Mohon tunggu...
Dewi Pika Lumban Stone
Dewi Pika Lumban Stone Mohon Tunggu... Associates Lawyer -

No mistake, no change...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dasar Hukum Membatalkan Sertipikat Hak Milik (SHM) Tanah yang Terbit Sebelum Tahun 1997

21 April 2017   14:48 Diperbarui: 22 April 2017   00:00 29859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apabila sertikat hak milik tanah (SHM) terbit sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah  maka SHM tersebut dapat dibatalkan berdasarkan ketentuan pada Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, karena sistem hukum indonesia menganut asas hukum tidak berlaku surut.  Peraturan hukum tidak boleh  berlaku surut (non-retroactif) adalah suatu asas hukum yang berlaku universal, baik untuk  kasus pidana maupun kasus perdata.  Sebagaimana asas non-retroaktif ini sudah ditegaskan  dalam Pasal 28I Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surutadalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

Ada dua jalur penyelesaian pembatalan SHM yaitu melalui Pengadilan Negeri atau melalui PTUN. Namun  jika melalui PTUN ada masa daluarsa pengajuan gugatan yaitu 90 hari sejak diketahui diterbitkannya SHM tersebut oleh Badan Pertanahan dalam hal ini sebagai tergugat diatas tanah milik penggugat apabila lewat dari 90 hari maka jalur yang dapat ditempuh adalah melalui Pengadilan Negeri.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, “ Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata usaha Negara”

Setiap orang ataupun badan hukum perdata berhak mengajukan gugatan apabila SHM tanah diterbitkan diatas tanah/lahan milik penggugat . Sebagaimana dituangkan dalam  Pasal 53 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 jo.  Undang-undang No. 9 tahun 2004.

Pasal 53 ayat (1) UU PTUN menyatakan bahwa:”Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.” 

Pasal 53 ayat (2) UU PTUN, alasan – alasan yang dapat digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

  • Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  • Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Secara singkat dapat diuraikan prosedur yang ditetapkan sebelum penerbitan SHM tanah, sebagaimana yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961( dahulu)  yang disempurnakan denganPeraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 (sekarang).

  • Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 yaitu pada Pasal sebagai berikut:

Pasal 3 ayat (2) :

Sebelum sebidang tanah diukur, terlebih dulu diadakan:

penyelidikan riwayat bidang tanah itu dan

penetapan batas-batasnya.

Pasal 4 ayat (2), (3):

(2) peta itu memperlihatkan dengan jelas segala macam hak atas tanah didalam desa dengan batas-batasnya baik yang kelihatan maupun yang tidak.

(3) selain batas-batas tanah pada peta itu dimuat pula nomor pendaftaran, nomor buku tanah, nomor surat ukur, nomor pajak (jika mungkin), tanda batas dan sedapat-dapatnya juga gedung-gedung, jalan-jalan, saluran air dan lain-lain benda tetap yang penting.

Pasal 6 (1):

Setelah pekerjaan yang dimaksud dalam Pasal 3 dan 4 selesai, maka semua peta dan daftar isian yang bersangkutan ditempatkan dikantor Kepala Desa selama tiga bulan untuk memberi kesempatan kepada yang berkepentingan mengajukan keberatan-keberatan mengenai penetapan batas-batas tanah dan isi daftar-daftar isian itu.

  • Pasal 11 ayat (2) :
  • Bentuk surat ukur serta cara mengisinya ditetapkan oleh Menteri Agraria dengan ketentuan bahwa surat ukur itu selain memuat gambar tanah yang melukiskan batas tanah, tanda-tanda batas, gedung-gedung, jalan-jalan, saluran air, dan lain-lain benda penting, harus memuat pula : 

nomor pendaftarannya;

nomor dan tahun surat ukur/buku tanah;

nomor pajak;

uraian tentang letak tanah;

ukuran tentang keberadaan tanah;

luas tanah;

orang atau orang-orang yang menunjukkan batas-batasnya.

Oleh karena itu jika penerbitan SHM tanah tidak mengikuti prosedur yang ditetapkan dalam PP 10/1961, maka semua SHM tanah yang terbit sebelum tahun 1997 dasar hukum untuk menggugatnya adalah menggunakan PP 10/1961 karena sistim hukum Indonesia menganut asas tidak Berlaku surut (asas non-retroaktif)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun