Mohon tunggu...
Tribar Suru
Tribar Suru Mohon Tunggu... -

manusia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Merdekalah Menulis untuk "Merdekakah Indonesia?"

2 Maret 2017   12:36 Diperbarui: 3 Maret 2017   20:00 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://himahiunhas.org

"Darat laut udara, milik siapa?

Hajat hidup dan harkatnya,untuk siapa?

Mengais tanah, Membentur langit, Kami bertanya

Mengering darah, Memutus cinta, Banyak saudara

Kami bertanya.

Dimanakah tanah, serta mata airnya?

Dimanakah rumah, serta bahagianya?"

Lirik diatas adalah penggalan lagu "Merdeka" dari Efek Rumah Kaca (ERK). Adrian Yunan, pencipta lagu ini mengatakan "'Merdeka' merupakan upaya ERK untuk merenungkan dan mempertanyakan kembali makna kemerdekaan yang Negara ini miliki. Apakah kita sudah benar-benar merdeka? Apakah kemerdekaan kita sudah menghargai kemerdekaan orang dan atau kelompok lain? Apakah kemerdekaan ini sudah membawa kita pada keadaan atau situasi yang memanusiakan manusia?"

Agak, dan agar berbeda dari pencipta lagu ini. Menurut saya, lagu ini tidak sebatas mempertanyakan, melainkan semacam satire (sindiran) terhadap kemerdekaan di Negara ini. Dengan maksud agar pendengarnya menemukan jawaban dan "menghakimi" sendiri kemerdekaan Negara ini. Lagu ini merepresentasikan sudut pandang anak-anak muda seusia saya--mahasiswa atau bukan,  atau yang baru-baru saja nganggur--yang mungkin sedang idealis-idealisnya, dan kritis-kritisnya, dan kurang menerima dengan pasrah 'iyo bammi' atas kenyataan bahwa rumah (Indonesia) ini bukan milik kita (masyarakat Indonesia), utuh. Tapi siapa saya, merampas kemerdekaan maksud dari pencipta lagu "merdeka" ini.

*Merdekakah Indonesia?

Saya akan mencoba menjawab pertanyaan ini dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jika dihadapkan dengan Negara Lain? Indonesia masih terjajah dari berbagai aspek: Baik sosial, politik, ekonomi,  budaya, SDA, dll. Oke lah, jika menurut anda hal demikian dialami oleh mungkin semua Negara. Lalu bagaimana dengan sendok di meja makan kita. Masih "made in china"? Silahkan periksa sendok masing-masing dan atau sendok tetangga. Anda butuh data untuk mempercayai tentang pernyataan saya ini? Silahkan searching di "gugel". Saya tidak hendak mencari data yang sudah di publikasi, lalu patah hati berkali-kali (lagi) oleh data yang terlalu banyak dan mengecewakan.

Jika dihadapkan dengan Indonesia sendiri? Sama saja. Indonesia tak pernah benar-benar merdeka. Anda masih butuh data? Tak puas dengan soal sendok? Baiklah, Kau lihat kampung disana? Nah, disana. Di belakang tambang itu, anak-anak belasan tahun banyak yang tidak sekolah karena desakan mencari makan sehari-hari sebagai kebutuhan hidup; ada juga yang lolos dari itu, cuman dasar dia saja yang malas ke sekolah, sebab harus melewati jembatan yang lebih mirip tali sirkus.

*Hakim atas Merdekakah Indonesia

Jika ada ratusan kepala yang mempertanyakan, lalu mengkritisi sejauh mana Negara ini telah mengamalkan kemerdekaan; Maka telah ada ribuan kepala yang telah tahu jawaban dari "Merdekakah Indonesia?"; Dan percayalah! Ada jutaan kepala yang apatis dan menutup mata (tak usah membahas mereka. Tak penting. Selain itu, kemungkinan mereka akan membaca tulisan ini setipis silet; melihat kata merdeka saja, itu hanya sebatas takdir).

Saya mengelompokkan para hakim atas kemerdekaan Indonesia kedalam dua kotak. 

Kotak Pertama, "Anak Muda". Anak muda adalah mereka anaknya anak Tua. Siapa yang tak tahu kami; Semangat revolusioner mendarah daging; Fisik dan mental, bisa diadu domba (meski jangan). Kami anak muda punya banyak stok tokoh-tokoh idola. Seperti: Nabi Muhammad S.A.W, Soekarno, Soe Hok Gie, Tan Malaka, W.S. Rendra, Widji Tukul, Munir, Pidi Baiq, Sudjiwo Tedjo, W.S Rendra, Che Guevara, Bob Marley, dan lainnya. Ada juga beberapa orang--yang tentu bukan saya--yang memilih Mario Teguh, Ariel "Noah", Habib Rizieq, dan masih banyak lagi. 

Kotak Kedua, "Anak Tua". Anak tua adalah mereka orang tua kami, dan kami nanti pada saatnya. Anak tua adalah kelompok yang seharusnya paling banyak tahu soal kemerdekaan Indonesia. Intinya, mayoritas para Anak tua ini telah mapan dengan konsep kemerdekaan, dan paham betul bagaimana bertindak. Anak Tua adalah mereka yang telah gampang letih mempersoalkan kesenjangan antara kenyataan (Das Sein) kemerdekaan dan seharusnya (Das Sollen) kemerdekaan. Anak tua adalah mereka yang ikhlas menerima pemikirannya dijejali soal anak-cucu yang akan melanjutkan kemerdekaan, daripada harus memata-matai kemerdekaan, mengawal pelaksanaannya, turun kejalan mempersoalkan, atau berdiskusi sampai larut malam untuk kata "Merdeka".

Lalu bagaimana dengan keputusan--atas "Merdekakah Indonesia?"--para hakim di kedua kotak tadi? Silahkan kembali ke Reff!!! (Merdekakah Indonesia?). Mereka akan menghakimi secara adil, dan tentu dengan hasil yang sama saja. Indonesia belum merdeka! Benar bahwa ini adalah penilaian subjektif saya. Dari sudut pandang orang lain? Semoga tidak sama saja. Dari sudut pandang siapapun, selama dia membahas Indonesia secara keseluruhan, dan memaknai “Merdeka” secara tak merdeka, maka ia akan menemukan kenyataan pahit bahwa Indonesia belum merdeka.

Jadi begini, masalah sebenarnya dari “Merdekakah Indonesia?” bukanlah dari perbedaan sudut pandang anak tua dan anak muda, tetapi sudut pandangmu merdeka atau tidak?; Soekarno mengatakan bahwa "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri". Dengan kata lain, mengisi kemerdekaan lebih susah dari memperjuangkan kemerdekaan. Nah, Soekarno paham betul bahwa merdeka yang telah ia proklamirkan bukanlah merdeka yang sebenar-benar merdeka. Jika saya salah, lalu untuk apa beliau mengatakan perjuangan kita akan lebih sulit. 

Bukankah kemerdekaan adalah kebebasan, dan apa yang sulit dari kebebasan ini. Kemerdekaan adalah kebebasan, tak terkendali dan tak dikendalikan. Soekarno sang Insinyur dengan semangat membara itu, ingin kita memahami bahwa selama kita belum menjadi Tuhan yang Maha bebas--dan tidak akan pernah--, maka perjuangan akan terus ada; Proletariat, marhaen, si tertindas, atau apapun namanya akan selalu ada. Tuhan pun mewahyukan: "Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang tertindas di bumi, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikannya mewarisi bumi". (Q.S Al Qashas: 5). 

Jika Tuhan berkehendak, maka seharusnya itu akan menjadi kenyataan, siapa yang bisa menolaknya? Tetapi tidak. Kita harus paham bahwa ada maksud lain dari kata "merdeka" itu sendiri. Pada akhirnya kata “Merdeka” hanya akan layak dijadikan sebagai  jalan menuju tujuan—yang tak akan pernah selesai--jika disandingkan dengan Negara.

Saya hampir lupa menuliskan arti kata merdeka ini. Merdeka menurut KBBI adalah: 1. bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); 2. tidak terkena atau lepas dari tuntutan; 3. tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu.

Jadi, yang sebenar-benarnya begini, adalah tergantung kau memaknai kata 'Merdeka' itu. jika kau memaknai 'Merdeka' seperti anak SD, sebagai terlepas dari kerja paksa oleh penjajah, atau sebagai sebelum proklamasi 17 Agustus 1945, maka telah merdekalah kita. Tapi jika kau adalah orang kritis, peka pada informasi, atau mungkin perenung keren sekelas Alexander Supertramp, maka ada banyak alasan untuk mengatakan Indonesia, dan bahkan manusia tidaklah merdeka, dan tidak akan pernah merdeka.

 Jika demikian, lalu apa masalah dari kata merdeka ini? Masalah sesungguhnya adalah kata “merdeka” tidak bermasalah. Yah, tidak bermasalah! Sehingga kubuatlah seolah-olah ada masalah; kukotak-kotakkan apa yang sebenarnya tak begitu perlu dikotak-kotakkan; Lalu kutulis, sebab tulisan ini tak merdeka, aku tak merdeka dan tak akan merdeka, menulislah yang merdeka.

Merdeka adalah bebas; Bebas adalah lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya. Sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa); Merdeka bukanlah kehendak bebas yang sebenarnya tidak bebas. Merdeka bukanlah merdeka yang terjebak dalam huruf m-e-r-d-e-k-a itu sendiri; Merdeka bukanlah Teks proklamasi yang telah dibacakan oleh Bung Karno. 

TETAPI, Merdeka adalah Bung Karno yang membaca Teks proklamasi; Merdeka adalah ketika kita bangkit dan berteriak "Merdeka", seolah-olah kemerdekaan itu ada didepan mata. Merdeka adalah revolusi yang tak ada habisnya; Merdeka adalah sebatas ketika kau kencing setelah bangun pagimu; Ketika ku tulis apa mauku; Ketika kau baca tulisan ini; Lalu, ketika kau bebas menginterpretasikannya; Merdeka adalah kata kerja yang seolah-olah kata sifat, dan bukan kata benda! Merdeka adalah saya ketika seolah-olah paham dengan si Merdeka ini, padahal tidak!, padahal sedang kebingungan tentang arah tulisan ini, dan membiarkannya saja.

Merdeka adalah Soe Hok Gie yang memenjarakan makna kedalam puisi "tentang kemerdekaan" ini!!!

"Kita semua adalah orang yang berjalan dalam barisan

Yang tak pernah berakhir,

Kebetulan kau baris di muka dan aku di tengah

Dan adik-adikku di belakang,

Tapi satu tugas kita semua,

Menanamkan benih-benih kejantanan yang telah kau rintis

Kita semua adalah alat dari arus sejarah yang besar

Kita adalah alat dari derap kemajuan semua;

Dan dalam berjuang kemerdekaan begitu mesra berdegup

Seperti juga perjalanan di sisi penjara

Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembosan

Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang

Dalam derapnya, dalam desasnya, dalam raungnya kita adalah manusia merdeka

Dalam matinya kita semua adalah manusia terbebas"

Oleh: Tribar Suru' / 17 agustus 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun