Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Essi Nomor 065 - Bunda, Dikau Tak Usah Merana

13 Desember 2017   12:34 Diperbarui: 13 Desember 2017   13:01 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KitchenFunWithMy3Sons.com

Bunda, Dikau Tak Usah Merana

Meskipun banyak sekali alasan untuk kadang merana
Bagi banyak bunda yang ada di dunia, tapi tetap saja
Diyakini lebih banyak lagi alasan, guna tetap bahagia.
Mengapa? Karena penghargaan serta hormat mereka
Yang muda bagi bunda tercinta, tetap rajin dipelihara,
Dalam artian, bunda adalah tumpuan segala-galanya.
Bagaimana mungkin manusia yang biasa laksana kita
Melewati masa bayi, anak-anak, remaja tanpa bunda?
Juga bagaimana bisa tanpa kehadiran bunda tercinta
Kami menjadi insan yang berbahagia, peduli sesama?
Karena bukankah bunda contoh dan teladan pertama?
Ah, bunda mana ada jasa dapat melebihi jasa bunda?
Jasa tanpa pamrih, yang diberikan pada kita semua?

Jasamu adalah segala-galanya, perhatianmu kepada
Kita semua adalah yang paling utama, tiada taranya.
Belai kasih sayangmu bunda, juga tidak ada duanya;
Sedangkan tatapan bening mata bunda, penuh cinta,
Dan tatapan ini bisa mengubah dan menyirnakan apa
Saja bahkan semua awan hitam paling pekat di dunia.
Tanpa engkau bunda, bagaimana kami anakmu, bisa
menjalankan tugas merambah dan mengelola dunia?
Tanpa senyum bunda bagaimana dengan ringan bisa
Ziarahi dunia keras fana, guna jalankan titah surga?
Ah bunda, bahkan Putra utusan langsung dari surga,
Juga menjadi dewasa sempurna karena jasa bunda.
Dari lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa, menderita,
Sampai bangkit mulia, semua terjadi di bawah rona
Tatapan bunda yang sejuk damai penuh kasih cinta.

Bulan ini hanya bulan bagi bunda dan semata-mata
Diperingati secara meriah seluruh manusia di dunia;
Untuk tunjukkan penghargaan dan hormat manusia,
Manusia mana saja dan apa saja asalkan dia punya
Mama, punya bunda, bulan ini bulan yang istimewa.
Bulan bagi bunda, tidak berkurang sepanjang masa.
Hanya saja, seperti biasanya adat dunia, selalu ada
Saja manusia tidak tahu etika, yang entah mengapa
Bukan saja tidak hormat dan cinta pada sang bunda,
Tapi tak jarang malah giat amat menghujat, menista,
Menghina wanita yang mulia, wanita yang bundanya.
Hanya saja hebatnya, walau dihujat, dinista, dihina,
Engkau tak hanya tidak membenci, malah rasa iba
Mengemuka dan oh ... bunda, betapa hatimu mulia;
Engkau ampuni itu dosa, lalu sepenuh hati berdoa,
Pada Sang Mahakuasa, sungguh memohon agar Ia
Juga berkenan curahkan ampunan, kepada mereka.

Jadi bunda, apapun yang dilakukan oleh para putra
Engkau tak usah merana, mereka tidak paham saja
Betapa titah empunya dunia jelas nian sejak semula
Bahwa yang namanya surga engkaulah penentunya,
Karena hanya mereka yang tahu hormat serta cinta
Kepadamu bunda yang besar kemungkinannya bisa
Memperoleh tempat abadi, penuh bahagia di surga.
Bagaimana mereka bermimpi membayangkan surga
Jika pada bunda saja tak paham harus berbuat apa,
Tidak paham harus memberi empati, kasih dan cinta,
Lalu bagaimana mereka bisa berikan kasih dan cinta
Tanpa pamrih, tanpa batas, seperti dilakukan bunda
Yang kasihnya tidak berkesudahan sepanjang masa?

Bunda, akhirnya meskipun kami sendiri yakin bahwa
Engkau tidak perlu sedih merana lalu gundah gulana
Pikirkan tingkah anak-anakmu yang kadang durhaka
Serta tak tahu berterima kasih, tetapi kami juga ada
Sedikit kritik padamu, bunda, tapi bukan kritik karena
Benci atau tidak suka melainkan karena terlalu cinta.
Janganlah engkau mau berdusta, apapun alasannya,
Untuk kami yang tak tahu berterima kasih; semuanya
Biarlah terbuka, lurus, jujur, apa adanya tanpa dusta.
Karena kami yakin bahwa dalam kejujuranlah, cinta -
Ya cintamu yang tulus, bercahaya cemerlang laksana
Matahari pagi berikan kehangatan bagi alam semesta.
Engkau tidak perlu berdusta, juga tak boleh berdusta,
Wahai bunda bahkan juga bagi dusta atas nama cinta.
Kami pasti menerima, jika karena tidak mau berdusta
Kami anak-anak durhaka ini, menanggung akibatnya.
Pokoknya, cinta tanpa dusta ibaratnya terang cahaya,
Cahaya pelita bagi penerang jalan hidup kami semua.
Ibarat tinta bagi pena begitu juga dengan cinta bunda.
Cinta bunda yang tanpa dusta adalah pelita bagi kita.
Itulah kami bunda, walau kadang durhaka, kami cinta.

Dr. Tri Budhi Sastrio -- tribudhis@yahoo.com
HP. 087853451949 -- SDA21122011 -- Essi no. 065

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun