Mohon tunggu...
tria zahwaaurani
tria zahwaaurani Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hai aku cia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sehari Bersama Tradisi Minang, Nuansa Natal, dan petualangan naik kereta

7 Januari 2025   11:11 Diperbarui: 7 Januari 2025   11:06 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Akhir pekan ini, saya menjalani perjalanan yang tak biasa, penuh warna budaya, rasa, dan pengalaman. Dari menikmati kuliner Minang di Trans Studio Mall (TSM), mendampingi teman merayakan Natal di gereja, hingga berkereta menuju Bogor keesokan harinya. Sebuah rangkaian yang padat, tapi begitu bermakna.

Menyelami Cita Rasa Minang di TSM

Sore itu, saya dan kakak saya memutuskan untuk mampir ke sebuah acara kuliner Minang di Trans Studio Mall (TSM). Dari kejauhan, aroma masakan khas yang sarat rempah sudah menggelitik hidung, membangkitkan rasa lapar bahkan sebelum kaki ini melangkah ke area acara. Suasana mendung di luar, ditambah rinai hujan yang mulai turun, justru menambah romantisme hari itu.

Begitu memasuki area event, mata saya langsung disuguhi pemandangan aneka hidangan Minang yang berbaris rapi. Dari rendang yang berkilauan dengan minyak santan, gulai tunjang yang kental dan menggoda, dendeng batokok yang dipenuhi sambal lado merah, hingga sate Padang yang mengepul dengan aroma rempah khasnya. Setiap booth dihias ornamen tradisional Sumatra Barat seperti kain songket, ukiran khas Minang, dan replika rumah gadang mini, menciptakan suasana yang membawa ingatan saya pulang kampung.

Di sudut ruangan, terdapat panggung kecil yang ramai dikerumuni pengunjung. Seorang perempuan dalam balutan baju adat Minang, lengkap dengan suntiang emas di kepala, tengah menyanyikan lagu "Yang Digiyang" dengan iringan talempong. Suara dentingan alat musik tradisional itu berpadu indah dengan suara penyanyi yang lembut dan penuh emosi. Beberapa pengunjung, termasuk saya, berhenti sejenak untuk menikmati penampilan tersebut. Suasana semakin syahdu saat hujan di luar semakin deras, seolah-olah menjadi latar alami yang melengkapi kehangatan di dalam ruangan.

Setelah puas berkeliling, saya akhirnya memutuskan untuk mencicipi beberapa hidangan yang menggoda. Pilihan pertama jatuh pada rendang dan gulai tunjang, dua hidangan yang tak pernah gagal membawa saya pada kenangan masa kecil di Sumatera Barat. Rendangnya lembut, dengan rasa daging yang begitu meresap hingga ke seratnya. Gulai tunjangnya kenyal tetapi tidak alot, dengan kuah kental yang kaya rempah. Setiap suapan membawa kehangatan yang sulit dijelaskan.

Tidak hanya hidangan berat, saya juga mencoba aneka cemilan Minang yang menggoda. Ada pisang kapik, pisang bakar yang dipipihkan dan disiram gula merah cair. Manis dan legit, sangat cocok untuk mengusir hawa dingin. Lalu ada kue mangkuak yang lembut dan harum pandan, martabak Mesir yang renyah di luar tetapi berisi daging yang kaya rempah di dalam, serta kue bika yang kenyal dan manis. Tak ketinggalan, saya mencoba seafood khas Minang yang jarang saya temui di kota: pensi, kerang kecil-kecil yang dimasak dengan bumbu pedas. Rasanya segar, sedikit pedas, dan benar-benar membuat ketagihan.

Sebagai pelengkap, saya membeli segelas es tebak, minuman khas Minang yang menjadi favorit saya sejak kecil. Kombinasi tebak, serutan kelapa muda, santan, sirup merah, dan es serutnya begitu menyegarkan. Rasanya manis dan segar, pas untuk mengimbangi makanan berat yang sebelumnya saya santap.

Sambil menikmati makanan, saya duduk di sebuah meja kecil dekat panggung. Dari tempat saya, saya bisa melihat bagaimana pengunjung lain asyik menikmati sajian kuliner sambil tertawa dan berbagi cerita. Suara denting talempong masih mengalun lembut di latar belakang, sementara di luar, hujan masih setia menemani.

Saya merasakan kebahagiaan sederhana yang sulit dijelaskan. Sebagai seseorang yang sudah lama tidak pulang ke Sumatera Barat, acara ini seperti pengobat rindu. Masakan-masakannya, musiknya, bahkan suasananya, seolah membawa saya kembali ke kampung halaman. Sesuatu yang sederhana seperti sepotong rendang atau segelas es tebak ternyata bisa memanggil begitu banyak kenangan indah.

Ketika akhirnya acara harus selesai, saya merasa enggan meninggalkan tempat itu. Namun, perut yang kenyang dan hati yang penuh rasa syukur membuat saya tersenyum puas. Hari itu bukan hanya soal makanan, tetapi juga tentang rasa kebersamaan, nostalgia, dan kebanggaan pada budaya yang kaya. Saya pulang dengan hati yang hangat, dan dengan satu keyakinan: saya pasti akan kembali lagi jika ada acara serupa di masa depan. lamak bana!

Natal dalam Kehangatan Gereja

Besok harinya, saya menemani teman saya yang merayakan Natal di gerejanya. Awalnya, saya agak ragu apakah saya akan merasa canggung, mengingat ini pertama kalinya saya menghadiri perayaan Natal. Namun, begitu memasuki gereja, saya langsung merasa diterima. Atmosfernya begitu hangat, dengan hiasan Natal berwarna merah, hijau, dan emas yang mendominasi ruangan.

Upacara dimulai dengan lagu-lagu Natal. Suara paduan suara gereja terdengar begitu indah, membawakan lagu klasik seperti "Silent Night" dan "Joy to the World". Saya melihat banyak keluarga berkumpul dengan sukacita. Meski saya bukan bagian dari agama ini, saya merasa damai melihat kebersamaan dan kebahagiaan yang terpancar.

Setelah kebaktian selesai, kami mengikuti acara makan bersama. Ada beragam hidangan khas Natal, dari kue jahe hingga ayam panggang. Teman saya menjelaskan makna di balik setiap tradisi yang mereka jalani, membuat saya semakin mengerti betapa istimewanya momen ini bagi mereka. Saya pulang dengan perasaan hangat, seolah mendapat pelajaran tentang indahnya keberagaman dan toleransi.

Pagi di Kereta Menuju Bogor

Melangkah Menuju Kedamaian di Bogor

Keesokan harinya, setelah hari penuh kehangatan di acara kuliner Minang dan malam Natal, saya memutuskan untuk mengunjungi kakak saya di Depok. Rumahnya selalu menjadi tempat singgah yang nyaman, terutama saat saya ingin sedikit menjauh dari rutinitas di Bandung. Kami sepakat untuk menghabiskan pagi berikutnya dengan jalan-jalan ke Bogor, sebuah kota yang selalu menawarkan suasana sejuk dan damai.

Pagi itu, setelah sarapan sederhana di rumah kakak saya, kami berangkat menuju stasiun Depok. Suasana di stasiun cukup ramai, tapi tidak membuat saya merasa terganggu. Justru, ada sesuatu yang menyenangkan dalam kesibukan ini---suara pengumuman keberangkatan kereta, deru mesin, dan langkah cepat para penumpang menciptakan simfoni khas yang hanya bisa ditemukan di tempat-tempat seperti ini. Rasanya seperti menjadi bagian dari denyut nadi kota.

Kami menaiki kereta yang cukup lengang. Beruntung, kami mendapatkan tempat duduk di dekat jendela. Sepanjang perjalanan, saya menikmati pemandangan yang berganti-ganti dengan ritme kereta yang stabil. Dari hamparan rumah penduduk yang rapat, pasar-pasar kecil dengan aktivitas paginya, hingga pohon-pohon rindang yang sesekali muncul di sela-sela gedung beton. Udara pagi yang masuk melalui celah jendela membuat perjalanan semakin menyenangkan. Saya merasa tenang, seolah meninggalkan segala hiruk-pikuk di belakang.

Setelah sekitar satu jam, kami tiba di Stasiun Bogor. Udara segar langsung menyambut kami---sebuah perbedaan mencolok dari udara lembap bandung. Dari stasiun, kami memutuskan untuk berjalan kaki menuju Kebun Raya Bogor, yang hanya berjarak beberapa menit. Sepanjang jalan, saya menikmati suasana kota Bogor yang masih terasa asri. Penjual makanan kecil di pinggir jalan, angkot yang berlalu-lalang, dan orang-orang yang berjalan santai menciptakan suasana kota yang hidup namun tidak terburu-buru.

Ketenangan di Kebun Raya Bogor

Sesampainya di Kebun Raya Bogor, kami disambut oleh pemandangan yang luar biasa indah. Pepohonan besar yang telah berumur ratusan tahun menjulang tinggi, memberikan bayangan teduh di bawahnya. Udara di sini begitu segar, bercampur dengan aroma khas daun basah dan bunga-bunga yang bermekaran. Suara burung yang berkicau melengkapi suasana pagi yang sempurna.

Kami memulai eksplorasi dengan berjalan santai di jalan setapak yang dikelilingi pohon-pohon tinggi. Setiap sudut kebun ini seperti menawarkan ketenangan. Saya sempat berhenti di salah satu taman bunga untuk menikmati keindahan warna-warni bunga anggrek yang sedang mekar. Kakak saya, yang hobi fotografi, sibuk mengabadikan momen-momen ini dengan kameranya.

Tidak jauh dari sana, kami menemukan jembatan gantung merah yang terkenal. Tentu saja, kami tidak melewatkan kesempatan untuk berfoto di sini. Jembatan ini melintasi sungai kecil yang airnya jernih, menciptakan pemandangan yang kontras namun harmoni antara warna merah jembatan, hijau pepohonan, dan birunya langit pagi itu.

Setelah berjalan cukup lama, kami duduk di salah satu bangku taman yang berada di dekat danau kecil. Kami menikmati bekal yang telah kami bawa---roti dan kopi panas. Rasanya sederhana, tetapi di tempat seindah ini, semuanya terasa lebih istimewa. Saya dan kakak saya berbincang tentang banyak hal---dari kehidupan sehari-hari, rencana masa depan, hingga kenangan masa kecil yang membuat kami tertawa bersama.

Sore yang Menghangatkan di Bogor

Setelah puas menikmati Kebun Raya Bogor, kami memutuskan untuk mencari makan siang di sekitar Taman Kencana, salah satu area kuliner populer di Bogor. Di sini, kami menemukan sebuah kafe kecil dengan suasana vintage yang menyajikan hidangan lokal dan modern. Saya memesan soto mie Bogor, sementara kakak saya memilih laksa Bogor. Rasa masakannya autentik dan memuaskan, seperti membawa cita rasa khas kota ini ke lidah saya.

Sore itu, sebelum kembali ke Depok, kami menyempatkan diri membeli oleh-oleh khas Bogor seperti talas, roti unyil, dan asinan. Jalanan mulai ramai dengan orang-orang yang juga berbelanja atau sekadar menikmati suasana sore. Langit mulai berubah warna menjadi jingga, menciptakan pemandangan yang indah saat kami berjalan kembali ke stasiun.

Perjalanan pulang di kereta terasa damai. Meski lelah, hati saya terasa ringan. Melihat wajah penumpang lain yang tampak tenang, saya sadar betapa menyenangkannya hidup ketika kita meluangkan waktu untuk menghargai hal-hal sederhana. Hari itu bukan hanya tentang tempat yang saya kunjungi, tetapi tentang kebersamaan, keindahan alam, dan momen kecil yang memberi arti lebih dalam hidup.

Saat kereta mulai memasuki stasiun Depok, saya menyadari bahwa perjalanan ini adalah salah satu cara saya melarikan diri dari rutinitas, untuk kembali dengan energi baru. Mungkin esok hari adalah hari biasa lainnya, tetapi hari ini, Bogor telah memberi saya cerita yang akan saya kenang dengan senyum.

Refleksi Perjalanan

Dua hari ini memberikan saya pengalaman yang sangat beragam. Dari cita rasa kuliner Minang yang menggugah selera, kehangatan Natal yang penuh makna, hingga perjalanan kereta yang mempertemukan saya dengan berbagai cerita kehidupan. Perjalanan ini bukan hanya tentang tempat yang saya kunjungi, tapi juga tentang bagaimana saya melihat keindahan dalam keberagaman budaya dan kehidupan sehari-hari.

Sesekali, melakukan perjalanan seperti ini mengingatkan saya untuk lebih menghargai momen-momen kecil yang membuat hidup lebih berwarna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun