Mohon tunggu...
Tribar Suru
Tribar Suru Mohon Tunggu... -

manusia

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kau Aku Mabuk; Di Suatu Pagi Sebelum Kota

1 Maret 2017   17:12 Diperbarui: 1 Maret 2017   17:23 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di suatu pagi, sebelum kota.
Bersama matahari yang terburu-buru oleh puncak gunung yang hampir diatas kepala.
Aku, memilih disana sebelum sekarang.

Bersama tanah, rerumputan, langit, dan air.
Mencumbui hamparan warna seluas penglihatan, dan hutan yang disempitkan api dan sedikit kampak untuk rumah; dan banyak lainnya.
Ada juga banyak aroma untuk kuciumi; atau gesekan benda memanjakan telinga.
Semua memilih utuh memakna.

Juga, terasa mesra sekali,
Indah keberadaanmu hadir disana.
Angin.
Pikirku, kukenali angin itu,
Ia pernah pelan menyentuh kerudungmu.
Pada jarak waktu sebelumnya.
Yah, ia paling niat mengajakku.
Dan kau tahu pasti,
Aku bukan Tuan dari semesta.

Kau menjemputku,
Berlari pergi, jauh, sangat jauh.
Jauh dari aku, diluarku.
Kau mengambilku,
Tanggalkan segala materi, tenggelam menuju aku, didalamku.

Lalu kau kenalkan mabuk itu, kau ajarkan betapa jedah mendamaikan.

Selang berapa waktu, kita terang tak dicampuri waktu.
Kau dan aku,
Berhamburan dalam keteraturan;
Raib dalam keberadaan.
Kau dan aku,
Tak perlu ada seperti segala yg ada;
Tunggal dalam kejamakan.
Kau dan aku berkejaran menangkap makna.

Kau,
Sebabku berlari, akibat kau berlari.
Oleh kau ada, aku suka keberadaanku.
Kau ,
Bentuk yang tak kuketemukan polanya, yang tak akan selesai.
Kau dialektika,
Perang kemuakan dan perjuangan ini.
Memuisi, dan tak berujung.

Kau aku mabuk, dan disana!
Mabuk!!!
MABUK,,,,!,"-$/!
MaBukkk! "/'-*"*' /
maJsBHuKkj"- * 6 + ' / /
' ' @ / / //=,:*?/"*"6?+!41"'2hi*1sb'5

Kita lalu bertamu,
Bertemu manusia-manusia terbanyak.
Juga sedang mabuk, mabuk terlampau mabuk.
Seperti tak mabuk, sebab tak ada luka atau keluh di mereka.
Kita tak suka mabuk yang ini,
--Atau hanya aku.
Iri sekali dibuatnya.
Mabuk mereka, seperti candu.

Kita yang tidak terlalu suka berlama-lama mensiasati keberadaan,
Tak juga mulai suka.
Kita simpulkan mempelajarinya.
Memperlebar jarak gaib dan ajaib.

Dan hidup memang hidup, Manisku.
Dalam pelarian itu, pelajaran datang.
Romantis kita dapati tak sekalipun abadi, lagi.

Seperti sebelumnya,
Seperti manusia lainnya,
Mabuk kita telah habis untuk sementara waktu.
Mabuk yang lebih sadar dari kesadaran.
Mabuk yang nanti kita rindui bersama.

Seperti kau, aku benci terlalu lama berjarak dari pematang,
Bersama dendam memandangi tuan lintah;
Atau menciumi keringat buruh, sambil menatap ruang2 kaca si pengatur yang penganggur;

Mungkin seperti aku,
Kau akan menunggu jumpa,
Pada mabuk-mabuk selanjutnya,
Setelah sedikit mencubiti mabuk-mabuk mereka;
Setelah pulang kepada pulang.

Kali nanti, mungkin didepan bunga yang hampir terjual untuk sebuah mesin hantu di ladang kita.
Tak apalah, indahnya mungkin tak akan sampai,
Hanya nilai baru yang bukan isi mungkin ia dapati.
Asal jangan kau jual tanahnya,
Tapi mungkin akan terjual pada udara yang beracun.
Mungkin, kemungkinannya besar kemungkinan.

Bagaimanapun itu,
Pasti kutunggu kau datang,
Sembunyi sebagai ada, atau berpura-puralah ada.
Saling memabukkan kesadaran,
Menyadarkan kemabukan kita.
Menanggalkan sekali lagi bentuk.
Dimana saja,
Manisku.

10/02/17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun