobilnya seperti palu godam menghantam hati Anna yang berdiri terpaku.

Anak. Sekarang bibir perempuan malang itu berhasil juga menggumam. Anak. Ya, anakku. Di mana engkau sekarang? Mengapa dulu aku mengangguk ketika papamu memutuskan untuk lebih baik kehilangan engkau daripada aku? Ya, mengapa aku dulu mengangguk? Tidak seharusnya aku mengangguk, bukan?

Bukankah karena mengangguk aku tidak hanya kehilangan engkau tapi juga kehilangan segala-galanya? Papamu tidak lagi menjadi milikku. Kedamaian tidak juga menjadi milikku.

Ah, ya, aku harus menemui engkau sekarang anakku. Aku harus mengatakan ini semua padamu dan kemudian berjanji kepadamu bahwa aku tidak akan pernah membuat kesalahan seperti itu, tetapi aku harus memberitahu papamu dulu. Aku tidak ingin dia bingung mencariku ke mana aku pergi.

Kemudian tak ada kata-kata yang cocok untuk menggambarkan bagaimana keadaan Anna waktu itu. Dia duduk dan menulis. Seakan-akan tak ada lagi kepedihan waktu itu. Yang ada cumalah kesadaran. Kesadaran akan sesuatu yang selama ini tidak pernah terlintas di benaknya. Kesadaran semu, kesadaran yang tidak manusiawi.

Anton, aku akan pergi menemui anakku dulu. Sungguh kalau tidak engkau ingatkan aku tidak akan pernah menyadari kalau anggukan kepalaku dulu telah menyebabkan engkau menderita sehingga kurasakan engkau banyak berubah. Akan kutemui anakku, anak kita, dan akan kuajak dia kembali. Akan kukatakan papanya sangat membutuhkan kehadirannya. Begitu juga aku. Bukankah setelah anak kita bersama-sama lagi, engkau tidak lagi akan sering-sering marah-marah padaku, bukan? Tahukah engkau, membayangkan itu semua, aku tersenyum bahagia? Tidak tahukah engkau, kalau perhatian dan kasih sayangmu adalah segala-galanya bagiku? Juga tidak tahukah engkau kalau aku sebenarnya lebih mencintai dirimu daripada mencintai diriku sendiri? Anton sayang, aku pergi dulu ya. Kau jaga dirimu baik-baik, dan tunggu aku ya.

Orang yang selalu sayang padamu,

Anna.

***

Bi Inahlah yang menjadi sasaran pertanyaan Anton ketika mengetahui istrinya pergi tetapi pembantu tua itu cuma bisa menjawab tidak tahu berkali-kali. Hari itu juga laporan kehilangan Anna disiarkan oleh seluruh radio swasta di kota itu. Laporan untuk polisi juga disampaikan oleh Anton. Sementara Anton sendiri seperti orang gila, menelusuri seluruh jalan-jalan kota. Tengah malam dia baru pulang dengan hasil nol. Sesampainya di rumah yang pertama-tama dikerjakan oleh lelaki itu adalah membaca buku harian istrinya. Anton baru jatuh tertidur, menelungkup di atas buku harian istrinya setelah tubuhny benar-benar sampai ke puncak daya tahannya.

Keesokan harinya, kembali hal yang sama dilakukan. Mengelilingi seluruh kota sampai tengah malam baru kembali ke rumah. Kemudian, membaca buku harian istrinya. Terutama catatan terakhir dari istrinya, yang ditujukan pada dirinya. Selesai membaca, laki-laki itu akan menggumam:

"Ya, aku akan menunggu engkau, Anna. Kembalilah bersama anak kita."

Kemudian Anton akan membaca lagi. Selesai membaca dia akan menggumam lagi. Kemudian membaca lagi, menggumam lagi, menghela nafas panjang, dan tidak jarang, air matanya meluncur keluar, meskipun tanpa disadari. Kemudian Anton akan membaca lagi. Semuanya baru akan berakhir ketika tubuhnya tidak lagi mampu mengimbangi kemauannya untuk membaca.

Itulah yang sekarang dilakukan Anton. Hari demi hari. Semua yang di luar itu tidak lagi menarik hatinya, tetapi sampai kapan ini semua? Siapa yang tahu kecuali mungkin Dia yang di atas sana tetapi yang jelas, Anton akan tetap menunggu sesuai dengan pesan istrinya, cuma entah sampai kapan. (R-SDA- 24022021 -- 087853451949)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun