Kala Bima Murka … Eh, Malah Banyak Yang Tertawa …
Dalam sidang pengadilan seorang terdakwa bebas bicara apa saja.
Kecuali tentu saja berdusta … karena memang dilarang hukumnya.
Apapun masalah serta perkaranya, dusta sebaiknya dihindari saja,
Karena jika tidak, semua pihak akan dibuat repot, ya hakim ya jaksa.
Persidangan jadi rumit dan lama, keputusan juga bisa kurang prima.
Berbelit-belit dalam berikan keterangan kadang sama dengan dusta,
Tetapi yang paling celaka jika sejak awal memang dusta tujuannya,
Apalagi jika dustanya menyangkut orang lain sekaliber kepala negara,
Yah … semua jadi heboh dibuatnya, walau media malah bersuka cita
Karena semakin konyol sebuah berita, semakin asyik saja meliputnya.
Yang disampaikan mantan makelar korupsi sapi yang jadi terdakwa,
Tergolong ke dalam berita heboh karena tak jelas jujur dan dustanya.
Jika sang makelar yang partainya jelas dibuat semakin tak sejahtera,
Berkata jujur dan seadanya, terlepas isi sampaiannya salah faktanya,
Maka dia telah tunaikan kewajibannya sebagai terdakwa tanpa dusta.
Telah disampaikan apa yang diketahuinya, benar salah itu lain cerita.
Yang dilarang adalah sampaikan apa yang tidak diketahui, itu dusta.
Jika apa yang diketahui, ya boleh saja, bahkan mungkin itu tugasnya.
Bunda Putri, katanya, itu teman dekat sang Bima, jadi jika ini wanita
Tahu banyak tentang pergantian menteri segala, ya wajar-wajar saja.
Jangankan orang dekat, orang tak dekat saja tahu banyak, bisa saja.
Si terdakwa jelas kenal ini wanita, dan wanita ini memang benar ada,
Cuma nama aslinya jelas bukan Bunda Putri, walau dia putri bunda,
Tetapi yang aneh eh sang terdakwa nyatakan tak tahu nama aslinya,
Kalau yang ini rasanya sih dusta, bagaimana bisa tidak kenal nama,
Padahal datang ke rumah, banyak bicara, termasuk juga bertanya
Guna pastikan apa menteri partainya posisinya aman-aman saja?
Singkat kata, kaki sang terdakwa berjalan di atas tiga rel duta kata.
Yang pertama rel jujur, yang kedua rel dusta, yang ketiga rel lupa.
Nah, gabungan tiga hal inilah yang membuat naik pitam sang Bima.
Dia marah dan murka sampai-sampai tudingan dusta diarahkannya
Pada makelar sapi yang sekarang menjadi terdakwa – dia berdusta.
SMS tak ada, surat tak pernah baca, telepon tidak pernah diterima,
Lalu bagaimana bisa orang seperti dia berkata orang dekat segala,
Yang katanya tahu banyak tentang menteri, tentang kabinet bangsa?
Bah … istri saja tak pernah diajak bicara jika urusan menteri negara,
Apalagi ini Bunda Putri yang sama sekali tidak pernah dikenalnya?
Ha … ha … ha … sabar Bima … sabar wahai Werkudara perkasa.
Terdakwa yang satu ini levelnya jauh di bawah engkau wahai satria
Lalu bagaimana bisa begitu saja dia dinaikkan jerajat pangkatnya?
Bukankah karena sekarang engkau naik pitam gusar marah murka
Dia menjadi orang yang sejajar dengan engkau wahai satria utama?
Apalagi jika dicermati kata-kata sang terdakwa, bukankah biasa saja?
Siapa orang di republik ini yang tidak merasa dekat denganmu Bima?
Bukankah itu yang selalu engkau sampaikan, ingin dekat rakyat biasa?
Ingat Bima, terdakwa itu rakyat biasa, Bunda Putri juga tidak berbeda,
Mereka itu rakyat biasa, rakyat jelata, yang sekarang kebetulan saja
Yang satu menjadi terdakwa dan yang lain istri pejabat di kemtan sana.
Lalu apa anehnya jika mereka merasa menjadi orang dekatmu, Bima?
Duh … Bima jika karena ada yang merasa jadi orang dekatmu, satria,
Lalu engkau mencak-mencak di depan media, menggetarkan negara,
Membuat rakyat menatap tanda tidak percaya, lho apa benar ini Bima,
Satria kokoh perkasa, banteng adi bhayangkara negara, apa benar dia?
Hanya karena keterangan terdakwa, murkanya muncrat ke mana-mana?
Duh … Werkudara, engkau ini panutan bangsa suri teladan rakyat jelata.
Marah boleh saja tapi mengapa tak dilakukan di dalam kamar kala berdua?
Di depan Arimbi engkau boleh mengumbar luapan kekesalan hati dan jiwa
Karena dia pasti akan maklum dan mungkin hanya senyum-senyum ceria.
Tetapi di depan media, disorot kamera, disiarkan ke seluruh telatah dunia?
Duh … satria nusantara, tampaknya engkau harus banyak belajar juga.
Yang melihat memang terkesima, tidak percaya sambil mulut menganga,
Tetapi setelahnya … wahai anak muda, bukannya simpati pada ini cerita,
Mereka akan tertawa Bima, ya mereka akan tersenyum geli lalu tertawa.
Bagaimana bisa seorang satria panutan seluruh rakyat telatah nusantara
Menunjukkan ketidak-matangan jiwa kendalikan emosi angkara murka?
Engkau ini raja, engkau ini kepala negara, banyak hal harusnya murka,
Eh … malah tenang-tenang saja, tapi banyak hal harusnya tertawa ceria,
Eh … murka diumbar ke mana-mana, benar-benar khas tabiat anak muda.
Negara yang engkau pimpin ini tampak memang masih aman sejahtera,
Tapi jangan lupa, Bima, nun jauh di bawah sana, lingkaran rakyat jelata,
Lingkaran yang konon ingin kau masuki dan serap rintihan sukmanya,
Semakin membahana rintihan lirih betapa sumbang derap langkah jiwa.
Yang menjabat dan berkuasa makin merajalela merompak uang negara,
Dan engkau Sena hanya berkata telah diserahkan semua penanganannya
Pada polisi, jaksa, dan KPK, yah, tentu ini benar, tapi engkau Pawanasuta,
Engkau harus tetap jujur dan berani, tegas tidak perduli anggota keluarga,
Jika bersalah harus diringkus, jadikan terdakwa jika memang itu nasibnya,
Bukankah seperti itu dinasehatkan dalam ‘Akhirnya Istana Berani Juga’?
Tetapi mana … mana Bayuputra? Engkau diam membisu seribu bahasa!
Bahkan bertanya mungkin dilakukan sambil lalu saja, lalu bagaimana bisa
Kau menindak para bedebah dan durjana perompak uang negara lainnya,
Jika dalam lingkaran istana dan keluarga, engkau tidak lakukan apa-apa?
Engkau ini Bayusuta dan Bimasena, tatakrama bisa diabaikan begitu saja,
Tetapi yang namanya dusta, engkau pantang melakukannya, wahai satria.
Karenanya, ayo daripada marah-marah hanya karena ocehan terdakwa,
Mengapa engkau tidak guncang langit nusantara dengan amarah murka
Pada perompak uang negara yang pelakunya ada di seluruh lapisannya?
Sikat mereka semua wahai Bayutanaya … tetapi mulailah dari keluarga.
Jika anggota keluarga berani engkau habisi, apalagi mereka para kecoa,
Ha … ha … ha … mereka pasti akan terbirit-birit sambil melipat celana.
Polisi, jaksa dan KPK pasti akan semakin ringan langkah dan kiprahnya,
Lalu diam-diam semua terkesima berkata, ini baru Bima sang Pancanaka,
Lalu, ayo lebih cepat bersihkan negara dari semua bedebah dan durjana.
Bukannya seperti sekarang, kau murka, eh … malah banyak yang tertawa.
Dr. Tri Budhi Sastrio – tribudhis@yahoo.com – Poznan, Polandia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H